App herunterladen
19.44% Patah Paling Parah / Chapter 7: Mitha Marah

Kapitel 7: Mitha Marah

Bergegas Miko mengantar kekasihnya pulang. Hawa dingin mulai terasa sepanjang jalan. Ndari mengosok-gosokan telapak tangan untuk mendapatkan sedikit kehangatan. Namun, tiba-tiba saja lengannya ditarik dan spontan memeluk tubuh kekar hangat itu.

Deg! Ndari kaget. Namun, tak ingin menjauhkan tubuhnya. Karena di sana merasakan kehangatan. Sampai tiba di rumah tangannya baru terlepas dan itupun terpaksa melepaskan. Sebenarnya Miko masih kepikiran Om Atamaji, mengapa beliau ada di warung bakso tadi dan terlihat begitu buru-buru.

"Makasih ya sudah ajak akau jalaj-jalan hari ini."

"Iya sama-sama."

"Mau mampir dulu?" Sedikit canggung menawarkan sebab melihat hari sudah sore.

Takut jika ayah tak setuju Miko sering mampir, apalagi di waktu senja bengeini. Untungnya cowok itu mengelengkan kepala, baguslah dengan begitu Ndari bisa tenang.

"Miko enggak mampir?" Suara Atmaji dari dalam rumah berjalan keluar.

"Lho, Ayah …" Ndari tercengang, mengapa ayah malah menawarkan, apa hanya sekadar basa-basi? "kenapa sikapnya semakin aneh."

Miko memilih diam meskipun mendengar lirih suara kekasihnya, sebab pria berkata mata itu susah dekat dengan keduanya. Kali ini uluran tangan Miko disambut lagi dengan sopan tak seperti pertama kali kemari. Dari sini, malah sedikit ada yang janggal baginya.

"Mungkin lain kali Miko mampir lagi Om. Kali ini langsung pamit pulang, lagian sudah senja."

"Ya sudah kalo begitu hati-hati, terima kasih kamu udah mau ajak Ndari jalan-jalan. O ya, anak Om amankan?" Tangannya menepuk-nepuk pundak Miko.

"Ohh iya Om, pasti … aman, saya enggak macam-macam kok. Kalo begitu permisi," pungkasnya.

Ndari masih mengamati punggung Miko yang semakin mengecil, sedangkan ayahnya masih berdiri di samping.

"Ayah, Ndari mau masuk masak dulu ya."

"Enggak usah. Ayah sudah kenyang tadi makan bakso, hehe."

"Makan bakso? Sama dong, Ndari tadi juga diajak mampir warung bakso sama Miko."

"O ya, hehe ... eee, ya sudah kalo begitu ayo masuk." Tangannya tak bisa tenang, meremas-remas cemas.

Tumben sekali ayah memperlakukannya baik? Bukannya senang malah jadi bingung.

"Ayah makan baksonya tadi di mana?"

Ndari sedikit mempercepat langkah mengiringinya.

"Ya pastinya di warung bakso, enggak mungkinkan warung soto, hehe."

Ndari nyengir, candaan ayahnya terasa hambar. Malah sikapnya terlihat berlebihan dan ada yang ditutup-tutupi.

***

"Atmaji sialan! Sama anaknya juga!" umpat Mitha kesal.

Cukup lama di dalam toilet sampai merasa tenang dan memutuskan pulang. Hari ini benar-benar melelahkan. Tubuhnya langsung di banting diri di atas kasur empuk

Padangan mata terfokus pada langit-langit kamar, putih bersih dan hening.

"Coba saja kalo Atmaji enggak kaya, aman sudi aku sembunyi-sembunyi dari anaknya, idih! Ogah banget," cibirnya kesal.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari balik pintu kamar, ya siapa lagi jika bukan Sinta. Anak semata wayang yang dipunya dan memiliki usia sama seperti anak Atmaji.

"Masuk!" seru Mitha.

Sinta memutar kenop pintu, kakinya melangkah mendekati mama yang bersantai di atas kasur.

