App herunterladen
8.48% FIREFLIES : first love / Chapter 14: Si Pengantar File

Kapitel 14: Si Pengantar File

Tahu apa yang lebih menyebalkan daripada datang buru-buru dan mendapati kelas ternyata kosong?

Bertemu lagi dengan orang yang sangat menyebalkan.

Firasat Simon sudah buruk semenjak berkendara dalam kecepatan hampir 150 di jalanan kota yang padat tadi. Setelah mengalami kesialan karena menyadari hal yang dia lakukan ternyata sia-sia saja, hal buruk lainnya menyusul tak lama, bahkan tak menunggu dirinya bernafas sejenak.

Berdiri di hadapannya, sosok pemuda berambut cepak dengan tubuh sebesar raksasa. Rambutnya yang cepak menambah kesan lebih maskulin namun cukup menyeramkan. Tetapi, lain halnya dengan Simon, dimatanya sosok pemuda ini tak lebih dari seseorang yang bodoh dan menyebalkan.

Meski pertemuan mereka bisa dibilang sangat singkat, namun kesan pertama adalah yang paling berkesan bukan?

"Simon?" tanya Ashley, lelaki bertubuh besar itu tampak terkejut, terlihat jelas dari bagaimana kelopak matanya terbuka sempurna.

"Mana file nya?" sergah Simon, tangannya terulur dihadapan Ashley yang masih memproses kejadian saat ini. "Heh! Jangan bilang kau melupakan file itu?!" ulang Simon lagi. Kali ini suaranya meninggi.

Ashley terkesiap oleh hardikkan dari pemuda bertubuh kecil dihadapannya. Pemuda yang sama dengan yang kemarin bertemu dengannya, juga si korban penumpahan kopi kemarin sore. "I—ini Senior..." Dengan gugup mengeluarkan sebuah flashdisk berwarna hitam dari tas ransel kecil dipunggungnya. Ashley menyerahkan benda itu dalam keadaan tangan gemetaran. Entah kenapa dia merasakan aura begitu kuat keluar dari tubuh pria yang lebih kecil darinya.

Simon menghela nafas, tak ada gunanya juga dia memarahi si pemuda besar —secara kebetulan menjadi adik kelasnya— dia hanya akan terlihat seperti orang jahat karena melampiaskan kemarahan pada orang tak bersalah. Setidaknya untuk hari ini.

"Terima kasih."

Maka, Simon mengambil alih flashdisk di tangan Ashley, mengeluarkan kata-kata yang cukup sakral baginya sebagai bentuk apresiasi untuk pemuda tinggi itu karena telah mengantarkan benda berharga ini padanya.

"Lain kali, jangan terlalu menurut dengan si gondrong itu. Dia pasti hanya akan menganggapmu sebagai bawahan saja daripada seorang anggota," ujar Simon sembari berjalan melewati Ashley.

Otot-otot Ashley yang tadinya membeku sepersekian detik, langsung mencair, dengan begitu dia secara cepat membalikkan badan untuk mendapati punggung sempit yang mulai menjauh darinya.

"Senior!" Ashley sendiri tak mengerti kenapa dia memanggil pemuda kecil itu, seakan tak mulutnya bergerak dengan sendiri tanpa kendalinya.

Pemuda yang dipanggil lalu menghentikan langkah kaki. Menoleh ke belakang, sorot matanya seakan mengatakan 'Mau apa lagi?'.

"Anu.. Bagaimana kalau Anda mampir dulu ke Cafe Saya dan menikmati secangkir minuman di sana? Saya akan berikan gratis, sebagai permintaan maaf saya kemarin."

"Aku tak mau berakhir disiram kopi atau kehilangan barang lagi, atau mungkin keduanya. Jawabanku, tidak."

"Anda tak perlu meminumnya di sana, tidak masalah, bawa pulang saja kalau Anda mau," jelas Ashley. Senyuman lebar masih menghiasi wajahnya, namun kali ini terkesan canggung. Ujung bibirnya berkedut-kedut tipis.

Simon mengangkat sebelah alis. Menatap lekat-lekat dari ujung kepala hingga kaki si pemuda tinggi. Ini aneh. Seseorang harusnya tak akan melakukan hal percuma kalau lawan bicaranya terlihat tak berminat. Pengabaian adalah hal wajar dan sangat manusiawi. Simon tak membutuhkan permintaan maaf atau balasan berupa makanan atau minuman, toh itu semua tak akan menghapus kenangan buruk kemarin. Hal yang sia-sia, jika saja orang itu tak memiliki maksud lain.

