App herunterladen
86.95% Haters and Lovers of Rain / Chapter 20: Chapter 19

Kapitel 20: Chapter 19

"Enggak ... gak mungkin ... Arga gak mungkin meninggal ...."

Rian berlari sekuat tenaga. Ia mati-matian menahan air mata yang terus ingin keluar sedari tadi. Rian berharap semuanya hanya lelucon. Ia harap, ia bisa menemui Arga yang akan tersenyum dan menyapanya dengan penuh semangat seperti biasanya.

Tapi harapan Rian itu harus kandas. Langkah Rian terhenti beberapa langkah dari rumah Arga. Sebuah bendera kuning terpasang di depan rumah Arga, dan ada banyak orang di rumah sahabatnya itu.

Sebuah mobil ambulans kemudian datang. Anin dan kedua orang tua Arga turun dari Ambulans dengan air mata yang bercucuran. Mama Arga bahkan menangis dengan histeris.

"Gak ... gak mungkin ...." Rian menggeleng-geleng dengan air mata yang mulai membasahi permukaan pipinya. Ia tak ingin mempercayai apa yang sedang ia lihat.

"Arga."

"Arga!"

Rian berlari mendekat ke Ambulans ketika melihat petugas rumah sakit yang menurunkan tubuh Arga dari dalam Ambulans.

"Ar-"

Rian menyentuh tangan Arga. Dingin. Rian menutup mulutnya tak percaya. Dengan air mata yang terus mengalir, ia memerhatikan sekujur tubuh Arga yang putih pucat. Tak ada pergerakan naik turun dari dadanya.

Saat tubuh Arga kemudian dibawa masuk ke dalam rumahnya, Rian berlari menahan tangan Anin. "Apa yang terjadi?! Kenapa ... kenapa dia bisa meninggal?!" tanya Rian.

Anin hanya menggeleng-geleng. Ia tak sanggup berbicara. Tangisnya semakin membesar.

Rian melepaskan genggamannya pada tangan Anin dan mengacak rambutnya frustrasi.

"Kak Rian!"

Rian menoleh dan mendapati Raina yang berlari mendekatinya. Segera saja, Rian memegang kedua bahu Raina dengan kuat.

"Katakan! Apa yang sebenarnya terjadi?! Kamu pasti tahu kenapa Arga tiba-tiba meninggal!"

Raina tak langsung menjawab Rian. Ia berusah mengendalikan dirinya yang juga diliputi kesedihan.

"Kak Arga ... dia ... terkena kanker otak," kata Raina sambil menangis tersedu-sedu.

Mendengar hal itu, kedua lutut Rian seketika terasa lemas. Ia berlutut di depan Raina.

"Kanker ... otak? Bagaimana ... bagaimana bisa?! Selama ini ... selama ini dia terlihat baik-baik saja!"

Raina ikut berlutut di depan Rian. "Kak Arga ... Selama ini ... dia menyembunyikan penyakitnya itu. Kami keluarganya pun juga baru tahu belum lama ini."

Rian menunduk dan memejamkan kedua matanya. Bisa-bisanya ia yang sahabat Arga tak tahu akan hal itu? Padahal Arga pasti merasa sangat kesakitan.

Ingatan Rian kemudian berputar saat dimana Arga yang tiba-tiba merasa pusing, tapi berdalih kalau itu hanyalah sakit kepala ringan akibat terlalu sering begadang.

Rian mulai merutuki kebodohan dirinya. Seharusnya ia tak percaya begitu saja. Seharusnya, ia bertanya lebih lanjut.

Raina menatap Rian prihatin. Ia yakin, Rian pasti merasa sangat terpukul. Raina menyentuh bahu Rian dengan pelan.

"Kak Rian. Ayo kita masuk ke dalem. Ayo kita liat Kak Arga ... untuk yang terakhir kalinya," kata Raina lembut.

Rian tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk lemah, kemudian mengikuti Raina masuk ke dalam rumah Arga.

Langkah kaki Rian terasa sangat berat. Jarak antara dirinya dan Arga serasa beratus-ratus kilometer.

Ketika Rian akhirnya berdiri tepat di depan jasad Arga, air matanya kembali mengalir dengan begitu deras. Ia kemudian duduk di samping jasad Arga.

"Bodoh! Lo harusnya jujur kalau sakit! Lo lagi sakit tapi masih aja sibuk ngurusin gue!"

