Sosok besar dengan sepasang sayap perak memegang seekor ikan raksasa. Tubuh yang berbalut sisik dengan mudah melemparkan ikan besar ke dalam mulut gua yang berada di kecuraman tebing, sebelum akhirnya menyusul masuk. Tepat ketika wujud seekor Naga berubah menjadi seorang pria berambut perak, Leo tidak bergerak dari posisi berbaringnya.
Leo … merasa malas. Sungguh, bahkan untuk bergerak dan berpura-pura menyambut kedatangan Cosmos, ia merasa enggan untuk melakukannya. Ia lebih memilih untuk tetap berbaring, memejamkan kedua mata dan berpura-pura tidur.
[Baby] suara seorang pria muda masuk, terdengar lembut dan membujuk. Beberapa saat kemudian, Leo dapat merasakan tubuhnya diangkat dengan mudah, dipeluk oleh sepasang tangan kuat yang hangat. [Baby, bangun, bukankah tadi bilang mau makan ikan?]
Leo tidak terus berpura-pura tidur. Ia membuka mata dan memandang wajah tampan berbingkai helai perak yang panjang. Sosok rupawan dengan sepasang iris emas yang tajam itu tersenyum konyol, menyeringai hingga memamerkan sederet gigi putihnya.
[Baby, hari ini mau makan ikan yang dibakar?]
Leo mengalihkan pandangannya. Sepasang kelereng biru menatap seekor ikan berwarna hitam abu-abu yang terbaring tidak bergerak di atas tanah. Panjangnya sekitar 2 meter, terlihat segar dengan darah yang masih mengalir keluar membentuk genangan kecil berwarna merah.
Deg
Mendadak, sesuatu seolah memukul jantungnya, mecengkram pernapasan hingga membuatnya merasakan sakit yang luar biasa.
"Tuan … kumohon, jangan pergi … jangan pergi … ."
"Bisakah kau tidak pergi?"
"Siapa yang mengizinkanmu pergi?! Leo! Apakah kau mendengarkanku?!"
[Baby? Baby mau ikannya dimasak bagaimana?]
Leo dengan jelas mendengar suara Cosmos. Sosok Naga itu bertanya dengan lembut dan cemas, tetapi sang Penyihir diam seolah-olah bisu. Sepasang kelereng biru merunduk. Sakit yang kian terasa di dada membuatnya merasa lumpuh. Sakit … sangat sakit …
Ia ingin membuang rasa sakit ini, tetapi … bagaimana?
[Baby?]
Leo tidak menanggapi.
Sungguh, yang diinginkannya sekarang hanya ketenangan …
Namun, untuk apa semua ketenangan itu? Semua orang di sekitarnya sudah mati, sosok-sosok yang dikenalnya pergi lebih dahulu. Sementara ia dengan putus asa mencoba untuk hidup, tetapi mereka semua dengan mudah …
Pergi begitu saja, kalah oleh waktu yang terus bergerak maju.
Seluruh tubuh Leo terasa lemas. Sosok Penyihir itu hanya diam, tidak ingin melakukan apa pun, tidak ingin bergerak. Sedikit pun ia tidak bereaksi saat sang Naga menggendong atau berbicara dengannya. Ia hanya terus menunduk, tidak bergerak. Seolah jiwanya dicabut—hanya menyisakan cangkang kosong yang masih tetap mempertahankan fungsi organ vitalnya.
[Baby, Papa sudah membuat makanan, ayo makan.]
Aroma harum makanan tercium, tetapi Leo benar-benar merasa tubuhnya berat. Ia tidak mood untuk makan, ia tidak merasa tertarik untuk makan. Sungguh … untuk apa lagi ia makan? Ingin tumbuh besar? Menunggu lagi untuk waktu yang lama … untuk apa?
Leo melirik. Sebuah daun ditempelkan pada mulutnya. Sentuhannya panas, bersama dengan aroma harum yang lezat. Daging berwarna putih telah ditiup, dipersiapkan dengan teliti agar seseorang bisa langsung memakannya. Namun Leo hanya melirik ekspresi cemas dan penuh harap dari sepasang kelereng emas itu, sebelum akhirnya memalingkan wajah dan kembali, berpura-pura bisu dan tuli.
[Ada apa denganmu?] suara sang Naga bergetar. [Makan, Baby … makan, bukankah Baby bilang mau makan ikan besar? Atau ikannya kurang besar?] sang Naga mulai menyadari ada sesuatu yang salah dengan Babynya. Sungguh, selain karena makanan tidak enak atau beracun, batita ini biasanya tidak pernah menolak makanan yang diberikannya.
Leo hanya diam. Menunduk dan menatap pakaian yang terbuat dari kulit binatang.
Untuk apa ia terus berpura-pura seperti ini?
[Baby … Baby sakit?]
Sepasang iris emas terlihat. Sosok pria jangkung menunduk, menatap langsung ke wajah kecil yang sejak tadi hening. Netra yang seharusnya cerah, kini mengandung setumpuk kecemasan. Ada fluktasi energi yang bocor—menandakan Anomali yang mulai menguasai. Namun sepasang iris masih sewarna dengan matahari, dengan keras kepala tetap mempertahankan kejernihannya. Tidak ada warna merah, tidak ada sedikit pun kekerasan dari rasa sakit Anomali yang aktif.