Maksud lain?

"Maaf, aku tak menyukai laki-laki," tukas Simon dan kembali melanjutkan langkah kakinya, sedikit lebih cepat daripada yang tadi.

"Tu—tunggu! Bukan begitu maksudku—"

Sayangnya, lontaran kalimat tadi sudah samar-samar terdengar karena Simon sudah berada pada jarak dimana tak cukup menangkap suara pemuda di belakang sana. Simon bergerak cukup cepat dengan kaki kurusnya yang tak terlalu panjang. Sejujurnya, dia tak pernah membeda-bedakan orientasi seksual seseorang. Siapa menyukai siapa, tak menjadi masalah asalkan mereka benar-benar menyukai satu sama lain. Malahan, Simon sedikit merasa iri dengan pasangan yang meraskan indahnya saling mencintai. Karena, dia sadar bahwa dirinya lebih menyedihkan dari yang terlihat. Hanya saja, Simon tak mau mendapati dirinya mendapat pengakuan cinta dari seorang lelaki. Alasannya cukup simpel, karena dia juga tak bisa menyukai siapapun.

Simon sudah cukup berpengalaman mengenai pendekatan dalam hal percintaan. Memberikan makanan atau minuman, mengajak makan bersama dan sebagainya tentu saja adalah tanda bahwa seseorang mulai tertarik padamu. Dan, dia melihat hal itu dari perilaku si pemuda tinggi tadi.

Hal semacam ini bukan cuma sekali menimpanya. Ada lebih dari dua kali, seingat Simon begitu. Lebih banyak terjadi ketika dia dan Jacob pergi ke sebuah Bar yang tentunya pilihan pemuda gondrong itu. Bar kecil yang bahkan tak mempunyai cukup meja dan lantai dansa. Seorang lelaki pasti akan mendatangi meja mereka, mengobrol santai dengan Jacob meskipun matanya tak henti memandang ke arah Simon. Itu juga yang membuat Simon lebih memilih diam dan menikmati bir nya. Lalu, diakhiri dengan secarik kertas yang terselip di bawah asbak disertai kedipan sebelah mata dari pria yang baru saja berbincang dengan Jacob.

"Dasar Jack si pemalas..." gerutunya sembari membuka pintu mobil. Simon meraih ponsel, mengetikan pesan pada Jacob perihal file tersebut sudah sampai ke tangannya. Sekedar itu saja. Rasanya tak perlu mengungkit si bocah tinggi yang menunjukkan tanda-tanda ketertarikan tadi, semua itu tidak perlu.

.

.

.

.

.

'PLAK!'

"Ouch!"

"Kerja yang benar!"

Ashley mengerucutkan bibir sembari mengelus belakang kepalanya, bekas tamparan tangan sang kakak masih terasa cukup panas. Heras, padahal tubuh Helena lebih kecil daripada tubuhnya, tetapi sejak dulu tenaga wanita itu begitu kuat. "Kau tak lihat dari tadi aku sudah kerja dengan benar?"

"Ya ya ya.. Sangat benar malahan. Sampai mungkin perampok tak perlu repot menodongkan pistol untuk mendapatkan segepok uang dari laci yang tidak terkunci ini," desis Helena, jari telunjuknya mengarah langsung ke laci di samping Ashley berdiri. Benda itu sedikit terbuka dengan kunci logam yang masih menggantung.

Bukti paling kuat untuk membuat Ashley diam seribu bahasa. Nyatanya, apa yang dikatakan Helena tak sepenuhnya salah. Perempuan itu benar mengenai sikap Ashley yang melalaikan pekerjaannya, melamun dan membiarkan laci penyimpanan uang tak terkunci sudah cukup untuk menendangnya keluar dari pekerjaan ini.

"Maaf deh," sahut Ashley meskipun wajahnya sama sekali tak terlihat menyesal.

'PLAK!'

"Ouch!" Ashley menjerit tamparan kembali menghujam tubuhnya, kali ini sasarannya adalah pantat. "Apa masalahmu sebenarnya sih?!"

"Pantatmu membuatku kesal," sahut Helena sembari berlalu dari hadapan adiknya.

"Dasar si gila itu—"

"Kau bicara apa?"

Helena berbalik menatap tajam Ashley di balik mesin penggiling kopi. Posisinya terbilang cukup jauh untuk mendengar gerutuan pemuda itu yang lebih mirip seperti sebuah gumaman. Secara ajaib, telinga wanita itu akan bekerja lebih baik berkali-kali lipat jika ada seseorang yang menjelek-jelekkannya.

