Senja tiba. Agung sinarnya menyorot bumi untuk mengisyaratkan bahwa hari sudah usai. Kini saatnya kembali pulang ke tempat peraduan. Tidak lagi berlelah-lelah untuk menjemput selembar uang atau memperjuangkan sesuap nasi demi menyambung kehidupan. Kota metropolitan ini juga punya waktu sendiri untuk bisa saling mengerti satu sama lain. Jika pagi hingga sore adalah waktu yang baik untuk para pekerja resmi yang diakui oleh masyarakat beraksi. Menunjukkan kemampuan, mengabdikan diri di dalam profesi, dan melaksanakan tugas yang diemban dengan baik. Namun, ketika matahari tenggelam, pekerja-pekerja itu harus pulang ke rumahnya. Menyisakan sedikit waktu untuk berkumpul bersama keluarga, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur dan dan menjemput fajar di keesokan harinya.
Untuk mereka, si bukan pekerja resmi yang tak diakui oleh masyarakat. Penyuka dunia malam, atau pekerja yang mendedikasikan tenaga dan tubuhnya untuk bekerja di bawah lampu kuning bar dan atap mewah longue. Menikmati gemerlap lampu diskotek dengan alunan musik DJ yang menggema di ruangan. Mereka yang punya keahlian untuk menuang wine, wiskey, cocktail, dan semacamnya akan mulai beraksi kalau surya memutuskan untuk purna dan lengser dari posisinya. Membuat sebuah kisah baru untuk memulai petualangan mereka malam itu.
Bukan Sandra, ia bukan wanita penyuka dunia malam sebenarnya. Namun, Sandra harus bekerja dan menetap selama beberapa jam hingga pagi datang di dalam bangunan bar itu. Ia menjadi seorang bartender yang bekerja bersama seorang pria yang lebih tua darinya. Katanya pak tua itu akan purna dari tugasnya beberapa bulan lagi. Ia sudah tak mencintai pekerjaan yang sedari dulu menjadi mimpi kecilnya itu. Sedikit lucu, jika seseorang bermimpi untuk menjadi seorang dokter, pilot, atau polisi berpangkat, maka pria tua yang selalu datang bersama tubuh ringkihnya itu hanya bermimpi untuk bisa meracik minuman dengan gayanya sendiri. Ia ingin punya bar, tetapi uang tak mendukung keadaannya itu. Itulah sebabnya si pria tua memilih bekerja di tempat orang lain dan mendedikasikan hidupnya untuk itu. Ia menabung banyak untuk hari tuanya.
Sandra mulai menghentikan langkah kaki. Sepasang sepatu berwarna putih bersih dengan motif gadis lengkung di kedua sisinya itu kini tepat berhenti di depan bar. Ia memandangi masuk dengan pandangan mata yang sedikit tak fokus. Memastikan kalau dirinya tak terlalu banyak memakan waktu untuk menunggu bus tadi. Ia sedikit terlambat. Kiranya sepuluh menit berlalu begitu saja. Bukan kali pertamanya, Sandra datang di luar dari jam yang ada di dalam surat kerjanya. Namun, ia selalu saja lolos sebab pak tua yang baik hati itu. Kesalahannya selalu saja tertutupi oleh alasan-alasan yang diberikan si pak tua pada supervisor bar tempatnya bekerja.
"Good night, Pak Bais. Ada bos?" tanya Sandra memberi kode dari luar jendela bar. Ia menunjuk-nunjuk tepat ke dalam sebuah ruangan kecil yang ada di sudut bangunan tepat di belakang tangga masuk ke dalam lantai atas bangunan itu.
--yang dipanggil Pak Bais hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya ringan. Sejenak dirinya melambaikan tangan untuk memberi isyarat pada Sandra bisa masuk ke dalam ruangan. Tentunya, sebelum si supervisor cerewet itu datang dan mengetahui kalau ada satu anak buahnya yang bandel.
Sandra tersenyum kuda. Sigap dirinya mendorong pintu bersekat kaca buram dan melangkah masuk ke dalam bangunan bar. Ia berlari kecil untuk sampai ke dapur belakang. Mengganti pakaiannya dengan seragam bar juga menyimpan batang-barang miliknya dengan rapi. Memulai tugas dan menemani pak tua bertubuh kerempeng itu.
"Kenapa terlambat lagi?" tanya Pak Bais padanya. Menoleh sejenak ke arah Sandra lalu tersenyum tipis. Ia tak berucap apapun untuk menunggu gadis yang baru saja datang menjawab pertanyaannya.
