Langkah kakinya tegas berjalan meninggalkan ruang rawat gadis asing yang baru saja ditemuinya beberapa waktu yang lalu. Kini Sandra mulai menuju ke sebuah ruangan di sudut lorong tempat ibunya dirawat. Gadis itu benar-benar merindukan sang Ibunda. Kesibukannya sebagai seorang mahasiswi di tingkat akhir juga pekerjaan paruh waktu yang sedang dijalani olehnya, sukses membuat Sandra sejenak melupakan fakta bahwa ibunya sedang bertahan dan berjuang hidup di tempat ini. Keadaannya semakin memburuk saja. Kata dokter yang ditemui olehnya sebelum ini, Sandra benar-benar harus menyiapkan hati dan perasaan juga keikhlasan jika saja kemungkinan buruk datang menghampiri ibunya. Tak ada yang bisa menjamin, kapan malaikat maut akan menjemput wanita tua itu nanti. Bisa saja beberapa jam kemudian, bisa saja tahun depan atau dua minggu lagi. Sandra hanya boleh berdoa dan berharap untuk sang ibu mendapatkan tempat terbaik nantinya. Ia tak mungkin berharap ibunya sembuh, sebab itu hanya akan melukai dan membebani dirinya juga wanita tua itu saja.
--Sandra harus mulai mendedikasikan hidupnya untuk sang ibunda. Ia tak ingin menyesali apapun suatu saat nanti. Jika Tuhan memanggil wanita tua itu untuk bertemu dengan-Nya, maka Sandra Iloana bisa mengikhlaskannya dengan lapang dada. Juga, dirinya tak akan menyesali apapun nantinya.
Ketukan pintu ringan yang ia lakukan tak mendapat jawaban apapun. Kiranya sang ibu sedang berisitirahat dengan memejamkan matanya, tetapi tidak tertidur pulas. Wanita tua itu pasti mendengar ketukan pintu darinya. Namun, seperti sebuah kebiasaan kala seseorang mengetuk pintu dan ia tak memberi respon, wanita tua itu diam membisu sembari menunggu kedatangan seseorang yang masuk selepas gagang pintu ditekan dan pintu didorong dengan perlahan.
"Mom ...." Sandra menyapanya dengan ringan. Senyum manis mengembang selepas ia sukses membuka pintu yang ada di depannya itu. Berjalan masuk dengan langkah sedang untuk mendekat ke arah ranjang tempat ibunya di rawat.
Sandra menghela napasnya lega. Senyum yang ada di atas paras tua dan pucat itu benar-benar membuat dirinya bahagia. Ia ingin terus menatap senyuman ini dan membawa ibunya pulang ke rumah.
"K--kamu da--datang ...." Kalimat itu lirih. Membuat Sandra mau tak mau harus menarik kursi kecil yang ada di sisinya lalu duduk dan mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan telinganya tepat di sisi bibir kering itu.
"K--kamu sehat?" tanyanya lirih. Nada bicara yang khas seperti orang sakit pada umumnya. Helaan napas di setiap ujung kalimat selalu saja membuat hati Sandra terisak-isak. Ia ingin menjerit, lalu menangis, dan mengumpat pada semesta. Dari sekian banyak takdir buruk yang bisa diberikan untuk menghukum gadis jalang seperti dirinya, mengapa harus mengambil kesehatan sang ibunda?
"Seharusnya Sandra yang tanya itu padamu, Mom. Kau sudah membaik sekarang?"
Wanita tua itu tersenyum ringan. Matanya memejam sejenak sembari mulai menganggukkan kepalanya samar. Ia mengerang untuk memberi respon 'ya, tentu.' pada sang putri.
"Bagaimana ... dengan ayahmu?" tanya wanita itu dengan lirih. Menarik kembali pandangan sang putri untuk datang kepadanya.
Sandra diam sejenak. Ia mulai menurunkan pandangan matanya untuk tak lagi menatap netra itu. Tentu masih sama, ayahnya tak pernah tahu kalau Sandra bekerja di bar dan diskotek hanya untuk menyokong biaya rumah sakit sang ibu. Sedikit demi sedikit uang yang ia kumpulkan dari gaji setiap bulannya selalu saja habis tak bersisa. Untung saja, sang ayah masih sudi membiayai kuliahnya. Juga memberi uang saku padanya setiap satu bulan sekali dengan terus memberi kata berlebih di dalamnya. Ayah Sandra adalah seorang asisten manajer di perusahannya. Ia bekerja di bawah naungan Aileen's Hotel dengan gaji yang tak main-main. Jika hanya untuk memberikan kemegahan pada sang putri semata wayang itu, tentunya pria itu bisa melakukannya dengan sangat baik. Namun, ia tak akan pernah sudi untuk membiayai rumah sakit sang istri.
"Ayah baik-baik saja, Mom. Mulai sekarang jangan khawatirkan siapapun, Mommy harus lebih mementingkan diri Mommy sendiri. Cepat sembuh dan kita akan pulang bersama-sama nanti." Sandra tersenyum tipis. Ia mengusap punggung tangan wanita tua yang ada di depannya itu.
"Mommy tak apa-apa. Kedatanganmu hari ini sudah menjadi obat terbaik untukku." Wanita itu menjawab dengan nada ringan. Senyum manis itu mengembang jelas dan ia tujukan untuk sang putri.
"Sandra ...." Wanita itu kembali membuka suaranya. Ia melirik sejenak selang infus yang menembus permukaan kulitnya, lalu kembali menatap wajah sang putri dengan perlahan-lahan mulai mengangkat tangannya. Mengusap pipi tirus milik Sandra dengan mengembangkan senyum manis di atas paras tuanya.
"Maafkan, Mommy."
"Kenapa selalu meminta maaf?" tanya Sandra menyahut. Ia meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangan itu.
"Mommy harus sembuh dan aku berjanji akan membawa Mommy berjalan-jalan di toko es krim baru persimpangan jalan dekat rumah nenek yang aku tinggali. Rasanya benar-benar enak!" Sandra terkekeh ringan di bagian akhir kalimatnya. Ia menatap dengan teduh wanita yang ada di depannya saat ini. Tak ada jawaban, hanya balasan senyum dengan anggukan kepala yang ringan.
"Kamu tak penasaran siapa orang tua kandungmu?"
Sandra kini mulai mengalihkan pandangannya. Tak lagi menatap wajah tua penuh dengan semburat keletihan itu, tetapi menatap motif selimut yang menutupi separuh bagian tubuh sang ibunda.
"Orang tuaku adalah kalian berdua. Aku akan mempercayai fakta itu sampai kapanpun. " Sandra menyahut. Ia mulai menaikkan pandangannya perlahan-lahan. Netranya menyapu setiap bagian wajah wanita tua itu. Memang, tak ada mirip-miripnya sama sekali. Bahkan Sandra pun tak mirip dengan sang ayahanda. Wajahnya bukan berasal dari Indonesia.
"Mommy akan mengatakan semuanya jika kamu sudah siap untuk menerima itu, Sandra. Orang tuamu bukan berasal dari tempat yang biasa."
Sandra kini menghela napasnya. Ia menganggukkan kepalanya mengerti. Ya, ia bukan bocah lagi. Dirinya tak bisa termakan dengan omongan dan cerita khayalan yang mengatakan bahwa seorang penyihir baik menitipkan sepasang lensa berwarna perak dengan hidung mancung dan bibir yang indah padanya. Itu sebabnya Sandra punya lukis wajah yang berbeda dari kedua orang tuanya yang sudah merawatnya bertahun-tahun lamanya.
"Katakan pada Mommy jika kau sudah siap untuk mendengarnya, Sandra."
Gadis itu kembali mengangguk. Ia membenci obrolan ini. Sandra tak bisa menerima fakta mengejutkan apapun mengenai dirinya. Masa bodoh. Ia bisa menutupi sepasang mata perak ini dengan menggunakan lensa palsu. Toh juga, selama bertahun-tahun hidup seperti itu tak ada yang mencurigai dirinya.
"Jangan katakan itu lagi dipertemuan singkat kita, Mom. Aku benar-benar terluka jika mengingat fakta bahwa aku bukan anak kandungmu." Sandra melirihkan nada bicaranya.
"Ibumu yang asli jauh lebih hebat dariku, Sandra. Jika kau bertemu dengannya ... kau pasti akan menyesal sebab terlalu terlambat untuk bisa bersamanya."
... To be Continued ....