Jam Istrihat, kehebohan tentang anak baru yang dibilang tampan itu lebih menggemparkan lagi. Renata and the geng bahkan sudah duduk dengan nyaman dikursiku, mereka mengelilingi anak itu. Aku meringis melihatnya prihatin, kurasa untuk bernafaspun sepertinya dia kesulitan.
Semua siswi berniat mengajaknya bicara, entah karena kesopanan dia selalu menjawab pertanyaan para gadis itu meskipun hanya berupa dehaman, ya, tidak atau tidak tahu.
"Gile bener, susah juga ya jadi orang ganteng." Raka berkata setelah melihat takjub cewek-cewek dari kelas lain berhimpitan di depan jendela hanya untuk melihat si murid baru. Aku dan Laras sebagai salah satu yang tersisihkan dari tempat kami hanya terkekeh menanggapi.
"Untung lo gak ganteng Ka."
"Kampret lu Lele! Muka gue aestetik nih"
"Aestetik macam mumi museum?" Raka melempar kertas kepada Leo setelah meremasnya menjadi bola membikin kami semakin tertawa geli.
"Gue gak sekeriput itu!."
"Lah terus ini dua cewek kenapa disini?" Tanya Leo ketika menyadari ada dua spesies lain yang ikut gabung diantara mereka. Aku memandang Laras yang berbalik memandangku juga. Kami seolah berbicara melalui telepati, saling mengerti maksud satu sama lain lalu menghela nafas bersamaan.
"Elo gak lihat tuh, kita mau duduk aja susah. Semua kursi disekeliling Zyan udah di sabotase!" Laras lebih dulu menjelaskan yang aku aminkan dengan anggukan.
"Gue kasihan sama dia." Kataku pelan
"Kenapa?" Dafa tiba-tiba saja bergabung sembari membawa beberapa snack yang langsung diminta Oji. "Beli sendiri Oji!" Teriaknya, Fyi aja... Dafa ini laki-laki paling halus bicaranya di kelas tapi sekaligus paling ember, yang kalau baru saja dibicarakan dia sudah langsung menyampaikannya pada orang-orang.
"Pelit ih, bagi sedikit atuh."
"Enggak, sedikitnya kamu teh bakal satu bungkus."
"Ih! Kalau pelit-pelit nanti kuburannya sempit loh."
"Tapi sayakan di kremasi." Oji yang baru aja nyuap satu keripik buru-buru mengembalikannya kepada Dafa.
"Kok gak jadi Ji."
"Ya daripada nanti jadi gue yang dosa gara-gara dia gak ikhlas. Gue takut disiksa kubur."
"Yaudah kamu dikremasi aja kaya saya."
Lagi tawa kami mengudara, mengundang tatapan ingin tahu siswa yang berada di kelas termasuk Zyan sendiri. Entah apa yang dipikirkan Oji tiba-tiba aja manggil Zyan. "Oy Zyan, mau keripik kaga? Dafa bawa banyak tuh."
"Ikhlas gak? Soalnya gue juga di kubur nih." Teriakan Zyan sukses membuat kami melongo, aku gak nyangka sejak tadi dia memperhatikan kami tapi lebih gak percaya lagi kalau dia secablak itu. Karena jika dilihat dari sudut pandang kami, dia terlihat gak acuh dengah sekitar, bahkan kita semua bisa lihat sejak tadi dia hanya menelungkupkan wajahnya di atas meja.
Kulihat Oji menyenggol lengan Dafa "ikhlas gak lu?"
"Kamu tuh ya, makanan punya siapa tapi berani banget nawar-nawarin ke orang. Nih yan! Saya ikhlas kok."
"Nah gitu dong, makasih ya Dafa." Dafa menepis tangan Oji, mukanya segarang macan tutul. "Kamu enggak boleh!!" Dan tawa keras Zyan, menolehkan kami semua lagi. Dia bangkit dari duduknya, hendak menghampiri kami tapi Renata buru-buru mencegah.
"Zyan mau keripik? Aku bisa beliin banyak kok buat kamu." Renata tersenyum manis tapi sebaliknya Zyan menatap Renata dengan sorot wajah yang kejam banget.
"Enggak perlu, gue bukan orang miskin." Katanya dingin lalu menepis tangan Renata. Tanpa mempedulikan wajah Renata yang memerah karena malu, Zyan menghampiri Dafa lalu mengambil keripik yang dipegangnya. Sikapnya kontras sekali ketika dia berada di dekat Renata. Ini aneh tapi kurasa dia tidak suka berada di dekat perempuan sebab saat bersama dengan teman sekelasku yang laki-laki dia bersikap normal kelewat ramah dan asik malah. Dan dugaanku diperkuat dengan tatapan sinis yang diarahkannya padaku juga Laras.
***
Aku belum beranjak dari ruang kelas yang mulai sepi ditinggalkan isinya. Laras sudah pulang lebih dulu, beberapa menit setelah dia mendapatkan panggilan dari ibunya. Tidak tahu apa yang dibicarakan dengan ibunya, setelah memutuskan panggilannya ia pamit padaku. Pada awalnya karena melihat wajahnya yang cemas, aku berniat menemaninya, namun Laras mencegah lalu mengatakan akan menceritakannya padaku esok hari. Aku tidak bisa memaksa, dan tidak punya pilihan lain selain membiarkannya pergi.
[Fr:Bima]
Gue gabisa balik bareng. Ada urusan mendadak, bisa pulang sendirikan?