Rian menatap wajah Arga yang pucat dengan nanar. "Kenapa ... kenapa lo gak ngasih tahu gue? Lo tahu semua tentang gue. Tentang masa lalu gue, tentangbsakit gue, tentang derita gue. Tapi lo gak ngebiarin gue tahu tentang sakit lo. Kenapa, Ga?! Kenapa?! Seberapa lama ... lo nanggung semua rasa sakit lo itu seorang diri?" Suara Rian bergetar.

Rian menunduk. "Lo bahkan gak ngebiarin gue buat ngucapin selamat tinggal sama lo. Lo ... gak ngasih gue kesempatan buat ngebales semua kebaikan lo sama gue."

Rian kembali menatap wajah Arga yang kedua matanya tertutup dengan rapat. "Lo selalu ngebantu gue di setiap kesempatan. Sedangkan gue ... gue gak ngelakuin banyak hal buat lo, Ga. Gue cuma selalu ngebebanin lo sama masalah-masalah gue."

Rian memejamkan kedua matanya. Air matanya terus mengalir. Tangannya terkepal dengan kuat.

"Gue ... bener-bener sahabat yang gak guna. Maaf ... Arga."

⛈️🌧🌦

Rian melangkah dengan gontai. Ia dan orang-orang berjalan menuju tempat peristirahatan terakhir Arga.

Rian kini tak menangis, hanya saja tatapannya benar-benar kosong. Tante Ira merangkul bahu Rian, berusaha memberi kekuatan untuk keponakannya itu.

Tangis histeris dari Mama Arga dan Anin memenuhi pemakaman ketika jasad Arga mulai diturunkan ke dalam liang kubur.

Tes.

Rian membeku ketika merasa ada sesuatu yang basah mengenainya. Hujan turun. Tepat ketika orang-orang selesai menimbun tanah di atas kuburan Arga.

"Haah ... haaah ..."

Rian mulai kesulitan bernapas. Tante Ira yang ada di sebelahnya segera memeluk Rian dengan panik. "Gak papa, Rian. Gak papa. Jangan panik ... jangan panik, oke?"

Tante Ira menatap tetes-tetes air hujan yang turun dari langit. 'Kenapa harus turun hujan, sih?' keluh Tante Ira dalam hati. Kenapa hujan harus menambahkan kenangan menyakitkan untuk Rian?

Hujan turun semakin deras, membuat kondisi Rian makin buruk. Tante Ira kian panik melihat Rian yang terlihat semakin sulit bernapas.

"Rian, kita pergi sekarang, ya."

Tante Ira segera menuntun Rian untuk pergi, sementara suami Tante Ira memayungi keduanya.

⛈️🌧⛈️

"Rian!"

"Rian!"

Tante Ira mengetuk pintu kamar Rian berkali-kali. Sejak Rian kembali dari pemakaman Arga, ia langsung mengunci dirinya di dalam kamar. Membuat Tante Ira khawatir.

"Rian, jangan begini. Keluarlah! Ya?" bujuk Tante Ira.

Tak ada tanggapan apapun dari Rian. Membuat Tante Ira menghela napas.

"Sudahlah. Biarkan saja dia. Dia mungkin butuh waktu untuk sendiri," kata suami Tante Ira.

"Kau sebaiknya beristirahat sekarang," tambahnya.

Tante Ira menatap pintu kamar Rian sekali lagi. "Rian. Untuk hari ini, Tante dan Om Ridwan akan menginap di sini. Jadi, kalau kau butuh sesuatu, langsung panggil Tante atau Om saja. Oke?"

Seperti halnya tadi, tetap tak ada jawaban dari balik pintu kamar Rian. Membuat Tante Ira kembali menghela napas. Ridwan, suami Tante Ira merangkul bahu istrinya itu.

"Kau juga harus beristirahat. Ayo," katanya lalu menuntun istrinya ke kamar tamu.

Sementara itu, di dalam kamar Rian terduduk di lantai. Ia menatap fotonya bersama dengan Arga yang tersenyum lebar.

"Arga. Sekarang ... gue harus ngapain? Lo yang satu-satunya sahabat gue malah pergi ninggalin gue. Gue ... bisa apa tanpa lo, Ga? Gue udah terlalu bergantung sama lo. Lo ... orang yang penting banget bagi gue."

Haaaaaaah.

Rian menghela napas panjang. Ia kemudian menyandarkan punggungnya di dinding dan menengadah menatap langit-langit kamarnya. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.

"Kayaknya ... gue emang pembawa sial. Orang-orang yang gue sayangi selalu pergi ninggalin gue. Dan hujan ... selalu menjadi saksi akan kesialan gue itu."

⛈️🌧⛈️

To be continued


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C20
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen