Chapter 2
Vanilla Bakery
"Kalian bertengkar lagi?" tanya Xaviera West, ibu Vanilla.
Vanilla yang sedang menggilas adonan roti menghentikan gerakannya, meletakkan alat penggilas lalu ia mengambil alat pemotong adonan. "Tidak," jawabnya singkat.
"Tadi malam kau tidur di kamarmu." Nada suara Xaviera terdengar mengejek.
Vanilla yang sedang memotong adonan roti tampak berkonsentrasi dengan apa yang sedang ia lakukan. "Suatu saat Beck yang akan naik ke atas ranjangku."
"Kau tahu, dia sangat marah saat mendengar kau telah meninggalkannya pergi ke New York."
"Beck selalu begitu, dia tidak peduli padaku saat aku ada di dekatnya. Tapi, begitu ada orang lain di sampingku, dia akan marah." Gadis bermata biru gelap itu mengambil beberapa potongan sosis lalu menyusunnya di atas adonan roti yang telah ia bubuhi saus tomat.
"Kalau begitu kau bisa mencari pria di sini untuk kau dekati agar Beck marah," ucap Xaviera sungguh-sungguh.
"Mom, apa kau bercanda? Kau tahu aku tidak memiliki teman pria dari dulu karena Beck. Sialan, dia benar-benar membuatku tidak memiliki teman pria," gerutu Vanilla.
Xaviera terkekeh pelan. Ia menggulung adonan roti yang telah ia isi dengan sebuah sosis utuh. "Dan kau akan selamanya menjadi tukang roti?"
Vanilla mengedikkan bahunya. "Ini sangat menyenangkan."
Vanilla menyelesaikan kuliahnya di Columbia University, New York. Selama ia tinggal di New York ia mengisi waktu luangnya dengan mengambil kursus membuat kue dan hidangan yang tidak terhitung jumlahnya. Ia ingin seperti ibunya dan tentunya karena ia adalah putri satu-satunya otomatis ia adalah penerus Vanilla Bakery kelak. Ayah Vanilla telah tiada saat ia berusia lima belas tahun dan Xaviera memilih tidak menikah lagi hingga sekarang padahal Vanilla sama sekali tidak keberatan jika ia memiliki ayah tiri.
Xaviera wanita yang kuat, sejak suaminya meninggal ia membesarkan Vanilla dengan jerih payahnya sendiri dari toko kue yang ia rintis dari nol hingga sekarang telah menjadi salah satu toko roti terbesar di Barcelona. Vanila Bakery memiliki sepuluh cabang yang tersebar di berbagai tempat strategis di Barcelona. Vanilla ingin seperti ibunya, menjadi wanita tangguh yang tidak bergantung kepada siapa pun dan hanya memiliki satu cinta dalam hidupnya.
Vanilla ingin saat nanti nanti setelah menikah dengan Beck, setiap pagi ia bisa membuatkan sarapan untuk Beck lalu setelah Beck pergi bekerja, ia sendiri akan pergi mengurus bisnisnya, Vanilla Bakery. Itulah sebabnya meskipun ia telah mahir membuat berbagai jenis kue dan hidangan, gadis itu tidak berhenti untuk belajar. Semua demi Beck, suatu saat ia ingin Beck melihat semua usahanya.
"Kau tidak perlu memaksakan diri untuk membantuku mengurus toko ini, kau bisa bekerja di kantor sesuai dengan titel sarjanamu," ujar Xaviera.
"Menjadi karyawan di perusahaan orang lain?" Vanilla menatap Xaviera dengan tatapan terluka.
Melihat tatapan putrinya yang penuh kepedihan, Xaviera mengerti. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu menghela napasnya. "Maafkan aku, aku tidak bisa mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik kita."
"Itu bukan kesalahanmu."
Ayah Vanilla adalah seorang pengusaha yang terbilang sukses, ia memiliki perusahaan yang bergerak di bidang jasa pembuatan konstruksi yang sangat terkenal di kota itu. Tetapi, Tuhan mengambilnya begitu cepat karena serangan jantung mendadak dan Xaviera yang hanya tahu bagaimana cara membuat kue tidak mungkin mengambil alih perusahaan itu. Adik iparnya mengambil kuasa atas perusahaan mendiang suaminya tanpa sedikit pun memberikan pembagian dan perhitungan yang jelas karena hingga saat ini tidak satu sen pun Xaviera menerima keuntungan dari perusahaan yang masuk ke dalam rekeningnya.