Pesan yang kubaca dari Bima yang isinya membuatku panas setelah mengingat aku sudah menunggunya selama satu jam masuk baru saja. Aku tidak mau membalasnya, memilih melempar ponselku kedalam tas lalu bangkit dari kursiku. Menyebalkan! seharusnya dia bilang sedari tadi, ya meskipun bukan sepenuhnya salahnya hanya saja aku sudah mengatakannya berkali-kali bahwa kita tidak bisa terlihat berteman. Jadi pulang atau pergi bersama sudah pasti adalah hal konyol yang harus dihindari, dia tidak perlu memaksa dan aku tidak perlu menunggu seperti orang bodoh disini.
Aku keluar sekolah, hampir tidak ada siapapun lagi ketika aku menuju halte bus kecuali satu siswa yang baru saja kukenali. Ya si anak baru itu, tengah duduk di kursi halte entah menunggu jemputan atau bus yang sama sepertiku. Aku mendekat bukan untuk bertegur sapa, kami bahkan terlihat tidak kenal satu sama lain. Baguslah, memang lebih baik seperti ini daripada harus bersikap sok akrab apalagi saat aku masih merasa kesal karena perilakunya pagi ini.
Menanti beberapa menit, bus yang kumaksud akhirnya berhenti tepat didepanku. Aku naik kedalam bus, lalu ketika kupikir dia akan diam ditempatnya tanpa terduga dia ikut naik bersamaku. Kami masih sama-sama diam, berdiri berhimpitan ditengah ramainya penumpang. Seorang bapak cukup berumur berdiri dikananku sedangkan Zyan berada di sisi satunya. Awalnya keadaan begitu kondusif, aku menanti sampai tujuan dengan tenang, Zyan masih diam membisu. Tapi sampai di pemberhentian halte berikutnya, tiba-tiba bus ini semakin ramai, dan orang-orang semakin merapatkan tubuhnya masing-masing.
Disaat itulah aku merasa semakin aneh sekaligus risih dengan bapak yang berdiri disampingku. Meskipun bus ini ramai, aku pastikan kami masih bisa memiliki jarak agar tidak menyentuh satu sama lain. Seharusnya bapak itu tidak terlalu dekat padaku bukan? Atau memang dia ada niat buruk denganku. Dalam kekalutan pikiranku bapak itu semakin menempeli tubuhku seperti lintah, membuatku mau tidak mau semakin bergeser mendekati Zyan. Semakin aku menjauh, bapak itu semakin mendekat. Aku mulai gemetar ketakutan mencoba mengumpulkan keberanian untuk menegurnya, lalu ketika kurasa aku bisa melawan, Sebuah tangan menarikku pelan, dengan gerakan cepat juga aku sudah dalam kurungan seseorang yang berdiri dibelakangku dengan tangan yang memberi batasan diantara tubuhku.
Aku membelalak, menatap urat tangan yang menjulur disampingku, perlahan mengadah kemudian mendapati Zyan tengah menatap bapak itu dengan tajam. Mungkin merasa terintimidasi karena terpegok, bapak itu segera menghentikan bus lalu turun dengan cepat. Aku menghela nafas lega, tadi itu rasanya mengerikan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mengeluarkan suara saja rasanya tercekat di dalam tenggorokan. Sekarang aku mengerti kenapa mereka yang mendapat pelecehan dimuka umum seperti ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi dirinya sendiri.
Zyan masih dalam posisinya, dia tidak merubah posisi kendati kurasa kondisinya mulai aman. Aku kembali mengadahkan wajahku yang ternyata bersamaan dengannya yang menatapku. Karena gugup aku buru-buru mengalihkannya. Bergeser sedikit berharap Zyan melepaskan kurunganya, dan syukurlah dia melakukannya.
"Thanks!" Ucapku pelan tapi kuyakini masih bisa didengarnya, Zyan hanya balas bergumam sambil mengangguk.
Pemberhentian berikutnya adalah halteku, aku turun dari bus, dan yang membuatku terkejut adalah pemberhentian Zyan yang juga sama denganku. "Kok ikut turun?" Secara spontan aku mengatakannya.
Zyan menarik salah satu alisnya "Terus gue harus turun dimana?"
Ditanya seperti itu, aku jadi gelagapan sendiri. "Eh?? Sorry, gue cuman nanya." Tanpa menanggapiku, dia berlalu gitu aja membuat aku tak tahan mendengus. Aku lalu mulai mengikutinya, bukan.... bukan malah gantian jadi penguntit, tapi secara kebetulan lagi arah jalan kami sama.
Aku sedang menuju toko bunga nenek, yang udah dikelola nenek lebih dari 10 tahun. Disana ada cafe yang sudah berumur sama dengan toko nenek. Dan Kulihat dia menuju cafe itu.
"Sejak kapan dia suka kesana? Kok gue gak pernah lihat."
"Lagi liatin apa neng?"
"Eh kang ucup! Bikin kaget aja."
"Maaf neng, abisnya akang liat neng diam aja disitu. Jangan suka bengong atuh neng nanti kesurupan. Mending masuk kedalam aja yuk, Teh nunu kebetulan lagi bikin teh."
"Beneran? Tumben teh Nunu mau buat teh."
"Kan mau ada tamu spesial atuh."
Semburat senyuman yang hadir diwajahku serta anggukan kepala mengiringi langkah kakiku mengikuti Kang ucup, mengabaikan murid baru itu disana. Yah Meski tak dapat kupungkiri rasa penasaran dengan si murid baru itu juga masih tinggi. Entahlah tidak paham kenapa aku sepenasaran itu tapi firasatku mengatakan, dia mungkin akan merepotkanku?
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension