Percakapan dengan Kabul sore tadi membuatnya berpikir semalaman. Malam ini benar-benar menenggelamkan pikiran Mas Sardi kepada nasibnya yang selalu ketiban sial. Entah kenapa yang dia inginkan selalu saja mendapat penolakan dari orang lain.
Di emperan rumah, Mas Sardu duduk dengan secangkir kopi juga rokok kretek yang sedari tadi Ia sesap. Sementara Mas Kardiyang sejak sore tadi keluar belum kunjung pulang. Padahal malam sudah gelap gulita. Lampu minyak hanya menyala di ruang tengah. Ayah dan Simbok masih bercengkerama di dalam.
Mas Sardi masih memikirkan perkataan Kabul sore tadi. Khususnya apa yang Ia katakan tentang Ranti. Kenapa tidak dengan dia saja katanya. Kalimat sederhana yang sedikit menggelitik perasaannya.
Memang akan mudah segalanya kalau Mas Sardi berniat untuk cari jalan mudah. Nikahi saja anak kuli yang bekerja di ladang bapaknya lalu hadiahi sepetak tanah. Beres masalahnya. Sayangnya tidak semudah itu karena dibalik titah untuk menikah adalah sang Ayah. Ia tidak mungkin curang atau lebih tepatnya tidak akan diizinkan.
Sudah dijelaskan, Mas Sardi adalah anak kesayangan. Selain pintar, Mas Sardi ini cekatan dan bertanggung jawab. Ia begitu dibanggakan oleh ayahnya sekali pun Ia mempunya adik beradik. Selain itu titah Ayahnya adalah bersifat mutlak.
Kembali kepada Ranti.
Ranti memang terlihat lugu. Aura gadis desa hang tidak neko-neko dan tidak banyak bicara. Kalem, lembut dan penuh kasih juga sopan santun. Setahu Mas Sardu, Ranti dekat dengan adiknya mas Kardi. Mungkin karena Mas Kardi ini lebih vocal daripada Mas Sardi.
Mba Ranti adalah anak sulung dari keluarga Pak Darman. Salah satu kuli Ayah. Selain Mba Ranti masih ada adik-adiknya yang masih kecil.
Beberapa kali Mas Sardu dan Mba Ranti bertemu. Namun Mas Sardi tidak pernah sekalipun memperhatikan gadis tersebut. Baru siang tadi, Ia pertama kali bercakap dengannya. Dan malam ini ia memikirkan gadis itu. Gadis yang membuatnya dilema untuk dijadikan calon pengantinnya.
Malam semakin larut. Sayup-sayup percakapan ayah dan Simbok pun sudah tidak terdengar lagi. Kopi di gelas juga sudah tinggal ampas. Suara hewan malam semakin beraneka ragam pula. Lengkap dengan udara malam yang menelisik menembus balutan sarung Ma Sardi.
Terdengar langkah kaki mendekat. Karena terlalu gelap Mas Sardi tidak bisa melihat siapa yang datang. Dia hanya tahu paras dan juga hentakan kakinya adalah milik adiknya. Tidak salah lagi. Mas Kardi langsung saja duduk di dekatnya. Menimbulkan bunyi "kemreot" dari bangku bambu yang mereka duduki.
Mas Sardi dan Mas Kardi tidaklah dekat. Bahkan Kabul lebih dekat hubungannya dengan Mas Sardi. Mas Sardi tidak mau capek-capek menyapa adikknya itu. Begitu pun Mas Kardi Ia enggan untuk sekedar memulai kata kepada sang kakak.
Mas Kardi menghela napas dalam. Sepertinya Ia melepas lelah. Entah dari mana Ia pulang selarut ini. Tapi Dia memang biasa pulang larut. Tidak ada siapa pun yang tahu Ia pergi ke mana.
Kemudian Mas Kardi menyodorkan kretek kepada Mas Sardi. Ia meminta disalurkan bara rokok. Tanpa sepatah kata pun. Sehingga rokok yang baru ia ambil dari saku itu menyala.
Setelah rokoknya berhasil di cumbui warna merah Mas Kardi pun menyesapnya sambil menempelkan tubuhnya di dinding bambu rumahnya.
Mereka berdua saling diam. Tenggelam pada malam dan pikiran masing-masing. Tidak ada bahan yang bisa mereka bicarakan sekalipun mereka adalah saudara sekandung.
Kemudian lagi dan lagi pikiran Mas Kardi dioenuhitentang Ranti. Dia juga ingat kalau Ranti itu dekat dengan Mas Kardi.
"Cuk. Akhir-akhir ini kok Si Ranti datang kerumah ngapain ya." Mas Sardi membuka percakapan untuk basa basi.
"Dia kan gantiin Ibunya. Lagi sakit." Jawab Mas Kardi.
"Gantiin maksudnya?"
"Nggak tahu kamu ya cuk. Kemana aja. Ibunya Ranti kan kuli di ladang kita. Jadi yang ngurus ladang kita selama ini siapa menurutmu? Simbok? ayah? Mana sanggup. Orang udah pada sepuh."
Mas sardi berpikir kenapa selama ini tidak memperhatikan itu. Kuli ayah memang terlalu banyak membuat Mas Sardi tidak terlalu peduli mana yang kuli tetap dan pendatang.
"Bapak sam ibunya Ranti itu memang kuli tetap. Alias kepercayaan. Kalau yang lain mah cuman ngikut kerja." Timpal Mas Kardi lagi.
"Jadi kalau panen itu mereka yang ngurus?" Mas Sardi bertanya lagi.
"Ya iyalah. Kalau panen jagung mereka yang mreteli. Kalau panen padi mereka yang menjemuri." Jawabnya.
Mas Sardi kembali tenggelam pada pikirannya. Menyesap kreteknya yang saat ini setia memberi stimulus baik-baik saja salam benaknya.
Kalau dipikir lagi dia masih belum tahu apakah rencana A yang Ia wakilkan kepada Kabul kelak akan berhasil. Mengetahui hasil pertama yang malah berujung mengerikan. Apakah ke lima orang terakhir kelak juga akan memberinya penolakan jahat juga?
Ia tidak masalah jika nanti keluarga yang anak wanitanya Ia nikahi kelak menuntut ini dan itu. Ia tidak memikirkan tentang perasaannya saat ini. Yang Ia pikirkan adalah bagaimana Ia bisa memenuhi syarat yang Ayahandanya berikan untuk bisa kabur dari tempat laknat ini.
Mengingat rencana A yang kemungkinan besar tidak akan mulus. Mas Sardu jadi berpikir tentang rencana B. Bagaimana kalau Ranti Ia taruh pada rencana B?
"Apa kamu mau ikut transmigrasi Kar? Sama saya." Tanya Mas Sardi pada Mas Kardi.
"Ndak minat saya. Lagian Simbok ndak bakalan menyetujuinya. Memangnya kamu mau ikut?"
"Iya. Berangkatnya satu bulan lagi. Saya sudah mendaftar di balai desa. Tinggal mikir berangkat." Tutur Mas Sardi.
"Memangnya sudah ijin sama ayah dan simbok?"
Mas Sardi menghembuskan asap kreteknya ke udara.
"Sudah." Kibulnya oada Adik pertamanya itu.
Lalukeduanya hening kembali. Alih-alih menyudahi pembicaraan Sardi malah memberikan pertanyaan yang membuat kaget Kardi.
"Ranti itu sudah ada yang minang belum ya Kar."
Sontak Kardi menoleh pada wajah Sardi yang keseluruhan hanya terselimut gelap. Sebab tak ada satu pun cahaya di dekat mereka. Hanya cahaya rokok yang tak berati sama sekali kecuali melalap habis balutan tembakau itu.
"Siapa yang mau minang dia. Kerjaannya cuma di rumah tidak pernah keluar sama sekali. Sukanya nge-rong." Kata Kardi.
"Ya perempuan ngapain banyak keluar. Bagus di rumah lah." Timpal Sardi tidak setuju dengan anggapan negatif Wiro.
"Ya tahu. Tapi gak ada pemuda desa yang kenal dia kecuali aku. Dia mana pernah di godain. Tak godain sedikit aja wajahnya sudah langsung kayak udang rebus."
Mendengar penuturan Kardi, Sardi jadi sedikit tahu tentang kedekatan Kardu dan Ranti. Ternyata selain kalem Ranti itu benar-benar gadis lugu dan polos yang tidak pernah bercengkrama dengan pria mana pun.
Lalu Sardi pun berpikir untuk mengalihkan topik pembicaraan sebelum Kardi mulai curiga.
"Kamu itu selalu pulang selarut ini dari mana? Jangan-jangan kenthu ya kamu?" tanya wito menyelidik.
"Kenthu apanya. Mau digantung aku sama ayah? " jawab Kardi.
"Hla terus? Ngobor? Tapi enggak bawa obor. Engga dapet belutjuga. Lagian masih tanggal muda gelap juga."
"Kamu itu peduli amat sama urusan saya. Sar."
Kardi memang tidak pernah memanggil kakaknya itu dengan sebutan kak, atau mas. Ia selalu memanggil dengan namanya.
"Alah... menghindari pertanyaanku kamu. Tinggal bilang iya kenthu. Gitu aja kok repot."
"Gila kamu ya Sar pikirannya. Enggak sejauh itu." Kardi mulai kesal dengan Sardi.
Mendengar sang adik yang mulai kesal Sardi pun menghentikan percakapan mereka.
Kepala Sardi berdenyut. Setumpuk pikiran membuatnya merenung setiap malam. Belum lagi udara malam beserta kopi yang biasanya berujung kembung dan masuk angin. Tapi tanpa ini, Mungkin Sardi tidak akan benar-benar terlelap setiap harinya.