PLAK!!!
Dinda benar-benar tak sadar dapat kekuatan dari mana dia sampai bisa menampar cowok yang telah berdiri di depannya. Semementara itu, Panji—yang mendapatkan hadiah tamparan dari Dinda pun hanya bisa membisu. Ini adalah kali pertama Panji melihat sosok lain dari Dinda, sosok yang ia kenal selama ini lemah lembut, dan penuh kasih sayang telah berubah menjadi sosok cewek yang penuh dengan amarah.
"Din... kamu nampar aku, Din?" kata Panji. Masih enggan percaya jika yang menamparnya adalah Dinda.
"Jangan temuin gue lagi. Gue jijik ama elo!" bentak Dinda.
Nadanya terdengar bergetar, membuat Nathan melangkah maju ingin berada di dekat Dinda agar cewek itu tidak jatuh. Tapi, langkahnya terhenti. Dia percaya, Dinda bisa melakukan semuanya. Dan dia percaya, mulai dari sekarang Dinda mungkin akan bisa mengatasi semua trauma buruknya.
"Din, aku bisa jelasin semuanya. Aku tahu kalau semua ini salahku. Dan aku janji aku bakal tanggung jawab semuanya. Tapi aku butuh waktu, Din. Aku juga nggak bisa buat malu orangtuaku, Din. Masa depanku masih panjang, dan aku akan sukses dulu."
"Masa depan lo bilang?" tanya Dinda yang semakin tampak kecewa kepada Panji. "Elo ngomong masa depan sama orang yang udah lo ancurin masa depannya, Nji! Elo manusia apa bukan, sih? Elo punya hati apa enggak, ha! Mending, lo segera pergi dari sini, dan jangan temui gue lagi sebelum gue laporin lo ke kantor polisi!"
"Tapi, Din—"
"Heh, cowok wajah karung beras. Elo nggak budek, kan? Lo denger apa yang cewek gue barusan omongin, kan? Enyah lo dari sini sebelum gue nyalahin meriam di pantat busuk lo itu!" bentak Nathan.
"Lo—"
"Pergi, Nji!"
"Oke, kali ini aku ngalah dari cowok belagu ini, Din. Tapi asal kamu tahu, sampai kapan pun aku akan tetap mencoba memperbaiki hubungan kita."
BUKKK!!!
"Ngebacot banget lo. Pergi nggak!" bentak Nathan, setelah meninju pelipis Panji.
Panji langsung berdiri, setelah ia tersungkur, masuk ke dalam mobilnya kemudian melesat pergi.
Dinda menghela napas beberapa kali, kemudian Nathan menepuk-nepuk pundaknya. Senyuman lebar Nathan pertontonkan untuk Dinda.
"Elo hebat, Din. Pertahankan," kata Nathan, sambil mengacungkan dua jempol tangannya.
Sementara Dinda hampir saja jatuh karena tubuhnya yang seolah kehabisan tenaga. Dia sama sekali tak menyangka, jika dirinya sendiri mampu berkata seperti itu di depan Panji. Padahal dia pikir, akan selamanya ketakutan saat Panji datang menemuinya.
"Terimakasih ya, Nath... ini semua berkat elo," katanya. Tersenyum simpul ke arah Nathan yang sudah berdiri di sampingnya.
Keduanya kemudian berjalan, menyusuri jalanan beraspal setelah melewati gerbang sekolah. Sesekali, Nathan memandang ke arah Dinda. Ada tanya namun ia tak sanggup untuk mengutarakan, namun tanya itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya.
"Din...," kata Nathan, yang berhasil membuat Dinda menoleh. Nathan lantas menelan ludahnya dengan susah, kemudian ia tersenyum miring. "Nggak jadi, deh!" putusnya.
Panji mau bertanggung jawab atas apa, Din?
Apa yang telah Panji lakuin ama elo?
Kenapa lo bilang Panji telah ngerusak masa depan elo?
Lagi, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa Nathan pendam dalam hati. Dia sudah berjanji bahwa dia tak akan mencampuri apa pun urusan Dinda. Lagi pula, sejak kapan dia sampai sepenasaran itu dengan urusan cewek? Bahkan kawan-kawan cowoknya pun, Nathan nyaris tak peduli.
"Apaan sih?" tanya Dinda penasaran.
"Nggak, nggak apa-apa, misscall aja. Siapa tahu elo budek."
"Kuping gue aja masih bisa dengerin suara napas elo, Nath. Yakali gue budek," ketus Dinda.
Nathan tertawa saja dibuatnya, rupanya menghadapi Dinda bukanlah semudah dia menghadapi cewek-cewek pada umumnya.
"Besok gue gajian nih. Mau gue traktir nggak?" tawar Dinda yang berhasil membuat Nathan menoleh.
"Hah, serius?" tanya Nathan.
"Tapi tempatnya gue yang nentuin, ya,"
Sesaat Nathan tampak berpikir, kemudian dia mengangguk semangat. Dinda tampak memandang wajah pucat Nathan, cowok bermata abu-abu itu tampak tak bertanya apa pun tentangnya. Bukan berarti jika ia berharap Nathan akan bertanya pekerjaan apa yang dilakukan sampai ia mendapatkan gaji, akan tetapi nyaris siswa di SMAnya tidak ada satu siswa pun yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi guru les. Mereka sudah lebih dari mampu, dan tak butuh atas gaji yang menurut mereka tak seberapa, kan?
*****
Sore ini, Dinda sudah tampak sibuk dengan beberapa potong pakaian baru yang beberapa waktu lalu dibelikan oleh Nadya. Bahkan, ia hanya tersenyum singkat saat Nadya masuk ke kamar.
Nadya yang hendak duduk pun menarik sebelah alisnya, kemudian ia bersedekap. Hari ini dia tak ada latihan cheers, jadi dia pulang lebih awal. Melihat saat ia pulang ada Dinda yang sudah sibuk dengan baju-baju bukankah itu merupakan hal yang aneh?
"Elo udah pulang? Tumben," kata Nadya, menaruh tas dan beberapa buku paket di meja kemudian mendekat ke arah Dinda yang yang telah memilih sepasang baju yang mungkin akan dikenakannya.
"Gue tadi bolos, Nad."
"What? Elo bolos? Seriusan? Elo yang katanya siswi paling rajin bolos?" pekik Nadya yang hampir tak percaya.
Dinda tersenyum lebar kemudian dia mengangguk. "Diajakin Nathan,"
"Gila tuh anak. Kenapa ngajakin elo yang enggak-enggak sih!"
"Ya, bukan salah Nathan juga kali, Nad. Gue juga yang pingin. Lagian, gue ngerasa lagi suntuk di kelas. Dan lo tahu apa yang terjadi saat gue bolos tadi?" kata Dinda semangat.
"Hmm?" jawab Nadya, melepas seragamnya kemudian memakai pakaian sekenanya.
"Tadi, gue ketemu ama Panji, Nad."
Nadya yang awalnya malas-malasan pun langsung memasak mimik serius. Ia langsung memandang Dinda dengan perasaan cemas. Dia benar-benar tak mau temannya ini akan histeris lagi. Tapi, melihat gestur Dinda yang mengatakan itu dengan senyum simpulnya membuat Nadya sedikit lega.
"Terus? Gimana?" tanyanya serius.
Dinda kemudian duduk diikuti oleh Nadya, kemudian ia menghela napas panjang.
"Kata Nathan gue harus ngelawan rasa takut gue ama Panji. Dan gue nggak tahu entah dapet kekuatan dari mana, bahkan tadi gue nampar dia, Nad. Dan semua rasa benci, marah, dan kecewa gue ama dia selama ini gue luapin semua ama dia. Gue udah nggak mau ketemu dia lagi, Nad. Gue ngerasa jijik ama diri gue sendiri tiap kali keinget dia."
Dinda memeluk dirinya sendiri, sekilas dia teringat kembali kenangan buruk yang Panji lakukan kepadanya. Nadya langsung memeluk tubuh Dinda, mengelus punggung temannya itu dengan lembut.
"Semuanya akan baik-baik aja, Din. Percaya ama gue. Lo buka lembaran hidup lo yang baru, ya. Gue bakal ada terus buat ngejagain elo."
"Thanks, Nad. Elo emang sahabat gue."
Dinda tak tahu lagi harus dengan apa dia berterimakasih kepada Nadya, faktanya sahabatnya yang satu ini benar-benar sangat baik kepadanya. Dia jadi rindu, dengan sahabat-sahabatnya dulu. Bahkan sampai detik ini, dia tak berani membalas pesan-pesan yang sahabatnya kirim. Tentang pertanyaan kenapa dia pergi dari SMA Wijaya Kusuma tiba-tiba.