"Ti—tidak kok!" Ashley buru-buru mengalihkan wajah. "Whoa, aku lupa mengecek stok kopi.." dengan tergesah berjalan ke ruangan lain.


Kapitel 15: Keajaiban Atau Kebetulan?

Ruang penyimpanan berukuran tak terlalu luas, hanya cukup untuk menyimpan sekitar 5 karung besar biji kopi, beberapa kilo kardus berisi kopi bubuk, alat kebersihan dan semakin menyempit kala pemuda bertubuh besar mendudukkan diri di tengah-tengah ruangan.

Niat awalnya mengecek persediaan kopi hanyalah alasan belaka demi menghindari amukan si singa betina. Selain itu, pikirannya malah terdistraksi pada kejadian beberapa saat lalu. Ketika mengantarkan flashdisk pada salah satu seniornya, dimana adalah orang yang sama dengan tempo hari pernah bertemu dengannya. Pemuda pemarah yang dia kira seorang pencuri karena terlihat berusaha membuka pintu cafe.

'Maaf, aku tak menyukai laki-laki.'

"Ugghh..." Ashley merasa bulu kuduknya berdiri ketika mengingat ucapan senior tersebut. "Apa wajahku seperti seorang gay?" tanyanya pada ruang kosong, tentu saja tak akan ada jawaban.

Kalau dipikir lagi, wajah senior itu lumayan manis untuk ukuran pria dewasa. Mungkin saja banyak laki-laki yang menyatakan perasaan pada senior tersebut, membuat Ashley mendapatkan imbas dari kesalahpahaman.

"Tapi, maksudku kan baik. Aku ingin minta maaf dengan cara memberi minuman. Apa hanya itu saja bisa mengindikasi aku menyukainya?" monolognya di dalam ruangan kosong.

Mungkin terlihat sepele, orang lain bisa saja melupakan hal memalukan seperti itu, tetapi tidak bagi Ashley. Dia harus memperbaiki kesalahpahama yang terjadi tanpa sengaja. Dan, bisa saja senior itu sudah sangat membencinya hingga berpikiran yang tidak-tidak tentang Ashley.

Karena itu, Ashley bertekad kuat untuk mendekati senior berwajah manis untuk membuatnya mengerti kalau dia seorang pria dewasa yang normal.

Meskipun sampai sekarang belum pernah berkencan dengan wanita, sama sekali.

Baiklah, lupakan hal miris tersebut.

Ashley segera mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencari nomor kontak seseorang yang sekiranya bisa membantu dalam situasi macam ini.

"Halo.."

.

.

.

.

.

.

'Bruk!'

Pemuda berkulit pucat menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang, menghasilkan efek memantul beberapa saat. Dia menghela nafas, terdengar berat dan lelah, seperti seseorang yang telah berlari maraton.

Kelopak mata dengan bulu-bulu lentik menutup sedari tadi, kenyamanan luar biasa menjalari tubuhnya lalu mulai mempengaruhi kinerja otak menjadi lebih tenang.

Tetapi ternyata tidak semudah itu. Karena, detik berikutnya iris hitam sekelam malam terbuka sempurna. Dia menoleh ke sisi kanan, dimana sebuah tas tergeletak tak berdaya di atas karpet bulu. Sebab sang pemilik telah melemparkannya ketika baru saja masuk ke dalam ruangan.

'Bagaimana kalau Anda mampir dulu ke Cafe Saya dan menikmati secangkir minuman di sana? Saya akan berikan gratis, sebagai permintaan maaf saya kemarin.'

"Tsk!?" desisnya kesal. "Dasar, trik murahan seperti itu masih ada yang melakukannya ternyata."

Simon mulai kembali memejamkan matanya lagi. Kalau sedang kesal begini, dia sering melampiaskan dengan tidur sangat lama, bisa sampai berjam-jam bahkan mungkin akan bangun tengah malam nanti.

Rencana tersebut akan berjalan mulus kalau saja Simon tak ingat pada file yang harus dia kerjakan.

"Sial."

Umpatan keluar dengan mulus dari sela bibir tipisnya, Simon mau tak mau turun dari sofa, merelakan rasa nyaman yang membuatnya mengantuk demi sebuah tugas sialan yang diberikan oleh dosen sialan juga.

Intinya Simon hanya ingin memaki pada apapun yang terlintas dipikirannya. Barangkali dengan itu bisa memudarkan kekesalannya.

