App herunterladen
1.34% CINTA ITU GILA / Chapter 7: IBU PERI PENOLONG

Kapitel 7: IBU PERI PENOLONG

Bian kembali menggendong anaknya, terasa di hidungnya aroma minuman keras di tubuh si kecil. Dan juga parfum bunga segar yang sepertinya tidak asing dan pernah ia hirup. Mencium harum yang menempel di pakaian si kecil, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Si kecil yang memperhatikan Daddynya yang terdiam, terheran. Lalu kembali teringat pada wanita penolongnya. Ia mengguncang tubuh sang Daddy dan menunjuk ke arah pintu Bar di seberang sana.

Bian mengikuti arah yang ditunjukkan si kecil. Dengan diikuti gerombolan anak buahnya di belakang dan juga Trian.

Mereka sampai di depan Bar yang masih belum juga dibuka pemilik Bar tadi. Trian yang heran, tak kuasa menahan keingintahuannya, kemudian bertanya langsung pada si anak emas.

"Hei, anak emas! Ada apa di sini? Paman kecil mohon, bicaralah pada Pamanmu ini!" Trian membujuknya, namun si kecil mengabaikan pertanyaan Paman kecilnya dan menoleh ke wajah Daddy.

"Dad, hum hum!" Dia memanggil Daddynya, lalu menunjuk ke arah pintu.

"Kamu ingin Daddy membuka itu?" Sang Daddy bertanya, si kecil mengangguk kuat.

"Buka!" Dengan satu kata perintah dari Bian, anak buahnya langsung saja maju untuk mendobrak pintu tersebut, namun sebelum sampai anak buah Bian menyentuh pintu, suara manager Bar menghalangi.

"Tunggu dulu, Bos!" Manager Bar menghentikan anak buah Bian.

"Kau mau mati, huh?" Ucap anak buah Bian. Sang manager bar langsung pucat dan menjawab dengan terbata.

"Buk-bukan Tuan, aku tidak mau mati. Di-di dalam sana tidak ada apa-apa. Aku sudah memeriksa semuanya sebelum aku menutup bar. Lagipula, tidak akan baik untuk Tuan muda kecil ada di dalam sana." Mendengar ucapan Manager tersebut si kecil langsung bereaksi dan kembali mengguncang tubuh sang Daddy sambil terus menunjuk ke pintu.

"Braakkk!"

Satu tendangan keras kaki Bian berhasil mendobrak pintu bar. Semua orang ketakutan melihatnya. Train menepuk dahinya sendiri. Ia tahu kalau kakaknya sudah bertindak sendiri, maka akan ada yang tamat malam ini.

"Bersiaplah. Kau sial malam ini!" Ucapnya sambil tersenyum remeh pada Manager Bar yang bodoh tadi.

"Kalian cepat ikuti kakakku kalau kalian tidak mau jadi korbannya malam ini!" Kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk masuk, mengikuti Bian yang sudah lebih dulu masuk.

"Kemana?" Tanya Bian singkat pada anaknya. Si kecil yang terlihat bingung, menyisir pandangannya namun ia tidak menemukan wanita yang dicarinya. Ia meringsut turun dari gendongan sang Daddy.

Perlahan ia berjalan. Kali ini bar terang benderang. Semua lampu dinyalakan, dan itu memudahkannya untuk mencari wanita penolongnya.

Si kecil berlari menuju Bian, dengan wajah murung, ia menggeleng. Bian tersenyum simpul, "Tidak ketemu? Mau Daddy bantu cari?" Si kecil mengangkat kepalanya tersenyum dan mengangguk.

"Siapa yang pertama kali menemukan Anakku?" Suara dingin Bian membuat semua orang waspada. Satu orang melangkah sedikit mendekat ke Bian.

"Sss-saya Bos!" Anak buah Trian terbata menjawab pertanyaan bos besarnya.

"Di mana kamu menemukan anakku?" Tanyanya lagi.

"Di luar Bar bagian samping, Bos. Aku melihat Tuan Muda sendirian di sana." Bawahan tersebut tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat tangan Bian yang terangkat.

"Naikkan bonusnya jadi lima kali lipat!" Bian menoleh ke adiknya. Lalu berjalan meninggalkan mereka dengan menuntun anaknya.

"Lima kali? Pakai uang kakak, kan?" Trian balik bertanya.

"Apa perlu kujawab?" Jawab Bian tanpa membalikkan badan.