Namun, wanita itu memilih berlapang dada. Ia masih bisa berdiri di atas kakinya sendiri, membesarkan Vanilla dengan baik, mencukupi semua kebutuhan Vanilla dari hasil toko kue yang berkembang pesat.
"Aku memiliki ide," ujar Xaviera tiba-tiba.
Wanita itu melepaskan sarung tangan dan toque, ia memanggil salah satu karyawannya untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Mom, apa yang akan kau lakukan?" tanya Vanilla saat ibunya menjauhkan loyang berisi roti siap panggang dari depan Vanilla dan menyeretnya menuju ruang kerja pribadi ibunya.
"Kita harus pergi ke salon kecantikan."
Mendengar apa yang barusan terucap dari bibir ibunya membuat bibir Vanilla ternganga. "Apa?"
"Ke salon kecantikan lalu kita berbelanja." Xaviera tersenyum lebar.
Vanilla melepaskan sarung tangan dan toque dari kepalanya, ia juga melepas celemek yang melekat di tubuhnya. "Mom, kita sedang membangun cafe dan kita tidak boleh boros."
Mereka memang sedang merancang pembuatan sebuah cafe persis di sebelah toko kue utama, kebetulan bangunan itu baru saja Xaviera beli saat putrinya kembali dari New York dan Vanilla memiliki gagasan cemerlang untuk mengembangkan usaha mereka merambah ke bidang cafe dan restoran.
Xaviera melemparkan celemek ke dalam keranjang cucian lalu melepas gulungan rambutnya. "Antara boros dan kebutuhan wanita itu berbeda sangat jauh." Ia meraih tas dan ponselnya lalu meraih kunci mobilnya.
Vanilla juga meraih ransel mini kesayangannya lalu terpaksa menyusul langkah kaki ibunya yang menjauh dari ruangan itu.
***
"Mom, ini akan membuatku menjadi aneh," protes Vanilla saat ibunya memilihkan pakaian dengan model trendy dan feminin. "Ini tidak cocok untukku."
"Diam," ucap Xaviera. "Kau hanya cukup menurut padaku karena aku ibumu."
Vanilla mendengus kesal, sejak tadi ibunya memperlakukannya dengan sewenang-wenang di salon kecantikan. Mulai dari memotong rambut panjangnya yang menyentuh pinggang menjadi hanya sepunggung dengan bentuk yang meruncing ujungnya lalu memerintahkan petugas salon kecantikan untuk memasangkan kuku palsu yang membuatnya akan kesulitan menggilas adonan kue nanti dan sekarang ibunya juga telah memilihkan pakaian yang tidak terhitung jumlahnya. Semuanya bahkan tidak ada yang sesuai dengan selera Vanilla.
Sesampainya di rumah, Vanilla nyaris pingsan menatap tumpukan pakaian yang di beli oleh ibunya. Srluruh pakaian itu bergaya terbuka, sempit dan kurang bahan. Juga sepatu dengan tumit runcing seperti ujung tombak dan tas yang hanya bisa ia isi dengan ponsel.
"Aku akan mengganti seluruh isi lemarimu," ucap Xaviera sungguh-sungguh membuat Vanilla benar-benar nyaris kesulitan bernapas.
"Mom, kau jangan bercanda, aku tidak menyukai gaya pakaian seperti itu," protes Vanilla.
"Kau ingin Beck melihatmu, bukan?"
Vanilla terdiam. Ia telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan perhatian Beck tetapi sampai saat ini meski mereka bertunangan, sikap Beck begitu dingin. Dua bulan sejak ia kembali dari New York, nyaris tidak ada kemajuan apa pun dalam hubungan mereka selain pertengkaran karena Beck jengah dengan semua cara Vanilla mendekati Beck. Setiap hari Vanilla mengancam Beck akan mengirimkan foto Beck dan Sophie jika Beck tidak menuruti semua keinginan Vanilla.
Toque = topi koki.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate.
Salam manis dari Cherry yang manis.