Dengan gusar mengeluarkan Macbook dari dalam tas, menyalakan benda berwarna putih agak tipis sebelum memasukan flashdisk tersebut ke dalam lubang port di sisi kanan laptop. Simon menyamankan posisi duduknya dengan menyender pada sisi bawah sofa sembari menggenggam mouse. Menggerakan kursor, satu klik kanan pada salah satu folder, satu klik lagi pada satu-satunya file yang ada di dalamnya.

Isinya sebuah jurnal PDF yang harus dia pelajari secepatnya lalu mengisi kuisioner di bagian akhir halaman. Terkesan mudah kalau hanya melihat dari perintah yang dituturkan, kalau saja jurnal ini tak berisi ratusan halaman. Astaga, mata Simon langsung terasa berat hanya karena menggeser sampai ke akhir halaman. Ini bukan lagi gila, tapi SANGAT GILA.

"Dasar dosen sialan, seenaknya saja memberikan tugas tak manusiawi seperti ini dan pergi begitu saja," rutuknya kesal. "Ku doakan semoga rambutnya semakin tipis dan menjadi botak permanen!"

Meski telah mengeluarkan sumpah serapah sedemikian rupa, nyatanya Simon tetap membaca setiap baris dan paragraf dengan seksama. Dia tak mau rasa kesalnya ini malahan membuatnya mendapatkan nilai paling rendah atau malah berakhir gagal. Tidak, itu tak boleh terjadi.

'Kruyuuk'

Perutnya bersuara dengan keras tiba-tiba, cukup mengganggu konsentrasi Simon yang sedari tadi menatapi layar. Dia berusaha mengabaikan, andaikan saja bisa, tapi cacing-cacing pita di dalam sana tampaknya sedang melakukan demo masal agar pemuda itu segera mengisi apapun ke dalam perutnya.

Simon tahu, tak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas. Dia belum mengisi stok untuk bulan ini. Dia terlampau malas untuk repot-repot belanja persediaan makan dan memasaknya sendiri. Lebih suka makan diluar ataupun pesan antar. Maka, karena tak ingin fokusnya terganggu hanya karena perut kosong, Simon memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja. Perlu satu hingga dua jam hingga makanan tersebut sampai di tempatnya, setidaknya itu lebih baik daripada harus keluar dari apartemen ini. Rasanya, udaha di luar dapat membuat emosinya menjadi tidak stabil.

Simon belum sempat menekan tombol hijauh di layar ponsel ketika bel pintu depan berbunyi dengan keras. Seseorang tengah berada di luar sana, menunggu untuk dibukakan pintu.

Pemuda berkulit pucat memasang ekspresi heran, karena setahunya dia tak memiliki janji dengan seseorang. Kalaupun ada yang akan datang, orang tersebut pasti mengiriminya pesan lebih dulu, mengecek apakah Simon ada di dalam atau tidak.

Rasa penasaran yang kuat telah mendorongnya untuk mendekat ke arah pintu depan. Ada sebuah layar kecil di dekat pintu, gunanya mirip seperti lubang intip untuk melihat siapa atau apa yang ada dibalik pintu.

Simon lumayan terkejut ketika mendapati seorang pria tak dikenal berdiri di luar sana. Seketika adegan tentang penculikan dalam serial tv yang dia tonton kembali teringat. Tunggu, kejadian tersebut tak akan menimpanya bukan? Simon menepis kekhawatiran tak masuk akal itu.

Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke arah layar. "Siapa?"

Pria di luar pintu juga mendekatkan tubuhnya pada kotak kecil hitam yang berada di sebelah pintu. Hampir sama dengan di dalam ruang apartemen ini, hanya saja tak ada layar. "Saya hendak mengantarkan pesanan."

Ini gila atau mungkin ajaib?

Apakah Tuhan telah mengabulkan permintaannya sebelum Simon sempat mengehubungi layanan pesan antar?

Tidak, keajaiban semacam itu nyaris tak mungkin terjadi di dunia nyata.

Ini bukanlah drama ataupun novel fiktif.

Dunia tak mungkin berbaik hati semudah itu.

"Maaf, tapi saya tak memesan apapun."

"Tunggu sebentar," dari layar tersebut si pria terlihat mengecek sesuatu, secarik kertas. "Nomor 315 atas nama Tuan Simon Jefferson, benar?"

Baiklah, mau tak mau Simon harus menerima kalau memang benar keajaiban macam ini benar adanya.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C14
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank 200+ Macht-Rangliste
    Stone 0 Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen

    tip Kommentar absatzweise anzeigen

    Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

    Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

    ICH HAB ES