Mencintai sendirian bukanlah hal yang mudah, memendam bahkan pura-pura bahagia saat si dia bersama orang lain.
Rinai membaca rentetan kata demi kata dibuku yang baru saja menarik netranya berjudul memendam. Ia berfikir bagaimana bisa seseorang memendam perasaan kepada orang lain? Bahkan hingga bertahun-tahun lamanya. Bertepuk sebelah tangan saja sangat menyakitkan padahal si dia tahu kalau kita memiliki perasaan padanya.
"Rinai, lo masih lama?" Rinai menatap Yuira yang sudah berdiri didepanya, dengan dua buku tebal.
"Udah nggak kok. Kamu udah ketemu buku bisnisnya?" Yuira mengangguk dan mengangkat dua buku miliknya. Yap, mereka bisa berdiri ditoko buku ini, karena desakan dari Yuira yang memintanya menemani membeli buku bisnis.
Ini adalah minggu kedua setelah Rinai dinyatakan sembuh dan boleh pulang kerumah, nyatanya hatinya tetap belum sembuh. Hingga tugas Ayahnya selesai baru Ayahnya itu pulang dan bertanya bagaimana keadaan Rinai.
Mengingat sahabatnya, Yuira sudah menentukan pilihannya, ia akan meneruskan perusahaan milik keluarganya sesudah lulus kuliah.
"Lo bakal lanjut kemana?" Yuira menatap Rinai saat keduanya sudah berdiri didepan toko buku.
"Aku bakal terusin bakat musik aku. Pastinya aku bakal kuliah diluar negri." Yuira mengangguk. Rinai memang sangat menyukai dunia musik, bahkan ia bisa bermain alat musik piano. Tentu saja, itu adalah alat musik kesukaan gadis didepannya ini.
"Jangan lupain gue." Yuira memeluk Rinai, seakan-akan besok Rinai akan pergi meninggalkannya.
"Astaga Yuira, kita masih ada satu semester lagi." Rinai tertawa pelan. Yuira sedikit mengerucutkan bibirnya karena perkataan Rinai.
Mereka berdua memilih menghabiskan waktu dimall, entah makan, bermain time zone atau sekedar membeli beberapa barang yang sangat mereka inginkan.
***
Berpuluh-puluh kilometer dari Yuira dan Rinai. Langit, Tritan juga Regan sedang asik bermain dirumah Langit.
Langit sengaja mengajak mereka karena Mamanya ada urusan bisnis diluar kota sedangkan sang Papa sore ini ada jadwal tugas dirumah sakit hingga besok siang. Bukan kali pertama Langit membawa Regan dan Tritan untuk bermain mereka lah teman Langit semenjak TK. Bahkan rumah mereka bertetangga.
"Anjir, lo mah ada-ada aja. Gue kalah kan." Tritan memutar kedua bola matanya malas.
"Yey, orang gue suruh nyerang duluan juga." Regan membalas karena ia tak mau disalahkan.
Kedua laki-laki itu sedang asik bermain game online dengan ponsel ditangan mereka masing-masing. Berbeda dengan Langit, laki-laki itu lebih memilih duduk dimeja belajar menatap laptop didepannya.
"Sini kek Lang, gue bosen deh liat lo berduaan sama laptop Mulu, sama kita kapan?" Tritan memasang wajah memelas. Membuat Regan ingin muntah.
Kulit kacang terlempar kearah Tritan dan Langit membuat dua orang yang terkena lemparan itu mendengus. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Regan. "emang cuman gue yang paling waras." Regan menepuk-nepuk dadanya bak super Hero yang baru saja menyelamatkan banyak nyawa. Tentu saja, dengan netra yang masih asik menatap game didepannya.
Semenjak Langit mulai belajar tentang dunia bisnis. Tritan dan Regan selalu masuk kedalam kamar Langit dengan keadaan laki-laki itu sibuk dengan buku-buku bisnis yang sangat tebal atau sekedar menatap laptop yang menampilkan perkembangan perusahaan Aldebaran Corporation.
Langit memang malas disekolah, tapi jika ia sudah serius maka seluruh dunia akan tau bagaimana cemerlangnya otak Langit. Karena setiap ulangan Matematika ataupun Kimia semua tentang angka. Ia akan begitu mudah mengerjakan meski mereka berdua tau Langit mengawali ulangan tidak belajar.
"Gue lagi belajar, gak usah nganggu deh." Regan ikut menghentikan permainannya dan menatap Langit.
"Hidup ini gak akan berhenti cuman karena lo gak belajar satu hari aja." Langit memutar bola matanya malas mendengarkan perkataan Regan.
"Anjir." Umpatan yang keluar dari bibir Tritan membuat Regan dan Langit yang sedang berdebat menatap kearahnya.
Keduanya menaikan sebelah alis seakan bertanya kenapa.