"No no no, tidak usah, tidak usah! Aku mengerti, Kak!" Dengan cepat Trian menjawab. Ia juga cukup tercengang dengan jumlah yang harus diberikan. Tapi apa boleh buat, anak emas lebih beribu kali lipat dibandingkan uang receh yang harus dikeluarkannya.

"Kenapa kalian tidak mencari lagi? Kalian memang bosan hidup, ya!" Trian menumpahkan kekesalannya pada anak buahnya. Mendengar erangan Bosnya, mereka semua berlarian ke segala arah.

***

"Boss, di sini ada wanita pingsan!" Teriakan salah seorang anak buah Trian yang sudah lebih dulu memeriksa tempat itu, terdengar oleh si kecil. Langsung saja ia berlari menuju ke sana. Dan Bian mengikutinya dari belakang.

Matanya terbelalak melihat Mayang yang pingsan dengan luka memar dan dahi yang berdarah di bawah tumpukan kursi bar.

Sambil menangis, si kecil mengangkat satu kursi yang menimpa Mayang dan membuangnya sembarang. Para anak buah juga langsung ikut membereskan kursi yang menimpa Mayang.

Melihat situasi kacau seperti ini, Bian menyapu pandangannya ke sekeliling area bar, dan terpaku pada lubang seukuran anak kecil di atap tepat di atas tubuh Mayang yang terbaring.

"Jadi dia menolong anakku dari sana? Wanita pintar." Ucapnya dalam hati lalu tersenyum sedikit. Kemudian Bian menoleh ke arah manager dan pemilik bar tersebut.

"Kalau aku sampai mati gara-gara kesalahanmu, aku akan datang mencekikmu sampai mati juga." Omel pemilik bar pada bawahannya.

"Ampun Bos, aku hanya menjalankan perintah Nona Luna, dia yang memintaku untuk mengurung Nona ini sampai besok malam. Siapa yang tahu Tuan muda kecil Heldana ada di sana juga?" Manager tersebut berusaha menjelaskan.

"Dasar bodoh! Siapa sebenarnya yang menggajimu, aku atau Luna? Dia temanku tapi bukan Bos mu! Malam ini tamatlah riwayat kita." Bos bar tersebut merutuki nasibnya kali ini.

Tumpukkan kursi yang menimpah Mayang sudah terangkat. Anak buah Trian mencoba membangunkan Mayang, namun dengan cepat si kecil memeluk tubuh Mayang dan menatap mereka dengan wajah marah.

Bian mengangkat tangannya, refleks semua orang menjauh dan mundur. Ia berjalan dan mendekati tubuh Mayang, "Dia yang menyelamatkanmu, Nak?" Bian bertanya dan si kecil mengangguk.

Dengan kedua tangannya sendiri, Bian mengangkat tubuh Mayang. Aroma sejuk yang terhirup Bian sebelumnya, kini lebih jelas setelah ia mengangkat Mayang di pelukannya.

Bian memperhatikan wajah Mayang yang penuh luka, namun dalam benaknya, ia seperti pernah bertemu dengan gadis itu. Jantungnya berdebar lebih cepat seakan berlomba ingin keluar.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah dan aroma tubuhmu, membuatku mengingat seseorang. Tapi di mana?" Bian terdiam sesaat.

"Kakak, biar aku yang menggendong wanita ini! Sini berikan padaku!" Trian mendekat dan meminta agar ia yang menggendong tubuh Mayang. Langsung saja si kecil menghalanginya dengan merentangkan kedua tangannya pada Trian.

"Sudah lihat, kan? Biar aku yang membawanya, kau urus manusia tidak berguna di sana!" Ucap Bian tegas, dan memerintahkan adiknya melakukan tindakan, sambil merujukkan kalimatnya pada pemilik dan para staf bar itu.

Bian berjalan keluar bar, sementara si kecil dalam gendongan pamannya, menunjukkan wajah yang tidak senang, seakan cemburu melihat Daddy-nya menggendong Ibu perinya.

"Hei anak emas! Apa lagi yang membuatmu marah, hah? Kamu cemburu pada Dadddymu sendiri, karena menggendong wanita itu?" Trian menggoda keponakannya, tanpa sadar si kecil mengangguk, membuat Trian tertawa geli melihatnya.

"Jangan marah pada Daddymu, marahlah pada mereka yang menyebabkan Ibu perimu terluka!" Trian memprovokasi si kecil sambil menunjuk ke arah staf dan pemilik bar.

Tatapan tajam si kecil membuat mereka semakin ketakutan, sambil memikirkan hukuman apa yang akan mereka terima dari bos besar Heldana.

Bersambung…


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C7
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen