App herunterladen
18.06% Bonoki / Chapter 28: Kakak yang jahat

Kapitel 28: Kakak yang jahat

Tak terasa satu minggu telah berlalu, selama tujuh hari berlangsung aku melakukan aktifitas seperti biasa. Terkadang aku memiliki kendala oleh para CCTV berjalan. Mereka mengatakan hal yang sama, dengan apa yang dikatakan wa haris. Lalu aku mengatakan yang sejujurnya, bahwa diriku memang tidak betah disana. Suatu hari saat tengah hari, datanglah wa haris ke warungku untuk berbelanja. Hari ini dia berbelanja berbagai macam sembako, sebab hari ini akan diadakan acara syukuran, atas keberhasilan anaknya memasuki Universitas Nasional. Rencananya dia akan mengambil Diplomat 4, jurusan kebidanan. Lalu dia memintaku untuk mengambilkan, beberapa bungkus rokok Sampoerna dan Djingo. Kemudian dia pun bertanya.

"Coba uwa pengen tahu, berapa sebungkus rokok Djinggo?"

"Hmm..." sambil mengingat.

"Tolol, gitu aja kamu gak tahu!" ujarnya dengan nada tinggi.

Spontan darahku langsung naik, rasanya ingin ku pukul wajahnya. Sadar akan responku kepadanya, dia pun semakin menjadi-jadi. Dia sengaja untuk terus bertanya, hingga jiwaku mulai terbakar oleh amarah. Satu persatu para pelanggan mulai berdatangan, terpaksa mau tidak mau aku harus menurunkan tensiku. Spontan aku menunjukkan wajah yang ceria kepadanya, lalu menjawab setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Mungkin ada beberapa kendala seperti lupa harga, tata letak, dan lain sebagainya. Namun sedikit demi sedikit, semua itu dapat teratasi. Sepuluh menit kemudian datanglah mamahku, melihat diriku yang kesulitan spontan mamah langsung membantuku. Setelah melayani pembeli akhirnya warung pun kembali sepi. Disana hanya ada Wa Haris berdiri seorang diri, melihat kehadirannya sebagai seorang adik yang baik, mamahku langsung mencium tangannya.

Kemudian mereka berdua duduk didepan, lalu mamahku memerintahkanku untuk membuat dua cangkir kopi, setelah itu menaruh tepat disamping mereka. Sungguh aku tidak menyukainya, rasanya aku ingin segera menyingkir dari sana. Selesai mereka berbincang, mamah datang lalu duduk disampingku. Lalu kulihat kesana dan kemari, khawatir jika dia datang kembali, setelah itu aku langsung mengutarakan kekesalanku kepadanya. Mamah mendengar setiap perkataanku, lalu meminum secangkir kopi sambil menatap ke depan. Selesai bercerita dia memberitahuku, bahwa bukan hanya diriku yang tidak menyukainya, tetapi adikku juga tidak menyukainya. Sewaktu kecil, ketika adikku sedang merayakan ulang tahunnya yang ke enam.

Waktu itu adikku melilik rambut twintail, yang menjulur ke bawah. Saat itu adikku sedang menerima banyak hadiah dari teman-temannya. Lalu Wa Haris memberikan sebuah kotak besar, yang dihiasi oleh kertas kado bermotif bunga mawar. Adikku sangat senang lalu ia menerimanya dan dia langsung loncat kegirangan. Saat dibuka ternyata ada sebuah kota, dan saat dibuka lagi terdapat sebuah kota berukuran kecil. Sekian lama dia membuka kado, tingga sebuah kotak kecil yang berbentuk pesegi panjang. Tiba-tiba saat ia bukannya adikku terkejut, rupanya isi kotak itu adalah lima kecoa yang masih hidup. Spontan ia langsung menangis lalu memeluk mamahku dengan erat. Semenjak saat itu adikku sangat membencinya, bahkan saat dia berkunjung adikku enggan untuk melihatnya.

Cerita tidak berhenti sampai situ saja, sekarang giliran mamah yang mengutarakan kekesalannya kepadaku. Kejadian itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu, waktu itu keluargaku sedang memanen hasil padi. Suasana dirumahku waktu itu sangat ramai, disana banyak orang yang berlalu-lalang membawa sekarung padi. Kulihat ada sebagian mereka, yang hanya berbincang-bincang dan ada juga yang menghitung timbangan. Setelah ditimbang padi itu langsung dimasukkan ke dalam truk, dan selanjutnya dikirim ke pabrik untuk diolah menjadi beras. Dengan berinisiatif, mamahku menyuguhkan mereka kopi dan gorengan. Namun itu semua tidak cukup, lalu mamah memutuskan untuk pergi menemui nenek di rumahnya. Keluarga kami sering memanggil nenek, dengan sebutan "Emih". Saat menghampiri rumahnya, rupanya nenek sedang berada di rumah Wa Haris.

Kemudian ia langsung pergi ke sana seorang diri, saat menghampiri rumahnya. Disana ia melihat nenek, sedang menikmati rujak bersama para tetangganya yang berjumlah lima orang. Setelah itu mamah pun bergabung dengan mereka, lalu berbincang bersama. Satu jam telah berlalu, akhirnya dia pun mengutarakan keperluannya.

"Di rumah sedang panen, maaaf bisa minta tolong bantu membuat nasi ketan" kata mamahku.

"Hayuk" ujarnya.

"Teu sopan sia ka indung sorangan!"

(Gak sopan kamu, ibu sendiri)

"Apa maksudnya yah ang?"

"Emih teh geus kolot, tong nambah beban wae maneh teh!" bentaknya.

(Emih itu sudah tua, jangan nambah beban aja kamu)

Sudah sewajarnya seorang anak, meminta bantuan kepada orang tuannya. Apalagi memintanya, dengan lembut dan sopan. Lagi pula Emih sendiri menyetujuinnya, tanpa ada paksaan sedikitpun. Asal kalian tahu, bahwa yang memperbudakki atau membebani Emih adalah Wa Haris itu sendiri. Sebab dia selalu meminta Emih, untuk mengurusi pekerjaan bisnis aksesorisnya. Di usianya yang sudah tua, seharusnya itu tidak boleh. Jadi siapakah yang beban disini? Lalu mamah mengatakan hal itu, lalu Wa Haris pun menjawab.

"Teu sopan sia ka anu kolot!" kata Wa Haris.

(Beraninya sama yang lebih tua)

"Heh tolong merasa diri maneh pang kolot, adahal aya nu lewih kolot ti maneh! Anak Emih teh lain maneh doang!" sambil berlinang air mata.

(Jangan merasa diri kamu paling tua, padahal ada yang lebih tua dari kamu. Anak Emih bukan kamu doang)

Spontan Wa Haris mengangkat tanganya, lalu bersiap untuk menampar. Kemudian mamahku langsung pergi sambil berlinang air mata. Tak disangka Wa Haris pun mengejarnya untuk menampar mamah, beruntung Emih mencegahnya sehingga hal itu tidak terjadi. Sesampainya dirumah mamah bersikap tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia memutuskan untuk menyembunyikan kejadian itu, namun beberapa hari kemudian cerita itu sudah menyebar. Papah mengetahui hal itu dari Wa Nandi, kakak tertua dari keluarga mamahku. Tetapi dia menceritakan kejadian itu dengan versi berbeda. Katanya mamah membentak Emih dari kejauhan, lalu menyuruhnya secara paksa untuk memenuhi hajatnya.

Kakek buyutku dari keluarga papah, membantah hal itu. Sebab kakek tahu, bahwa mamah tidak akan melakukannya. Disisi lain papahku kecewa karena mamah tidak berterus terang mengenai kejadian itu. Namun mamah tetap berusaha agar papah mengerti, bahwa bendera persaudaraan jauh lebih penting. Setelah itu Emih datang menemui mamah, lalu membujuk agar mamah meminta maaf terlebih dahulu kepada Wa Haris. Dan akhirnya selesai lebaran, mamahku dengan terpaksa meminta maaf kepadanya. Walau pada akhirnya, ia harus menerima makian darinya. Satu tahun kemudian, pemilihan Lurah telah tiba. Semua orang sibuk membicarakan siapa calonnya. Suatu hari saat pagi hari Wa Haris datang untuk bertamu, lalu mamah langsung membuatkanya secangkir kopi. Setelah itu berbincang berdua didepan teras rumahku. Hari ini Wa Haris bercerita, bahwa dirinya berencana untuk mengikuti pemilihan tersebut. Dia beralasan, bahwa ia ingin menjadi seorang Lurah untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Kemudian ia meminta pendapat dan persetujuan dari mamahku. Namun mamah tidak menyetujuinya, lalu mamahku pun berkata.

"Mengadi kepada masyarakat, tidak harus menjadi seorang pemimpin. Sebaiknya akang fokus saja ke bisnis aksesoris yang sedang tekuni sekarang. Menurutku itu lebih baik dan lebih berkah kang" kata mamahku.

"Sia teu seneng lamun urang jadi Lurah?"

(Kamu enggak seneng, kalau aku jadi lurah)

"Lain kawas kitu akang, lamun akang serius hayang jadi Lurah eneng mah ngadukung. Eneng cuman mengutarakan pendapat. Cuman lamun teu sesuai keinginan, akang kudu siap nerima konsekuensina" kata mamahku.

(Bukannya begitu, kalau kakak serius ingin menjadi Lurah saya pasti dukung. Saya hanya mengutarakan pendapat. Tetapi jika tidak sesuai keinginan, kakak harus siap menerima konsekuensinya)

Mendengar hal itu ia mengangkat kepalanya, lalu memandang langit setelah itu kembali menikmati secangkir kopi. Satu minggu telah berlalu, pada pukul delapan malam seluruh keluarga besar mamah berkumpul dirumah nenek. Kulihat seluruh keluarga sedang berbincang tentang pemilihan Lurah, lalu Wa Haris meminta mereka untuk mendukungnya. Seluruh keluarga mendukung kecuali mamahku, ia tetap pada pendiriannya agar dirinya fokus berdagang. Namun dengan berbagai tekanan, pada akhirnya mamah terpaksa mendukungnya. Kemudian mereka mulai membicarakan sponsor dalam pemilihan tersebut. Seluruh keluarga memberikan sponsor, berupa uang dan bahan pokok. Diantara sponsor yang diberikan oleh seluruh keluarga, rupanya sponsor mamahku yang paling tinggi.

Mamahku bekerja siang dan malam, mengurusi segala keperluan untuk menghadapi pemilu. Wajahnya tampak kelelahan, namun dia dedikasikan khusus untuk Wa Haris. Dua bulan telah berlalu, pemilihan pun telah tiba. Seluruh orang mulai berjalan kaki menuju balai desa, sesampainya disana kedua calon saling beradu agrumen. Selesai beragrumen mereka pun bersalaman, lalu pemilihan dimulai. Satu persatu warga mulai memasuki ruang TPS (Tempat Pemungutan Suara), selesai memilih mereka memasukan kelingking ke tinta biru, setelah itu mereka diperbolehkan pulang. Selesai pemungutan suara acara perhitungan pun dimulai, kulihat salah satu perwakilan, menyebutkan nama dari Sang Calon, lalu menuliskan hitungan di papan tulis.

Para pendukung dari kedua kubu mulai berdoa, lalu menyaksikan acara perhitungan dengan serius. Singkat cerita sore pun telah tiba, acara perhitungan suara telah selesai. Sang Perwakilan memberitahukan hasilnya, dan ternyata pihak lawanlah yang menang. Dengan berat hati Wa Haris beserta pendukungnya, harus pulang dengan perasaan kecewa. Dan akhirnya selama satu bulan Wa Haris pun mengalami depresi. Lalu dia datang kembali untuk menemui mamahku, lalu mamahku memberikan motivasi. Setelah ia bangkit dari keperpurukannya, Wa Haris pun mulai berjalan tanpa melihat ke belakang. Seketika dia pun langsung amnesia, dia lupa dengan jasa yang diberikan oleh mamahku. Jika ditotal jumlah kerugian yang mamah berikan kepadanya, mencapai tiga ratus juta. Jumlah yang cukup besar, untuk sebuah pengorbanan yang sia-sia.Mendengar hal itu membuatku semakin muak kepadanya, namun mamah mengiklaskannya, lalu ia tetap berdiri tegak memegang bendera persaudaraan. Jika aku jadi mamah, sampai kapanpun aku tidak akan membantunya bahkan memberikan pintu.


Kapitel 29: Angin berhembus

Suatu hari ketika aku sedang menonton serial anime, mamahku bertanya tentang kapan ujian SBMPTN dimulai. Aku memberitahunya, bahwa SBMPTN akan dilaksanakan sekitar tiga minggu lagi. Lalu ia memintaku untuk mengunjungi sepupuku, yang berada di Sukamandi. Ternyata dia juga mengikuti ujian SBMPTN sama sepertiku. Tetapi aku memberitahunya bahwa diriku tidak bisa memuinya sekarang, sebab aku harus memastikan lokasi ujian terlebih dahulu. Singkat cerita malam pun tiba, denah ruangan berhasil aku terima dari sebuah email.

Setelah aku mengetahui lokasinya, besok saat tengah hari aku berencana untuk mengunjunginya. Keesokan harinya saat tengah hari, aku mengunjungi rumah sepupuku. Dia bernama Agi Suteja, anak dari Kakek Naseh adik dari nenek di keluarga mamahku. Setiap aku bertemu dengannya, aku memanggil dengan nama depannya. Seharusnya aku memanggilnya, "Paman Agi" karena kita sepantaran aku tidak perlu melakukannya. Sebab dia merasa terganggu dengan panggilan tersebut. Rumahnya berada di samping pasar dekat dengan jalan raya. Sesampainya dirumah kulihat ia sedang menghisap rokok, sadar dengan keberadaanku ia langsung mematikannya.

Hari ini Agi hanya menggunakan celana pendek dan kaos kutang. Setelah itu aku masuk dan duduk diruang tamu, sedangkan Agi pergi ke dapur untuk mengambil minum. Kemudian kami mengawali percakapan, dengan berbasa-basi terlebih dahulu. Lalu dia bertanya, mengenai keluarnya diriku dari Akademi.

"Katanya elu keluar dari akademi"

"Iya itu benar, gue gak betah disana"

"Jiaahh gimana sih Juragan pelabuhan, pasti elu minta pulang" ledeknya.

"Ha.ha.ha itu benar" jawabku.

"Lagian ada-ada aja elu, malah nekat nyempung ke kandang hiu" kata Agi.

"Biarin anggap aja ujinyali" kataku.

"Setelah ini apa rencana elu?"

"Rencananya gue pengen kuliah, mumpung orang tua gue mau bayarin. Oh iya denger-denger elu ikutan SBMPTN? Elu dapet tempat ujian dimana?" tanyaku.

"Gue di SMA 4 KARAWANG, di ruang 34" katanya.

Ternyata dia satu tempat denganku, hanya saja diruang yang berbeda. Lalu aku mengajaknya agar dia mau pergi bersamaku, namun dia menolaknya sebab dia akan diantar oleh orang tuanya. Setelah itu aku pun pamit untuk pulang, sebelum itu Agi memberikan sebuah bingkisan berisi mangga kepadaku, lalu ia minta agar diriku memberikannya kepada orang tuaku. Sesampainya dirumah, aku memberikan bingkisan itu kepada mamahku. Lalu aku masuk ke dalam kamar untuk belajar. Siang dan malam pandanganku tertuju hanya kepada buku. Setiap hal yang tidak aku mengerti, diriku langsung bertanya kepada Google. Disana berbagai tutorial tersedia lengkap, sehingga yang harus aku lakukan hanyalah mengikutinya saja.

Untuk soal Bahasa Indonesia dan Sosial Humora, tidak mengalami kendala. Sebaliknya untuk soal Matematika dan Psikotes, diriku sangat mengalami kendala. Terpaksa aku harus memutar otakku, selama tujuh kali untuk memahaminya. Apalagi sistem penilaian ujian menggunakan sistem minus. Maka aku harus ekstra hati-hati mengerjakannya. Sungguh aku melakukan semua itu hanya seorang diri, sebab meminta bantuan hanyalah membuang waktu. Tak terasa tiga minggu telah berlalu, sudah saatnya diriku siap menghadapi ujian. Sebelum berangkat aku mencium tangan kedua orang tuaku, lalu berangkat dengan penuh semangat. Di perjalanan tidak ada satu pun hambatan di jalan, akhirnya aku bisa menambah laju kendaraanku, agar cepat sampai.

Sesampainya disana aku langsung mencari dimana ruangaku berada. Kulihat banyak sekali peserta yang berlalu-lalang, yang sama sepertiku mencari ruangan. Namun ada juga sebagian dari mereka duduk dilantai untuk membaca buku. Ketika aku sedang berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Kemudian kami pun saling bertatapan, tak disangka orang itu adalah Jajang mantan adik kelasku. Aku mengenalnya, saat acara perkumpulan ekstrakulikuler yang diadakan oleh OSIS. Waktu itu sekolahku sedang mempersiapkan acara MOS (Masa Orientasi Siswa), di aula lantai dua gedung baru. Setelah itu kami pun bersalaman, lalu berjalan bersama sambil mencari ruangan. Aku penasaran mengapa ia mengikutin SBMPTN, padahal sebelum kelulusan, dia sempat memberitahuku bahwa setelah lulus ia berencana untuk bekerja. Lalu aku pun bertanya.

"Katanya elu mau kerja?"

"Nyari kerja susah kang, sudah enam bulan belum ada panggilan. Dari pada nganggur mending kuliah" kata Jajang.

"Iya nyari kerja susah, gue aja sampai sekarang belum ada panggilan. Pada akhirnya mau kerja juga harus pake duit" ujarku.

"Namanya juga hidup kang, no cuan no makan. No cuan no pengencrotan" candanya.

"Bisa aja elu sendok sayur, oh iya rencana elu mau ngambil jurusan apa?" kataku.

"Rencana mau ngambil permesinan, ngelanjutin jurusanlah kang. Lemayan bisa nambah ilmu sama skill, jadi ketika lulus sudah jadi tenaga ahli. Kalau Akang sih?"

"Mau ngambil Sastra Jepang, lemayanlah buat nambah koneksi. Lagian elu tahu sendiri di indonesia banyak perusahaan membuka sahamnya disini" kataku.

"Mantap kang, jadi penerjemah gajinya kenceng tuh" ujarnya.

"Iyah benar, tapi liat aja nanti" kataku.

Sekian lama kami mencari, akhirnya kami menemukan ruangan masing-masing. Lalu kami pun berpisah, setelah itu kami membuat janji untuk bertemu di kantin saat istirahat. Sebelum ujian berlangsung aku langsung membuka buku, lalu mempelajari dan mengingat apa yang aku pelajari sebelumnya. Satu jam telah berlalu, ujian pun akan segera dimulai. Seluruh peserta memasuki ruangan, lalu mereka duduk sesuai nomer yang ditentukan. Beruntung aku duduk paling belakang, sehingga ketika terjadi suatu hal diriku tidak jadi pusat perhatian. Kemudian pengawas ruangan mulai berkeliling, untuk memeriksa kartu peserta. Jika tertinggal atau kehilangan, dengan terpaksa peserta tidak diijinkan untuk mengikuti ujian.

Dan benar saja salah satu peserta di ruanganku, kartu ujiannya tertinggal di rumah. Spontan pengawas ujian menyuruhnya untuk keluar, tetapi suatu keajaiban terjadi. Ketika ia hendak keluar, dia nekat menunjukkan kartu ujian itu dibalik layar phonselnya. Dan akhirnya, karena kasihan pengawas itu mengijinkannya untuk ikut ujian. Asal kalian tahu kejadian ini sungguh benar adanya, sebab aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Melihat hal itu aku langsung menggelengkan kepala, lalu tangan kananku mengusap dada sebanyak tiga kali. Ada-ada saja perbuatanya itu, beruntung dia masih diberikan kesempatan untuk ujian. Selesai mengecek kartu ujian, kedua pengawas membagikan kertas jawaban lalu disambung dengan pembagian soal. Setelah mengisi identitas diri ujian pun dimulai. Seluruh peserta mengerjakan soal dengan serius, kulihat kedua pengawas sibuk dengan phonselnya. Sesekali mereka berdua berbincang-bincang dengan suara intonasi rendah.

Satu jam telah berlalu salah satu pengawas mulai berkeliling. Dia menatap kami dengan tajam, lalu melintasi meja satu persatu. Tiba-tiba pengawas itu menghentikan langkahnya, lalu menatap sekitar. Kemudian pandangan pengawas, tertuju kepada seorang peserta yang duduk di tengah, lalu dia menghampirinya. Rupanya peserta itu mengisi jawaban dengan menggunakan pulpen. Lalu pengawas itu bertanya.

"Kamu kenapa pake pulpen?"

"Pensil saya ketinggalan dirumah"

"Yasudah kamu ganti kertas jawabanmu dengan yang baru" ujarnya.

Pengawas itu langsung menggantinya, dengan kertas baru. Terpaksa dia harus mengisinya dari awal, sehingga dia harus berlomba melawan waktu. Tiga puluh menit telah berlalu, akhirnya ujian pertama telah usai. Aku langsung pergi ke kantin untuk menemui Jajang, di perjalanan tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahuku. Saat aku menoleh ke belakang, rupanya itu adalah sepupuku Agi. Kami pun pergi bersama menuju kantin, lalu menemui Jajang yang sejak tadi menunggu kami di kantin. Kemudian Agi dan Jajang pun saling berkenalan, kulihat Agi pun terlihat seperti orang kebingungan. Pandangannya kesana kemari mencari sesuatu yang tidak aku ketahui. Melihat hak itu, aku pun penasaran lalu diriku bertanya.

"Elu cari apaan?"

"Anu.." sambil memegang dagu dengan tangan kananya.

"Oh gue tahu, elu mau sebat? Sebat aja bro, di kantin ada yang jualan rokok kok" kata Jajang.

"Hayu sebat aja, gue gak bakal bilang kok" kataku.

"Bener yah?"

"Iyah"

Selesai membeli rokok kami pun mulai memesan makanan, lalu kami pun menikmati hidangan bersama. Selama dikantin kami berbincang mengenai soal ujian sebelumnya, rupanya kami mengalami kesulitan yang sama saat menghadapi soal Matematika. Sehingga kami mengerjakannya dengan asal-asalan, bahkan sebagian soal kami tidak mengisinya. Tak terasa waktu istirahat telah usai, seluruh peserta kembali memasuki ruangannya masing-masing. Sebelum memasuki ruangan, kami saling memberi dukungan agar semangat dalam mengerjakan soal. Sewaktu mengerjakan soal Sosial Humaniora, bara apiku masih berkobar-kobar. Tetapi ketika berhadapan dengan soal Pisikotes seketika api pun padam. Kini giliran otaku yang terbakar, dengan segala kesulitan yang ada akhirnya otakku meledak.

Tak terasa dua jam telah berlalu, akhirnya ujian telah usai. Ketika keluar dari ruangan, aku mulai berjalan seperti orang linglung. Seketika aku lupa dengan soal yang aku kerjakan sebelumnya. Setidaknya aku sudah berjuang, untuk sisanya diriku serahkan kepada yang diatas. Sebelum pulang, aku berencana untuk mengunjungi temanku Dimas. Sesampainya dirumah Dimas langsung menyambutku dengan hangat, lalu dia mempersilahkanku untuk masuk. Setelah masuk aku duduk di ruang tamu, lalu dimas membuatkanku susu hangat. Kulihat Dimas melihatku dengan wajah prihatin, sepertinya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Lalu dia pun bertanya.

"Kamu ada disini apa jangan-jangan..."

"Iyah gue udah keluar dari akademi" ujarku.

"Kenapa?"

Aku pun mulai meceritakan semuanya, dimulai dari awal masuk hingga insiden pemukulan yang menimpaku. Sepatah kata yang aku ucapkan penuh dengan perasaan, seolah-olah diriku membawanya langsung ke tempat kejadian. Kulihat ketika aku bercerita pertama kali, dia memperhatikanku dengan serius. Dia tak menyangka bahwa orang sepertiku bisa mengalami hal mengerikan. Disela cerita terkadang dia memujiku, sebab belum tentu dirinya dapat menjalaninya. Apalagi ketika perjuanganku ketika long march dari Banjar ke Pangandaran. Dimas pun bertanya.

"Terus apa planing elu selanjutnya?"

"Gue rencananya bakal kuliah"

"Dimana?"

"Tetap pada pilihan yang kemarin, kalau sekali lagi gue gak lulus SBMPTN rencananya mau masuk Universitas Sayuti Melik" ujarku.

"Ngambil fakuktas apa?"

"Bahasa Jepang dong" ujarku sambil menyombongkan diri.

"Anjay bahasa Jepang, padahal elu sewaktu disekolah, nilai bahasa Jepang elu paling Jelek" ledeknya.

"Biarin namanya juga belajar" ujarku.

Meskipun beda jurusan ia tahu segalanya tentang diriku. Sewaktu sekolah aku sering berkeluh-kesah kepadanya, dari masalah karir hingga percintaan. Sekarang giliranku untuk bertanya, aku bertanya mengenai kehidupannya dikampus. Namun dia berkata bahwa kehidupan awal dikampus terasa membosankan. Tetapi dia beruntung bisa sekelas dengan teman semasa SMP, sehingga ia tidak terlalu kesepian. Syukurlah sepertinya dia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Setelah itu kami mulai berbincang mengenai anime keluaran tahun ini. Awalnya diriku tidak tertarik, lama-lama aku mulai tertarik. Lalu aku meminta beberapa situs anime untuk dinikmati seorang diri. Tak terasa dua jam telah berlalu, sudah saatnya bagiku untuk pamit.

Sebelum pulang ia berpesan, agar diriku bisa beradaptasi di lingkungan yang baru. Dengan senang hati aku pun mengiyakannya. Sesampainya dirumah aku langsung memasuki kamar, lalu aku berbaring di atas kasur. Tanpa aku sadari aku pun tertidur, saat aku terbangun fajar pun telah tiba. Spontan aku pun terkejut, lalu aku pun keluar dari rumah, setelah itu melihat kesana kemari seperti orang linglung. Sungguh waktu yang terasa singkat bagiku, mungkin jika aku melakukannya sekali lagi diriku sepertinya tidak akan ada di dunia ini. Saat itu keluargaku sedang tertidur lelap. Kemudian aku langsung membuka warung, lalu aku mengecek segala persediaan disana. Selesai mengecek persediaan di toko, aku membuat secangkir kopi luwak. Kemudian aku meminumnya, sambil menikmati indahnya pagi.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C28
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank 200+ Macht-Rangliste
    Stone 0 Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen

    tip Kommentar absatzweise anzeigen

    Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

    Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

    ICH HAB ES