"Si Rinai sama Yuira cantik banget." Tritan memberikan ponselnya kearah Langit. Regan yang memiliki kepo tingkat akut mendekati Langit dan melihat layar ponsel Tritan.
"Pepetlah bego, keburu ditikung kan berabe." Regan menyikut lengan Langit.
"Gue gak tau, akhir-akhir ini suka kepikiran Rinai. Masa iya gue suka sama dia." aku Langit.
"Yey, bangke lo mah pelajaran pinter masalah beginian, bego." Regan tertawa.
"Itu namanya lo suka sama Rinai." Imbuh Regan.
"Impossibel." Langit memutar bola matanya malas.
"Besok malming, lo ajak deh tuh si Rinai jalan." Langit menatap keluar jendela kamarnya, apa memang ia harus mendekati Rinai? Saran Regan tidak buruk juga.
Langit menatap dua sahabatnya yang masih asik bermain game online dengan sesekali memaki satu sama lain. Ia mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak diatas meja belajarnya dan mulai duduk diantara Regan dan Tritan memainkan game online bersama mereka.
***
Sabtu pagi adalah acara ekstrakurikuler. dua Minggu sekali mereka akan menggelar acara bakat untuk tiap ekstrakurikuler.
Rinai dan Yuira berjalan memasuki pekarangan sekolah. Beberapa siswa yang memang terpilih untuk mengikuti acara bakat datang dan beberapa siswa juga siswi yang datang hanya untuk menonton. Rinai dan Yuira masuk kedalam ekstrakurikuler yang sama yaitu musik.
"Rinai.. Yuira.." gadis dengan rambut yang dikuncir kuda mendekati dua sahabat itu.
"Hai, Rara." Rinai menyapa dan tersenyum.
"Gue mau tampil nyanyi sambil bawa gitar." Rara tersenyum antusias. Mereka memang dari satu ekstrakurikuler yang sama dan Rara juga terpilih mengikuti acara bakat minggu ini.
"Semangat ya, Rara." Rinai tersenyum tulus.
Rara berlalu dari hadapan keduanya. Yuira sejak tadi hanya diam memperhatikan beberapa orang yang berlalu-lalang disekitar, tak tertarik dengan obrolan Rinai dan Rara.
"Ra, ayo sebentar lagi kita dipanggil." Rinai menarik pergelangan tangan Yuira pelan. Menuju tempat yang sudah disediakan.
***
tuts demi tuts terakhir ditekan, menyebabkan bunyi dari alat musik piano. Rinai tersenyum kala permainannya sudah selesai.
Tepuk tangan riuh dari penonton membuat Yuira dan Rinai membungkukkan badan bersamaan.
Dari arah yang berbeda Langit memperhatikan tiap permainan yang dilakukan Rinai. Aneh memang mengapa seantusias itu, ia menunggu Rinai tampil dan tersenyum senang kala Rinai berhasil memainkan alat musik piano yang begitu memukau.
Kini giliran ekstrakurikuler Futsal yang melangsungkan pertandingan. Langit, Tritan dan Regan berdiri diposisi masing-masing.
Langit adalah kapten dari futsal, karena kehebatan yang laki-laki itu miliki dalam dunia bola besar membuat ia bisa menjadi kapten.
"Rinai, ke lapangan futsal yuk." Yuira menunjuk lapangan futsal yang sudah berdiri para pemain.
"Tribun penonton nya udah penuh, Ra." Rinai menatap Tribun yang sudah terisi.
"Yah, padahal gue juga mau lihat tuh, si Aldebaran main." Rinai mengangkat alisnya tak mengerti.
"Langit maksudnya." Rinai hanya membulatkan bibir membentuk huruf O.
"Yaudah kantin aja yuk." Yuira menarik lengan Rinai pelan.
Sedangkan Langit ditempatnya menatap Tribun satu ke tribun yang lain, berharap sosok yang ia cari ada. Helaan nafas kecewa keluar, kala tak menemukan sosok yang ia cari.
Setelah telah ditentukan regu siapa yang akan memulai permainan, Pluit panjang terdengar. Menandakan permainan akan segera dimulai. Dengan rasa yang masih terkadang tak menentu karena tak menemukan sosok yang ia cari. Langit berusaha fokus.
***
"Lo tumben amat gak fokus, tapi lumayan lah kita bisa unggul satu poin dari mereka. Meski biasanya 10 poin." Regan meminum botol mineral yang ia pegang.
"Iya, jangan-jangan karena si Rinai gak ada." Tritan tertawa membuat Regan tersedak.
"Seriusan? Sahabat kita udah besar. Gue kira gak akan suka sama mahluk yang namanya cewe." Regan menimpali membuat Langit memutar bola matanya.
"Jangan lupa nanti malem, saran kita buat pepet si doi." Regan kembali bersuara diangguki setuju oleh Tritan.
•••