"Ada apa?"

"Sinta boleh minta uang, Ma?"

"Kamu ini uang terus buat apa sih,"

"Sinta pengen beli sesuatu kayak temen, Ma."

"Sudah, enggak usah beli barang-barang yang enggak penting. Ingat, kamu itu enggak punya Ayah, jadi harus hemat!"

Sinta tampak kecewa dengan apa yang barusan kalimat yang didengar. Bagaimana, tidak? Setiap kali diminta uang, mama selalu saja menjawab begitu. Ah, andai dirinya sudah bekerja pasti tak akan meminta. Apalagi jika dirinya memiliki ayah, pasti tidak akan meminta ke mama. Sebab, kata teman-teman, meminta uang ke ayah lebih mudah diberi ketimbang meminta ke mama.

"Kenapa masih diam? Udah sana, kamu masuk kamar terus belajar. Kamu harus jadi anak yang pitar supaya bisa dapat beasiswa lagi!"

"Tapi Ma, Sinta pengen banget beli barang itu," renggeknya.

"Haduh, kamu ini dibilangin bandel banget! Barang apa yang mau kamu beli, berapa sih, harganya?"

"Lima puluh aja, Ma. Udah sekaligus sama ongkir. Belinya bareng temen."

"Beli apa?"

"Tas, tasnya lucu Ma. Murah kok...."

Mitha yang sudh stres dan tak ingin menambah beban di benak kepala, beranjak bangkit dari atas kasur. Mengambil tas dan memberikan selembar uang yang diminta. Tak lama ponselnya berdering, panggilan masuk dari Atmaji.

"Sudah, sana belajar lagi. Awas kalo kamu sampai enggak dapat beasiswa lagi."

"Makasih mama," sorak Sinta senang.

"Halo," sahut Mitha.

Kedua bola mata Mitha memutar, tak peduli dengan seribu penjelasan yang dilontarkan pria di balik telepon itu. Malah memilih diam tanpa menyahut, hatinya benar-benar kesal.

"Mit, jangan diam saja dong, ayolah bicara. Mas sudah minta maaf sama kamu, lho."

"Asal Mas tahu ya, aku itu merasa dipermainkan. Udah berapa kali Mas nyuruh sembunyi? Di mana harga diriku?"

Matanya terpejam menahan emosi yang sudah di ujung kepala. Pokoknya malam ini tak boleh stress, apalagi stress dalam hal yang tak penting, mimikirkan Atmaji contohnya. Tangan Mitha mengepal, pokoknya tak boleh jatuh cinta sungguhan! Suara hatinya mulai menyadarkan jika dirinya tak harus semarah ini, lagian yang diinginkan hanyalah harta.

"Dah dulu ya Mas, Mitha mau tidur. Kalo beneran minta maaf, datang aja ke rumah."

Sambungan telepon langsung diputus, membuat Atmaji yang merasa bersalah jadi tertantang untuk menghampiri. Pikirannya benar-benar memikirkan perasaan wanita itu. Tentu saja jika Atmaji sendiri diperlukan demikian, wajar jikalau marah.

'Baiklah, seperti memang harus bertatap muka untuk meminta maaf padanya.' Bergegas ia mengambil jaket yang tercantol di balik pintu.

Malam ini, Atmaji menyemprotkan banyak parfum pada pakian yang dikenakan. Cukup lama berkaca, merapikan sekaligus memakai minyak rambut, dan memastikan tampilannya keren. Agar Mitha nanti semakin sayang, hehe. Tepat di ruang tamu tampaknya mulai bingung melihat anaknya menonton TV. Ah, sial mengapa anak itu berada di sana! Namun, sepertinya akan lebih baik jika pamit agar Ndari tidak curiga.

"Ayah, mau ke mana kok rapi banget?"

Alamak! Ternyata anak itu lebih dulu menegur. Baiklah Atmaji senyum dan terlihat sangat tenang mendekati putrinya.

"Ayah mau keluar sebentar, tadi ada temen telepon ada urusan mendadak."

"Malam-malam begini?"

"Iya, soalnya dia kebocaran ban di jalan. Kasihan," sahut Atmaji ngawur.

"Kenapa enggak ke bengkel aja? Atau menghubungi bengkel online kan bisa, kenapa harus Ayah?"

"Iya sih, tetapi Ayah enggak enak dong sudah dimintai tolong."

"Tapi kok baju ayah rapi banget," protesnya.

Seolah-olah tak mendengar saat diprotes. Wajahnya tampak menunduk sembari memerhatikan jam tangan, "Ayah berangkat duluan ya, kamu hati-hati di rumh."

Ndari merespons dengan angukan. Pria itu menyempatkan diri untuk mampir membeli terang bulan, katanya Mitha sangat suka dengan makanan yang satu ini. Lantas membelikan untuknya.

"Lho, Om ada di sini?"

"Lho, kamu … kenapa kamu ada di mana-mana?" Atmaji balik bertanya, tentu saja dia kaget dengan kemunculan Miko.

"Maksudnya Om?"

"Ohh … bukan apa-apa," hampir saja keceplosan, " O ya, kalo mau ke rumah boleh, nemeni Ndari. Kebetulan Om, ada urusan mendadak. Duluan ya."

Miko semakin bingung dengan tingkah aneh ayah Ndari. Awal kenal seperti mengancam sekarang malah memberi kebebasan untuk mendekati putrinya. Aneh bukan? Terus beliau ingin pergi ke mana? Urusan apa mendadak malam-malam begini? Ah, tetapi itu tidak penting, yang penting dibolehkan ketemu anaknya, hehe.

***

(Tok… tok… tok)

Jarang sekali ada orang yang mengetuk pintu malam-malam begini. Lantas penasaran dengan siapa sosok malam-malam yang datang ke rumahnya. Padahal malam ini tak ada janji dengan siapa pun. Bergegas kakinya melangkah untuk memutar kenop pintu, membukanya.

"Lho, Mas Atmaji … kok ada di sini. Ngapain?"

"Aku mau minta maaf sama kamu dan aku bawa ini juga untuk kamu," ucap terdengar tulus dari sorot mata yang sayu.

Haduh, bagimana ini? Tak mungkin Mitha membawa masuk ke dalam rumah. Sedangkan di dalam ada Sinta, apa jadinya kalo dia tahu dirinya memiliki anak. Selama ini, dia tak pernah bercerita memiliki anak.

"Mitha, kenapa kamu diam aja?"

"Ohhh … a-aku tak habis pikir, apa kesalahan Mas bisa ditebus dengan terang bulan," elaknya yang langsung tersadar dengan apa yang dibawa pria itu.

Padahal aslinya bingung dengan apa yang harus dilakukan. Mitha memperlihatkan raut wajah sedih, bercampur bingung yang tak bisa ditutupi. Atmaji semakin merasa bersalah, terdnegar mengembuskan napas kasar kemudian perlahan meraih kedua tangan Mitha. Menatapnya dalam-dalam.

"Aku tahu kamu marah tetapi apakah diriku tak diperbolehkan masuk?"

Deg! Tentu saja Mitha tak akan membiarkan hal itu terjadi. Kedua tangannya langsung menghempaskan tangan Atmaji. Bibirnya sengaja dimanyunkan agar terlihat mengemaskan. "Aku mau maafin asal malam ini ajak jalan-jalan, sebagi ganti tadi siang."

Hehe, namanya juga pria yang lagi jatuh hati. Apapun keinginan kekasihnya pasti dituruti, "Oke."

Hah? Mitha tak percaya sebegitu mudahnya pria itu menyetujui. Baguslah, sepertinya Atmaji memang masuk dalam perangkapnya, hehe. "Ya udah, tunggu sini aku ganti baju."

"Aku enggak disuruh masuk, dulu?" Atmaji mengulangi kalimat yang sama.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C7
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen