"Erza, pagi." Ketika Erza sampai di depan pintu kantor, dia melihat Alina berdiri di sana.
"Hei, Alina, kenapa kamu di sini? Apakah kamu menunggu seseorang?" tanya Erza.
"Ya, aku menunggumu," jawab Alina singkat. Wajah Alina sedikit kemerahan.
"Menungguku? Alina, apa maksudmu?" tanya Erza lagi.
"Erza, ada hubungan apa antara kamu dan Bu Lana?" celetuk Alina tiba-tiba. Melihat tatapan bertanya-tanya di mata Alina ini, Erza merasa sedikit linglung karena tidak tahu apa yang telah terjadi.
"Jika aku bilang bahwa Bu Lana dan aku sudah menikah, apakah kamu percaya?" kata Erza balik bertanya
"Itu terlalu mustahil." Alina menatap Erza tak peduli. Dia melanjutkan, "Oke, jangan bercanda. Bu Lana memberitahuku bahwa hari kamu akan menjadi bagian dari Departemen Perencanaan dan menjadi wakil manajer, jadi aku di sini untuk menyambutmu."
Alina sebenarnya merasa sedikit aneh. Meskipun Departemen Perencanaan bukan bagian paling besar dari perusahaan ini, tapi Erza hanyalah seorang satpam. Alina bukannya meremehkan Erza, tapi perubahan ini terlalu mendadak, dari satpam biasa menjadi wakil manajer Departemen Perencanaan.
"Wakil manajer?" Erza juga tercengang. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
"Ya, Bu Lana secara pribadi menjelaskannya padaku tadi. Apakah kamu tidak tahu?" kata Alina.
"Tapi Alina, aku suka menjadi satpam. Aku tidak ingin menjadi wakil manajer," Erza dengan cepat berkata. Erza tahu bahwa menjadi satpam kecil akan lebih santai. Jika dia membiarkan dirinya menjadi wakil manajer, maka dia pasti tidak bisa duduk diam.
"Erza, kamu tahu berapa banyak orang yang bersaing untuk posisi wakil manajer? Kamu tidak menginginkannya? Jika memang begitu, kamu dapat berbicara dengan Bu Lana tentang masalah ini," jelas Alina sedikit kecewa.
"Ya sudah kalau begitu. Aku akan menuruti kata Bu Lana," ujar Erza tidak berdaya.
"Bagus! Sekarang izinkan aku memperkenalkanmu kepada semua orang. Semuanya, ini Erza. Mulai sekarang, dia akan menjadi wakil manajer di departemen kita," kata Alina membawa Erza ke lantai sepuluh perusahaan. Ada sekitar selusin orang di departemen itu, dan orang-orang ini melihat Erza dengan terkejut pada awalnya. Kemudian, mereka bertepuk tangan sebelum lanjut bekerja. Beberapa orang menatap Erza dengan iri.
"Mohon bantuannya," ucap Erza.
"Erza, di sana adalah ruanganmu. Kamu bisa mulai bekerja," kata Alina menjelaskan. Meskipun Alina juga dapat melihat bahwa beberapa orang tidak senang dengan kehadiran Erza, dia tidak dapat mengatakan apa-apa tentang hal itu. Di dunia kerja, hal-hal seperti itu sangat wajar. Alina sudah terbiasa.
"Tahukah kamu? Orang itu hanya seorang satpam, tetapi dia menyelamatkan Bu Lana kemarin. Sepertinya dia menjadi wakil manajer sebagai ucapan terima kasih dari Bu Lana," bisik salah seorang karyawan.
"Jadi begitu? Tapi, mengapa Bu Lana harus mengangkatnya menjadi seorang wakil manajer? Apa satpam sepertinya bisa melakukan pekerjaan sebagai wakil manajer dengan baik?" bisik yang lain.
Meskipun suara orang-orang ini sangat kecil, tetapi telinga Erza tidak begitu sensitif. Namun, Erza memilih untuk acuh tak acuh. Dia pergi begitu saja, dan memasuki ruangannya. Tentu saja, Erza masih ingin berbicara dengan Lana secara langsung. Akan lebih baik baginya jika Lana membiarkannya menjadi satpam lagi.
"Halo, saya dari Departemen Keuangan. Nama saya Doni. Selamat karena telah diangkat menjadi wakil manajer Departemen Perencanaan, Erza." Ketika Erza masuk ke ruangannya, sebelum dia bisa duduk, ada seorang pria paruh baya masuk. Pria bernama Doni itu menyisir rambutnya, dan menyapa Erza dengan sopan. Ketika melihat pria paruh baya di depannya, Erza merasa sedikit bingung. Biasanya, Departemen Perencanaan dan Departemen Keuangan tidak ada hubungannya satu sama lain.
Erza menatap Doni lagi. Ketika Doni tersenyum, matanya menjadi kejam dan licik. Itu adalah kesan pertama Erza terhadap Doni. Tapi, Erza tetap membalas sapaan Doni, "Halo, Pak Doni."
"Kamu sangat sopan. Aku masih tidak percaya bagaimana kamu bisa menjadi wakil manajer di usia yang begitu muda. Kamu pasti memiliki keunggulan tertentu. Bagaimana jika aku mengundangmu untuk makan siang bersama hari ini? Aku yang traktir," ajak Doni. Saat ini Doni bahkan lebih sopan.
"Oke, dengan senang hati," jawab Erza. Erza ingin melihat apa tujuan Doni mengajaknya makan siang bersama.
"Oke, kalau begitu, aku akan menemuimu siang ini," ucap Doni. Kemudian, Doni pergi.
"Erza, mengapa Pak Doni menemuimu?" Begitu Doni pergi, Alina masuk.
"Alina, memangnya mengapa jika Pak Doni menemuiku?" tanya Erza berusaha mencari tahu.
"Biar kuberitahu, Pak Doni sedikit berbahaya. Dia adalah bawahan Pak Jamal." Di akhir katanya, Alina juga memasang ekspresi serius di wajahnya.
"Siapa Pak Jamal?" tanya Erza.
"Salah satu pemegang saham utama perusahaan. Dia sangat pandai merayu dan menjebak orang. Jangan sampai kamu juga terjebak." Alina melirik Erza, dan dia juga bertanya-tanya mengapa Doni ingin bertemu Erza. Departemen Perencanaan sama sekali tidak berhubungan dengan Departemen Keuangan.
"Ternyata perusahaan ini sangat rumit," gumam Erza. Dia tersenyum tak berdaya, tapi dia tidak menyangka ada begitu banyak persaingan di sebuah perusahaan.
"Ya, oleh sebab itu kamu harus terus waspada. Kudengar Pak Jamal ada hubungannya dengan preman dan gangster, jadi hati-hatilah." Alina juga memasang ekspresi khawatir di wajahnya.
"Alina, jangan khawatir, aku bisa melindungi diriku sendiri," ucap Erza meyakinkan. Untuk gangster atau semacamnya, sejujurnya Erza sama sekali tidak takut. Bukannya sombong, tapi Erza memang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melawan orang-orang semacam itu.
"Ya sudah kalau begitu," sahut Alina. Dia merasa lega saat Erza mengatakan itu.
Pada siang hari, sesuai rencana, Erza dan Doni makan siang bersama di sebuah restoran yang cukup mewah. Saat makan, Doni langsung menanyakan tentang latar belakang Erza. Erza hanya mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga biasa, dan Doni percaya itu. Tapi selama pembicaraan itu, Doni sama sekali tidak menyebut tentang Pak Jamal, dia justru terus berkata kepada Erza bahwa jika Erza memiliki masalah ke depannya, dia bisa menghubunginya. Pada titik ini, Erza dapat menilai bahwa Doni pasti sedang merencanakan sesuatu.
"Aku tidak akan merepotkanmu. Aku rasa aku bisa mengurus semuanya sendiri. Terima kasih telah peduli padaku," ucap Erza. Dia mengambil inisiatif untuk menunjukkan bahwa dia tidak akan terjebak oleh jebakan Doni. Lagipula, Doni pasti tidak tahu jika perusahaan itu milik istrinya. Meskipun Erza dan Lana menikah cukup mendadak, dan hubungan antara dirinya dan Lana tidak jelas, tetapi Lana adalah istri sah Erza. Sebagai seorang suami, Erza harus bersikap tegas untuk melindungi keselamatan istrinya dan perusahaannya. Erza tidak akan pernah peduli dengan Pak Jamal atau gangster yang dia pimpin. Jika dia mengancam istrinya, Erza tidak akan pernah tinggal diam.
"Sangat mudah untuk mengatakan bahwa kamu bisa melakukan semuanya sendiri, tapi aku yakin kamu pasti akan butuh bantuan dariku." Saat ini, Doni juga terlihat sedikit tidak nyaman.
Keduanya banyak berbicara selanjutnya. Tidak peduli apa itu, Erza selalu bersikap positif terhadap Doni agar pria itu menganggap Erza sebagai orang yang mudah ditipu. Padahal, Erza tahu betul bahwa Doni bukan orang biasa.
"Pak, maaf, aku harus menjawab telepon." Pada saat ini, ponsel Erza tiba-tiba berdering. Dia melihat sebuah nomor aneh di layar. Dia mengerutkan kening, lalu mengangkat telepon.
"Halo? Siapa ini?" tanya Erza.
"Erza, selamatkan aku, selamatkan aku," kata seseorang di telepon. Itu adalah suara Wika.
"Apa yang terjadi?" tanya Erza dengan cemas.
"Nak, kamu mengingatku?" Ada suara pria asing lain di telepon, tapi Erza bisa tahu bahwa itu adalah preman yang tempo hari menagih utang pada Wika.
"Apa yang kamu lakukan?" Ketika Erza berbicara, meskipun suaranya tenang, ada keinginan untuk membunuh di matanya. Tapi, tatapan itu dilihat oleh Doni, dan dalam sekejap Doni merasakan hawa dingin yang kuat.
"Nak, dalam waktu sepuluh menit, datanglah ke gudang tua di pinggiran kota. Kamu tidak boleh memanggil polisi. Jika kamu tidak datang, aku akan mengambil adik Wika," kata si preman diakhiri dengan tawa cabul.
"Kak Erza, selamatkan aku." Suara Wina terdengar dari telepon.
"Oke, aku akan tiba di sana sepuluh menit lagi," jawab Erza. Dia menggertakkan gigi dan berkata dengan tenang, lalu menutup telepon.
"Ada apa? Erza, apakah kamu butuh bantuan?" tanya Doni pura-pura peduli.
"Tidak, maafkan aku, Pak Doni. Ada yang harus aku tangani, jadi aku harus kembali," jawab Erza sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, kita bisa makan siang bersama lagi lain waktu," kata Doni dengan senyum dipaksakan. Dia sebenarnya tahu bahwa Erza sedang cemas.