"Ada urusan kampus yang harus aku selesaikan, Pak. Lagian bus terlalu lama datang. Aku tak bisa membuang-buang uang untuk naik taksi." Sandra tersenyum kuda. Ia menepuk ringan punggung tangan pria tua yang ada di sisinya.
"Kalau aku sudah tak ada di sini, kau tak bisa lolos dengan muda seperti itu. Jadi mulai belajar membagi waktu dengan baik." Pria itu mulai menggurui. Untuk orang-orang yang tak suka mendengar ceramah dan khotbah, maka pria ini akan menjadi si tua yang menjengkelkan. Namun, untuk orang yang sudah mengenalnya lama ... pria ini adalah representasi dari malaikat tanpa sayap.
"Kau akan benar-benar pergi dari sini, Pak?" tanya Sandra melirih. Ia meraih satu gelas kaca kecil dan meletakkannya sejajar di atas nampan. Seorang pelanggan datang dan memberi isyarat untuk membawakan sebuah bir lokal padanya.
"Aku sudah tua, Sandra. Anak-anakku bahkan menyuruhku untuk berhenti bekerja dan tinggal bersama mereka."
Mendengar kalimat itu, Sandra hanya bisa mengangguk ringan. Ia berdeham menyetujuinya. Meksipun berat rasanya, tetapi Sandra harus menghargainya pria ini. Ia harus menghargai fakta bahwa Pak Bais sudah tak sehebat dulu lagi. Ia sudah menjadi pria tua di akhir senja. Usianya tak bisa ada yang menjamin lagi.
"Kau juga akan menemukan teman kerja yang baru kalau aku pergi. Jadi jangan khawatir tentang itu." Pria tua itu terkekeh dengan ringan. Ia meletakkan satu botol bir lokal tepat di atas nampan kayu berukir abstrak lalu menarik gelas kecil kosong milik Sandra dan mensejajarkan itu dengan baik.
"Antar ini dan tolong bersihkan meja yang di sana itu," ucap Pak Bias dengan nada ringan. Ia tersenyum pada si gadis cantik yang sudah mirip dengan cucu kandungnya sendiri. Lalu pria itu menepuk pundak Sandra untuk memberi energi baik pada gadis itu. Di tempat ini, Sandra adalah orang yang paling muda. Ia paling terakhir bergabung dan paling disisihkan dari semuanya. Jika melihatnya beristirahat sendirian di sudut ruang dapur dengan ditemani sekaleng soda murahan, terkadang sudah membuat hati Pak Bais tersayat habis. Namun, kalau Sandra diminta untuk ikut bersama yang lainnya ... gadis itu selalu berkata dan menolak dengan kalimat ini. "Itu akan canggung, Pak. Lagian mereka jauh lebih tua dariku. Aku tak bisa minum alkohol sebanyak mereka."
"Baik, Pak Bais. Jangan lupa jaga kesehatanmu. Aku melihatmu merokok lagi kemarin malam," ucap Sandra terkekeh kecil. Ia meninggalkan pria tua itu begitu saja. Tak mau menunggu respon darinya, Sandra mengabaikan Pak Bais yang tiba-tiba membulatkan matanya. Gadis satu itu! Terkadang benar-benar lancang!
Sandra berjalan tepat mengarah ke salah satu pelanggan yang menunggunya. Ia tersenyum ramah lalu meletakkan sebotol alkohol di atas meja.
"Tuangkan," pinta sang pelanggan tiba-tiba.
Sandra menatapnya dengan sedikit terkejut. "Ya?"
"Tuangkan, gue bilang."
Sandra diam. Ia masih menatap pria muda yang menatapnya dengan aneh. Bukan menatap Sandra, tetapi menatap belahan kancing gadis itu.
"Kenapa diam saja? Gue bilang tuangkan."
Sandra memejamkan rapat kedua matanya. Ia menghela napasnya ringan lalu mengangguk samar. Baiklah, ia tak ingin terlibat perdebatan dengannya. Jadi Sandra mulai membuka tutup botol itu dan menuangkan alkohol di dalam gelas. Selepas tugasnya selesai, Sandra mulai berpamitan untuk pergi.
"Mau kemana?" tanyanya mencegah. Menarik pergelangan tangan Sandra hingga membuat tubuhnya berputar dengan kasar.
Sandra menatapnya aneh. Sedikit kesal, ternyata masih ada saja pelanggan biadab seperti ini.
"Tunggu sampai habis dan duduk di pahaku," ucapnya tersenyum seringai sembari menepuk-nepuk pahanya.
--ck, sialan satu ini! Haruskah Sandra mengumpat padanya malam ini?
... To be Continued ...