App herunterladen
45.94% Love you, My Prince / Chapter 17: Maaf

Kapitel 17: Maaf

.

Raiga POV

.

Bel istirahat berbunyi.

Aku yang tidak mau membuang waktu lagi, buru buru meninggalkan kelas dan pergi ke tempat dimana Preinan berada. Diruangan paling tengah lantai kedua, kelas 10 IPA 1.

Aku mengintip dibalik pintu dan melihat sekeliling ruangan dengan teliti, tapi Preinan tidak ada. Hanya sebagian siswa yang sedang menulis dan mengobrol di kelas. Orang yang aku tahu bernama Abi pun juga tidak kelihatan.

Apa mereka pergi ke kantin ya? ...

Aku yang masih merasa kurang yakin mencoba mengintip ke dalam sekali lagi. Hingga beberapa saat kemudian, sesuatu seperti buku paket menghantam kepalaku dengan keras.

"Heh, ngapain?." suara orang dibelakangku terdengar familiar.

Aku mengelus elus kepalaku yang berdenyut kemudian menoleh kebelakang. Dan mendapati si nenek sihir Fiya dan seorang temannya yang tidak aku kenal.

"Aduh, Fi. Ganggu aja, sih." protesku pada Fiya yang berdiri sambil berkacak pinggang.

"Lagian, ngintip ngintip gitu ngapain? Kurang kerjaan banget, deh."

"Ya, pengen aja. Kenapa? Nggak Boleh?." balasku mendelik.

"Hih, dasar autis. Kalo misalnya mau nyari orang, masuk aja ke dalem, nggak usah ngejogrog disini. Ngalangin jalan tau." nyinyirnya dengan nada ngajak ribut.

Sebenarnya aku ingin membalas ocehannya, tapi aku urungkan karena dia tidak sendiri. wanita yang datang bersamanya sedari tadi diam saja melihat kami adu mulut. Karena sedikit gengsi aku tidak jadi mengajak Fiya bertengkar.

"Orang yang aku cari nggak ada di dalem." sahutku lesu.

"Emang nyari siapa, sih? Ini kan kelas 10. Jangan bilang kalo kamu lagi ngincer cewek di sini." tuduhnya dengan mata yang menyipit curiga.

"Nyari goblin pacarnya Fiya si nenek sihir!." sambarku tepat di depan wajahnya.

Dia mendorong wajahku dan mundur menjauh. "Yee, nyebelin. Orang nanya serius juga."

Lagian, jadi cewek kepo banget sih.

"Nyari Preinan, puas?." ucapku to the point.

"Eh, Preinan... Temennya Abi, bukan?." sela orang yang berdiri disamping Fiya. keningnya berkerut seperti mencoba mengingat sesuatu.

"Eh, kamu kenal, Dev?." tanya Fiya yang terlihat penasaran.

"Kenal sih, nggak. Cuma kebetulan tadi pagi Abi bawa dia ke UKS. Terus aku yang periksa."

"Eh, kenapa? Dia sakit?." kini giliranku yang mulai ikut penasaran.

"Katanya sih, cuma sakit perut. Jadi aku suruh dia istirahat aja. Mungkin sekarang dia masih di UKS sama Abi."

Mendengar ucapannya, tanpa basa basi aku beranjak pergi ke arah UKS dan meninggalkan mereka berdua dengan Fiya yang sempat berteriak memanggilku beberapa kali. Ah, tidak ada waktu untuk bicara dengan dia, di setiap kami mengobrol selalu saja berakhir dengan perdebatan. Tidak ada faedahnya.

******/

Preinan POV

Pintu berderit terbuka, terdengar suara langkah kaki seseorang mulai mendekat ke arahku. Aku membuka mataku dan menggeser selimut ke samping. Lalu duduk bersandar. Terlihat olehku Abi yang sedang menarik kursi dan duduk tepat disamping ranjang.

"Udah mendingan?."

"Mm, udah baikan, kok." jawabku dengan suara yang sedikit serak, mungkin karena tidur terlalu lama.

"Nih, aku bawain makanan." Dia mengulurkan sebuah kantong plastik putih padaku. "Kemaren, kamu bilang gak suka batagor, kan. Makanya sekarang aku beliin kamu siomay." lanjutnya.

Hah?! Bukannya masih sama aja, kan?. Sama sama mirip, muntahan hewan.

Aku tersenyum kecut dan mengambil plastik itu darinya. Hah, kalau ditolak, rasanya nggak enak. Abi, kan sudah banyak menolongku.

"Aku makan nanti aja." sahutku sembari menaruh siomay itu di tepi ranjang.

"Terserah."

Dia terlihat menatap sekitar selama beberapa saat lalu menyondongkan wajahnya padaku. "Eh, Prei. Jumat nanti, Dareen bakal ngadain party di club. kita ikut yuk." bisiknya pelan.

Aku mengerutkan alisku padanya. "Dareen, siapa?."

Dia terdengar menghela lesu lalu menggeser kursinya agar lebih dekat denganku.

"Dareen itu, senior tim basket. Dia ngajak semua murid baru buat dateng ke partynya dia jumat ini."

"Nggak ah, aku nggak kenal dia. Kamu pergi sendiri aja kalo mau." tolakku mentah mentah.

"Kok, gitu sih. Ayolah... Aku malu kalo dateng sendirian." rengeknya seperti bayi yang minta permen.

Hah...

Sifat pemaksanya muncul lagi.

"Iya, deh. Tapi, aku gak janji, ya." jawabku pasrah.

"Asikkk .... " Wajahnya berubah semringah dengan senyum lebar yang menggemaskan. Dia itu mudah sekali merasa senang, ya. Aku mengacak acak rambut coklatnya yang tebal dan ikut tertawa karena ekspresinya berubah cemberut saat mendapati rambutnya sudah berantakan olehku.

"Prei!." terdengar seseorang memanggil namaku dari arah pintu UKS.

Aku sedikit terkejut saat menoleh dan mendapati orang yang memanggilku itu ternyata. "Kamu?."

Raiga.

Kenapa dia ada disini?..

Aku beralih menatap Abi dengan bingung. Apa dia yang ngasih tahu Raiga? Tapi Abi langsung mengangkat bahunya dan menggeleng pelan padaku. Itu tandanya, dia juga tidak tahu sepertiku.

Raiga berjalan ke arah kami dan seketika itu pula Abi berdiri dan sedikit menjauh. Gelagatnya terlihat canggung saat Raiga tiba tiba duduk di kursinya tanpa permisi.

"Mm, Prei ... Kayaknya aku mending tunggu di luar, deh. Kalian ... Bisa bicara berdua disini."

"Eh, disini aja, Bi. Jangan kemana mana." pintaku dengan memegangi tangan Abi yang bersiap menjauh.

Abi sepertinya pasrah dan mau mendengarku. Tapi, saat Raiga memandanginya, tiba tiba dia melepaskan tanganku.

"Nggak apa apa, aku tunggu diluar aja." sahutnya cepat dan langsung pergi meninggalkanku dan Raiga berdua ditempat ini.

Hah...

"Ngapain kamu ke sini?." tanyaku sedikit ketus.

Matanya terlihat menatapku dengan cemas. "Kamu sakit?."

Aku menghela napas panjang sembari menurunkan kedua kakiku dari ranjang. "Udah nggak apa apa, kok. Jadi kamu gak perlu sok kasihan gitu. Gak penting."

"Prei ... " dia memegangi tanganku saat aku baru saja akan melangkah menjauh.

"Apa, kamu belum puas nyakitin tangan aku?."

"Eh." dia terlihat terkejut dan langsung melepaskan genggamannya.

Sebenarnya tanganku tidak apa apa, hanya sedikit lebam saja. Tapi, saat dia memperhatikan tanganku, wajahnya berubah murung.

"Aku ... Minta maaf."

Hah... "Nggak apa apa." sahutku ringan. Toh, aku juga tidak mau memperpanjang masalah sepele ini dengannya.

Awalnya, aku berniat pergi saat itu juga, tapi tiba tiba dia menarikku dan mendekap tubuhku begitu saja. Sudah jelas kalau aku sangat terkejut. Tapi, dibanding menolak dan berontak, aku lebih memilih diam saja. Dan mendengarkan semua yang dia katakan.

"Nggak, dengerin dulu." katanya dengan nada sedikit lirih. Dan memelukku lebih erat. "Aku ... Minta maaf. Maaf tentang semua yang pernah aku lakuin ke kamu. Maaf soal hari itu, aku udah bikin kamu sakit. Maaf soal dikonser itu juga, aku nyium kamu gitu aja. Aku minta maaf karena udah bikin kamu marah dan juga tentang tadi pagi, aku bener bener minta maaf. Aku gak ada maksud buat nyakitin kamu ...."

Ya, tuhan...

Ada berapa ratus kata maaf barusan?!.

Hah... Aku menghela napas panjang dan mengusap punggungnya untuk membuatnya lebih tenang. Aku akui, kalau minta maaf pada seseorang itu kadang terasa sangat sulit. Jadi, aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkannya.

"Aku maafin kamu, kok."

"Semuanya?."

"Mm, semuanya."

Dia melepaskan pelukannya perlahan, tapi tangannya masih melingkar dipinggangku. Bibirnya tersenyum manis dan wajahnya berseri seolah sudah melepas beban yang melelahkan. Aku ikut tersenyum dan membalas tatapan matanya.

Ternyata, orang aneh ini benar benar... Sangat tampan.

Kami mematung untuk beberapa saat. Dengan mata yang masih saling menatap. Aku tidak tahu kenapa dia minta maaf secara tiba tiba seperti ini. Tapi, aku tidak akan bertanya. Karena itu sudah tidak penting lagi.

Biarkan, semuanya tetap seperti ini saja.

******/

"Kamu suka yang ini?."

"Mm." aku mengangguk dengan penuh semangat.

Dia menusuk potongan buah yang dia pegang dan memberikannya padaku.

"Aku, kan bisa makan sendiri." ucapku dengan mulut penuh karena dia menyuapiku begitu banyak.

"Terus, kenapa kamu nggak nolak pas aku suapin?." sahutnya dengan menyunggingkan senyum nakal.

Aku tersenyum masam, aku yakin sekarang wajahku merah padam karena rasa malu yang tak karuan. Aku memang bisa makan sendiri, tapi rasanya jauh lebih enak kalau disuapi orang lain.

"Nih." aku membuka mulutku lagi saat dia mendekatkan sepotong apel dibibirku.

"Eh, itu apa?." dia bertanya saat melihat plastik siomay yang tadi Abi berikan.

"Oh, siomay."

"Kenapa nggak dimakan?."

Aku menggeleng ringan. "Aku nggak suka."

"Yaudah, sini buat aku aja." sahutnya dengan mengulurkan tangan padaku.

Aku membawa plastik itu dan memberikannya padanya. "Kamu suka makanan yang kayak gitu?." tanyaku dengan nada sedikit jijik.

"Emang kenapa? Kan, enak."

"Kayak muntahan sapi." ucapku spontan.

Mendengar jawabanku, dia langsung menggelengkan kepala dan tertawa lepas sampai mengusap ujung matanya karena ikut berair.

Emang muntahan sapi itu lucu ya?...

"Kamu ini ada ada aja, deh. Kayak pernah liat sapi muntah aja."

Aku ikut terkekeh. Iya juga sih. Aku kan belum pernah liat.

"Oh, iya Prei ... Soal tiga permintaan yang aku kasih, kamu belum minta satu pun, loh." katanya tiba tiba.

Mendengar itu, aku jadi teringat kembali. Padahal tadinya aku pikir dia hanya main main saja. "Ah ... Iya, aku bakal pikirin nanti."

"Aku tunggu." sahutnya sambil tersenyum. Dan mengusap rambutku.

...

Dunia ini benar benar tidak bisa ditebak, ya. Aku juga masih tidak menyangka bisa dengan mudah dekat dengan dia.

Hhh...

Setelah ini, apa kita masih akan dekat? ...


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C17
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen