Di bawah langit yang dihiasi bulan purnama dan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, tepat pada ujung area pemukiman kumuh para half-beast terdapat sebuah bukit yang landai dan sangat luas bernama Bukit Luito. Sisi kirinya dipenuhi dengan pepohonan yang gersang, dipenuhi dengan aura kematian. Hanya warna hitam atau coklat gelap yang terlihat sejauh mata memandang dan tidak ada yang berani memasuki sisi kiri bukit itu karena jika ada yang tersesat di sana, kematian bisa dipastikan. Sementara, kontras dengannya, di sisi kiri bukit, warna warni akan memenuhinya terutama ketika musim semi datang. Sisi itu digunakan oleh rakyat half-beast untuk membuat kebun dan ladang dimana mereka menanam sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Di tengah sisi kiri perbukitan yang berlika-liku, tertutup oleh tanaman gantung yang begitu lebat dan panjang, terdapat sebuah bukaan besar. Di dalamnya terdapat sebuah gua dengan tangga panjang yang menurun ke bagian bawah. Di kedua sisi dinding gua terdapat lampu minyak setiap beberapa meter yang menyalurkan cahaya kuning dari lilin, membuat anak-anak tangga dari batu dapat terlihat dengan jelas.
Semakin turun ke bawah, suara berisik semakin jelas terdengar dan di ujung anak tangga yang begitu banyak itu, terdapat sebuah bukaan lagi yang memancarkan cahaya kuning yang sangat terang.
"Mengapa mereka begitu lama?!"
"Apakah mereka berhasil? Atau tidak? Aghh! Hanya menunggu di sini adalah hal yang sangat menyebalkan!"
Semakin mendekati tempat itu, isi dari suara berisik dapat terdengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang menggerutu tanpa henti mengenai suatu hal.
Di dalam bukaan tersebut, terdapat sebuah ruangan gua yang sangat luas. Ribuan lampu minyak tergantung pada dinding membuat tempat itu bagaikan diterangi cahaya matahari.
Di kedua sisi ruangan, duduk beberapa puluh orang dengan pakaian berlapis tiga yang panjang hingga menutupi mata kaki – mayoritas memiliki warna dasar seperti merah, kuning, biru, dan juga warna-warna seperti putih dan hitam. Wajah mereka tertutup tudung mantel dengan warna yang senada dengan pakaiannya, menyisakan setengah hidung dan mulut yang terus menggerutukan betapa lamanya 'mereka' itu.
Saking ributnya, tidak ada yang memperhatikan sebuah sosok berbalut pakaian dan mantel putih sedang berjalan menaiki tangga batu menuju altar tinggi di tengah gua. Beberapa orang berbalut pakaian hitam ketat yang berdiri di sekitar altar segera membawakan sebuah kursi tinggi dari bahan kayu yang kuat dan ukiran yang megah dan meletakkan kursi tersebut tepat di atas altar – di sebelah sebuah meja pendek berbahan dan berukiran sama.
Sosok tersebut mengambil sebuah balok kayu di atas meja dan mengetuknya beberapa kali pada permukaan meja, membuat suara berisik di dalam ruangan berangsur-angsur hilang.
Leher puluhan orang itu berputar menuju altar dan ketika mendapati sosok putih yang telah duduk di kursi megah, semuanya dengan sigap berdiri dan membungkukkan badan mereka dalam-dalam. "Hormat kepada Tuan Nemu!" seru mereka bagaikan sebuah paduan suara yang megah.
"Duduk kembali!" Pria berbalut pakaian putih bernama Tuan Nemu itu mengangguk kecil dan berseru singkat dengan suaranya yang berat.
"Terima kasih, Tuan Nemu!"
Puluhan orang itu kembali duduk pada tempat duduk batu panjang sederhana yang tertancap di tanah membentuk beberapa tingkat.
Di atas altar, Nemu berdeham kecil. Wajahnya mengarah ke seluruh ruangan sambil berbicara dengan suara yang lantang. "Ketua Gohabi* tidak dapat datang di pertemuan ini karena kondisi tubuhnya yang kembali memburuk. Oleh karena itu, aku, Nemu, sebagai wakil dari ketua kita, akan menggantikannya dalam membimbing pertemuan kita yang kelima ini. Namun, sebelum itu…."
*) Gohabi ini adalah nama ketuanya. Sementara GOHABI (dengan kapital seluruhnya) merupakan nama organisasinya
Nemu memutar kepalanya pada salah satu pria berpakaian hitam ketat yang berdiri tepat di sebelah kursinya. Walaupun matanya tertutup kain, pria itu dapat merasakan tatapan yang menusuk dan segera membungkuk dalam.
"Apa ada masalah, Tuan?"
Menggosok dagunya dengan jari jemari yang panjang, Nemu bertanya, "Bagaimana dengan tim yang kita kirim ke kediaman pemimpin kaum jahanam itu? Aku bermaksud memulai pertemuan ini setelah kembalinya mereka tapi kita telah menunggu begitu lama hingga membuat semuanya cemas."
"Mm…." Sepasang mata di antara kain hitam yang menutupi dahi, hidung, dan mulut milik bawahan itu mengayun ke sana kemari dengan penuh keraguan. Ia terlihat ingin berkata tapi menelan kata-katanya kembali sedetik kemudian.
Merasakan keraguannya, Nemu bersandar santai pada kursi untuk mencairkan suasana tegang di sekelilingnya. "Tidak perlu ragu. Katakan saja."
"Ba—baik!" Pria itu tetap tegang walaupun bisa merasakan maksud tuannya itu karena ia sedang berada di depan orang besar yang ia kagumi. Ia terlalu bahagia hingga gugup untuk berbicara dengan Nemu. "U—untuk sekarang ini, kami belum mendapat kabar apapun dari tim tersebut."
Mendengar laporan itu, semua yang berada di ruangan kembali ribut. Rasa cemas akan kegagalan kembali memenuhi mereka.
"Tenang!" Nemu mengetuk balok di tangannya tiga kali lagi untuk mengembalikan perhatian padanya. Ia kembali melihat bawahan itu dengan seksama. "Ada lagi?" tanyanya yang merasa bawahan itu masih ingin mengatakan sesuatu.
"Wa—walaupun belum ada kabar dari tim tersebut, tapi da—dari tim yang memantau di sini, si—"
"TUAN GOHABI!"
Teriakan lantang mengejutkan seluruh orang di dalam gua. Suara itu diiringi oleh langkah kaki yang sangat cepat dan dalam sekejap sebuah sosok muncul dari bukaan gua. Sosok itu terlalu tergesa-gesa hingga terjengkang dan terjatuh mencium lantai.
"Si—siapa dia?"
"Mengapa dia tidak menggunakan tudung?! Bagaimana jika makhluk jahanam itu menemukan kita?!"
Keributan kembali memenuhi ruangan membuat Nemu harus mendiamkan mereka lagi. Kecemasan juga memenuhi dirinya tapi ia tahan dengan sebuah dehaman. Iris matanya yang tertutup di balik kain putih menatap tajam sosok yang terjatuh itu.
Debu dan kotoran menutupi sekujur tubuh sosok itu hingga mengotori rambut abu panjangnya yang terikat longgar. Dilihat dari bentuk telinga dan ekornya yang padat dengan bulu empuk, Nemu bisa menebak bahwa sosok itu merupakan spesies serigala.
"Ada apa gerangan seekor serigala ini datang ke sini? Kau menyebutkan nama ketua tapi kau tidak bisa menepati aturan kita?!" bentak Nemu tanpa kehilangan wibawa dan keagungannya.
Pria serigala yang tersungkur itu buru-buru bangun dan untuk pertama kalinya orang-orang di dalam ruangan itu melihat sepasang iris tajam berwarna abu yang menghiasi wajah kecil dan tampan itu. Sayangnya, debu juga mengotori wajahnya yang putih pucat.
"Ma—maafkan kelancangan saya, Tuan Nemu. Nama saya Shikida Toma, saya berasal dari anggota kelompok yang dikirimkan untuk menyusup ke dalam kediaman pemimpin makhluk jahanam itu," jelas Toma dengan secepat mungkin sambil berlutut dan membungkukkan badannya. Napasnya terengah-engah dan wajahnya sedikit memerah dengan tidak normal.
Namun, Nemu tidak sempat terganggu oleh itu ketika mendengar informasi tersebut. Ia segera berdiri saking semangatnya. "Bagaimana?! Mengapa hanya kau sendirian?!"
Kepala Toma menunduk semakin dalam. "Ma—maaf, Tuan. Ka—kami…." Telinganya jatuh terkulai lemas mengikuti kepalanya yang semakin menunduk.
Harapan Nemu langsung hancur berkeping-keping. Menghela napas pasrah, ia menghempaskan pantatnya kembali pada kursi seraya menopang kepalanya yang terasa berat pada tangan kanannya. "Gagal, ya."
Suasana ruangan itu menjadi berat. Puluhan orang yang duduk mengelilingi ruangan itu juga refleks tertunduk lemah mendengar kabar itu. Kekecawaan terpancar begitu jelas dari mereka.
Toma semakin sedih. Ia pergi bersama teman-teman setimnya dengan penuh kebanggaan dan tekad yang kuat, tapi….
"Yang lainnya terbunuh dan ketika aku berhasil kabur dari kediaman itu, aku bahkan tidak melihat satu jasad pun seperti semuanya adalah halusinasi." Mengingat kembali semuanya, mata Toma mulai berkaca-kaca.
Kekesalan dan kemarahan semakin memenuhinya. Tidak hanya tertangkap, ia juga terkena sihir incubus brengsek itu dan harus melawan ekstasi yang bahkan hingga sekarang masih belum hilang. Ia sampai harus melukai beberapa bagian tubuhnya untuk mempertahankan kesadaran dan akal sehat. Semua ini benar-benar membuatnya malu! Ia tidak sanggup menatap rekan-rekannya lagi sekarang karena walaupun ia tetap sadar dan berakal cukup sehat, ia tidak bisa memungkiri dirinya untuk tidak mengeluarkan beberapa erangan memalukan.
Padahal itu dilakukan oleh makhluk menjijikkan itu! Sial! Sial! Rasanya ingin menghilang saja dari dunia ini dari pada tetap hidup dalam rasa malu ini. Tujuannya kembali ke sini juga sudah tercapai, yaitu menyampaikan kabar mengenai timnya dan misinya yang gagal.
"Baiklah. Kalian, bawa serigala itu untuk beristirahat! Kita akan melanjutkan pertemuan."
Mendengar perintah Nemu, beberapa pria berbalut pakaian hitam mulai bergerak mendekati Toma untuk membawanya pergi.
Tidak ada yang mengetahui mengenai rencana Toma untuk mati saat itu juga. Tatapan tajam matanya penuh dengan tekad yang bulat dan ia sudah akan menggigit lidahnya sendiri.
"TUNGGU!"
Sebuah bola api merah tiba-tiba terbang menuju punggung Toma dengan kecepatan tinggi. Toma terlonjak kaget hingga terduduk bingung di atas tanah. Api itu menarik sesuatu dari punggungnya dan benda tipis itu langsung bercahaya silau di tengah bola api, membutakan pandangan mereka semua.
"ITU ADALAH ALAT PELACAK! TANGKAP SERIGALA ITU! DIA BEKERJA SAMA DENGAN INCUBUS."
Halo semua :)
Terima kasih sudah membaca