Leo pada akhirnya memberikan reaksi. Sosok bayi itu dengan canggung dan perlahan, mecondongkan tubuh menuju makanan yang berada di tangan Cosmos. Reaksi itu jelas tidak terduga hingga membuat sang Naga tidak bereaksi selama beberapa detik—sebelum akhirnya tersenyum senang.
Pada akhirnya, Leo memilih untuk makan dan membiarkan sosok Naga menyuapi sedikit demi sedikit. Namun makanan yang masuk ke mulut terasa hambar dan sulit ditelan. Setelah beberapa suapan, Leo menyerah dan tidak membuka mulut kembali.
[Baby, Baby sakit! Baby harus banyak makan!] sang Naga memaksa, kembali menyodorkan daging putih ke mulut yang tertutup rapat. Nada cemasnya penuh dengan kepanikan. Namun Leo sudah menyerah. Ia tidak mau makan lagi.
[Baby, buka mulutmu, ayo, ayo] Cosmos masih mencoba. Jemari panjang mencoba menerobos mulut kecil—memaksanya untuk terbuka. Leo refleks memalingkan wajah dan menghindar, tetapi dengan kasar Cosmos menahannya. Hal itu membuat Leo meringis karena rasa sakit. Rahangnya dipaksa terangkat, satu jari yang begitu kuat memaksa mulutnya untuk terbuka hingga Leo bisa merasakan perih dan aroma karat yang menyebar. Ketika pada akhirnya ia membuka mulut, daging putih bersamaan dengan darah ikut masuk dan tertelan.
"Uhuk! Uhuk!" Leo terbatuk. Aroma karat memenuhi mulut. Namun dengan keras kepala ia menahan mual—tidak mau memuntahkan apa yang telah tertelan. Bagaimanapun, Leo tidak bodoh. Dengan kekasaran sang Naga, ia tahu bahwa sosok ini akan memaksanya makan bila ia muntah.
Cosmos benar-benar mengalami Anomali kali ini dan … Leo sudah tidak memiliki kesabaran lagi.
[Baby, Baby minum dulu—]
[CUKUP!] suara Leo serak. Napasnya terasa berat dan terengah-engah karena batuk yang hebat. Dengan sekuat tenaga, tangan kecil yang gemetar menyingkirkan kedua tangan yang menahan tubuhnya. [Lepaskan!]
[Baby, Baby mau ke mana? Makanan belum habis] Cosmos tidak melepaskan bayi kecil yang mendadak berjuang di pangkuannya. Sang Naga hanya memegang Leo dengan satu tangan sementara tangan yang lain kembali meraih daging putih dan menyodorkannya kepada si kecil. [Makan lagi, Baby—]
[Aku tidak mau makan!]
[Kau harus makan!] sepasang iris yang semula berwarna emas, sekarang berubah menjadi semerah darah. Ekspresi sang Naga berubah garang, menatap sosok kecil yang berada di tangannya dengan marah. [Bila kau tidak makan, kau akan mati!]
Wajah Leo memucat sempurna. Tekanan dari Kesatria level 9 di dalam masa Anomali membuatnya merasa sulit untuk bernapas. Letupan energi menyerang, membuat tubuh kecil gemetar menahan tusukan demi tusukan rasa sakit selayaknya jarum-jarum tipis yang menancap di setiap inci kulitnya.
Leo menggeretakkan gigi. Sepasang kelereng biru menatap tajam sepasang iris merah darah itu. Dengan suara serak dan napas yang semakin berat, sosok kecil meludahkan sebuah kalimat di antara giginya yang terkatup rapat.
[Kau menyakitiku.]
Cosmos membeku. Satu kalimat itu sukses menghentikan tekanan yang dibuatnya. Tepat ketika ia menyadari bahwa wajah batita kecil di pangkuannya pucat dan mulutnya penuh dengan darah …
Cosmos tahu bahwa kali ini, ia benar-benar menyakiti bayi kecilnya.
Dalam seketika, sepasang kelereng merah berubah kembali menjadi emas. Kecemasan dan kepanikan tercermin dengan jelas. [Baby, baby tidak apa-apa? Apa yang sakit? Baby, maaf, Papa—]
[Lepas] Leo kembali bersuara. Menyela apa yang ingin Cosmos katakan dengan lemah. Namun sang Naga tidak berani melawan. Bahkan ketika si kecil akhirnya dengan mudah membebaskan diri dari pangkuannya dan merangkak sendiri di atas lapisan kulit binatang, Cosmos tidak berani menyentuh bayi kecil itu kembali.
[Baby … Baby istirahat dulu okay?] suara Cosmos gemetar. Ia menatap sosok kecil yang telah berbaring dan memejamkan matanya. Wajah itu begitu pucat. Noda darah masih terlihat di bibir dan dagu si kecil. [Papa … Papa akan keluar dan mencari obat!]
Setelah menggunakan kata-kata itu, Leo bisa merasakan Cosmos yang melarikan diri. Jelas, merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya. Namun Leo tidak peduli. Ia tetap memejamkan mata, berbaring lemas di atas kasur kasar yang tidak terasa nyaman. Jelas, di dalam Ruang Jiwanya, terdapat banyak obat. Ia bisa mengambil itu untuk menyembuhkan luka yang disebabkan sang Naga, tetapi Leo memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali.
Sosok kecil itu, secara perlahan mulai meringkuk. Tangan kecil bergerak memeluk kedua lutut. Lalu di tengah malam yang dingin dan senyap, suara isak tangis kembali terdengar. Penuh pilu, tersembunyi di antara angin yang berhembus kencang.
Terima kasih sudah membaca!