App herunterladen
0.33% Hold Me Tight ( boyslove) / Chapter 1: Hadiah yang tak diharapkan
Hold Me Tight ( boyslove) Hold Me Tight ( boyslove) original

Hold Me Tight ( boyslove)

Autor: Erina_Yufida

© WebNovel

Kapitel 1: Hadiah yang tak diharapkan

Dengan langkah panjang dan terburu-buru, Nathan berusaha mempersingkat waktu, ia tak ingin kedua orang tuanya menunggu terlalu lama. Tangan kanan yang menarik koper itupun terasa begitu basah, ia terlalu bahagia dan gugup di waktu bersamaan.

"Jangan terburu- buru, sayang! Aku jetlag."

Untuk sesaat Nathan lupa, ia memperpendek langkahnya dan mengelus tangan yang merangkulnya begitu erat. Terlihat wajah kekasihnya itu begitu pucat, Nathan jadi lebih cemas sekarang. Demi Tuhan... Ia bimbang, apakah keputusan untuk mempertemukan kekasih dan kedua orang tuanya adalah hal yang tepat?

"Kau jadi lebih pendiam akhir-akhir ini, ada apa?"

Pertanyaan itu kini begitu sangat sulit untuk dijawab. Kalau tidak karena masalah kepulangan dan bandara yang begitu ramai seperti ini, bisa saja Nathan langsung  menyeret tubuh mungil yang menatapnya dalam itu.

"Kau jangan menggoda ku, ini Indonesia bukan New York yang bebas," peringatnya sambil menyingkirkan tangan yang menyelus lembut bibir miliknya. Itu memang tak jadi masalah jika kekasihnya adalah seorang dengan tubuh sintal yang berpayudara besar dan bulat, tapi ini tidak! Kekasih Nathan memang cantik tapi juga seorang pria, sama sepertinya.

Ya, semua terjadi begitu saja, Nathan yang tak pernah sekalipun berpacaran seketika belok saat pria cantik dan mungil itu begitu gencar untuk menggodanya. Nathan tak tau, karena kakasihnya itu yang membelokkan orientasi seksualnya atau ia yang sudah berpotensi untuk belok.

"Kalau kita sekarang di New York pasti kau akan menggempurku habis-habisan meski itu di toilet umum, iya kan? Hah... Belum apa-apa aku sudah sangat terangsang.... Mengingat terakhir kali kau melakukannya, itu bahkan sudah begitu lama, atau kita cari hotel terdekat saja, bagaimana?" Ocehan itu tak begitu merasuk dalam telinga pria yang sibuk dengan bawaan kopernya itu, Nathan mengabaikan kekasihnya. Jangankan memikirkan untuk menyatukan tubuh dalam percintaan panas, sekedar bernapas tenang saja kali ini sangat sulit untuk dilakukan. Nathan cemas bukan main.

"Daritadi kau begitu asik mengoceh dan aku seperti ingin mati saja. Bagaimana jika orangtuaku malah menghajar ku habis-habisan jika tau aku jadi seperti ini?" tanya Nathan dengan rahangnya yang semakin mengetat. Emosi Nathan yang tak stabil membuat kekasihnya itu menjadi sasaran kemarahannya

Pandangan pria dengan tubuh mungilnya itu seketika saja menyendu. Bibir merah segarnya mencebik dan kepalanya yang kemudian di palingkan. Lengan kecilnya bahkan sudah terlepas dari kedekatannya dengan sang kekasih. Nathan bertambah beban pikiran. Memikirkan banyak kemungkinan dari tindakan yang akan di lakukannya.

Sudah di putuskan, Nathan harus mengambil langkah antisipasi untuk menyelamatkan hidupnya yang baru saja kembali.

... Baby... Kau sayang dengan ku kan?" tanya Nathan yang kali ini merangkul bahu ringkih kekasihnya. Anggukan ragu itu sedikit membuat Nathan menarik nafas lega.

"Aku seperti punya firasat yang tak enak," balasan dari kekasihnya itu membuat Nathan meringis. Tapi mau bagaimana lagi? Rencana dadakannya harus dilaksanakan karena hanya langkah itulah yang tepat.

"Mengakulah jadi temanku, aku janji untuk kali ini saja," mohon Nathan sambil melirik ke sekitar dan merekalah tujuan pandangan mencemooh itu. Bagaimana ada dua orang pria begitu menempel erat dan mereka pasti sudah mencap dirinya gay.

"What! Kau pacarku, kalau kali ini aku tak mengaku terus bagaimana kelanjutannya? Apa mereka akan terus menganggapku temanmu?" protes kekasih kecilnya itu lantas menyingkirkan dekapan dari lengan Nathan. Langkahnya mundur untuk memberi jarak. Keduanya sama-sama emosi karena perkara kepulangan mereka dari kebebasan bersama sebelumnya.

"Ya... Dan jika aku mengaku sekarang, aku akan langsung jadi anak gelandangan," ucap Nathan memelas dan mempercepat langkah kakinya menjauh, ia begitu jengkel. Kekasihnya sama sekali tak pengertian.

Nathan meninggalkan kekasihnya di belakang dengan raut mencerung dan hentakan kakinya karena kesal.

"Nathaniel Adikusuma.... Welcome home!" sebuah suara berat berhasil membuat Nathan sesaat memaku. Senyumnya langsung melebar dan langkahnya secara otomatis bergerak dan menerjang sosok paruh baya yang begitu ia hormati.

"Sudah lama paman tak mendengar kabarmu, dan aku cukup terharu kau bahkan masih mengenalku," ucap pria paruh baya itu. Lengannya yang keriput lantas menepuk-nepuk punggung pria yang ada dalam dekapannya. Sekian lama tak bertemu, mereka saling merindu.

"Kau jangan bercanda, bagaimana aku bisa melupakan sosok yang sudah ku anggap ayah ku sendiri ini," ucap Nathan yang kemudian baru melepaskan rangkulannya. Mereka saling balas senyum lebar dengan pandangan yang meneliti intens dari ujung kepala sampai kaki. Tak sedikit pun ada perubahan, keduanya beranggapan sama.

"Ngomong-ngomong, mama dan papaku mana?" Tanya Nathan setelah tak menjumpai sosok orang yang paling dirindukannya itu. Kepala bahkan sampai celingukan menyasar arah depannya jauh. Orang-orang memang banyak melintas di pandangnya, namun seorang pun tak ada yang di cari, semua orang asing.

Sedikit kecewa, Nathan pun tak bisa menyembunyikan rautnya. Kepalanya tertunduk dengan senyum miris.

"Apa aku masih kurang disini?! Heheh... Mereka baru saja pergi untuk urusan bisnis," jawaban itu harusnya membuatnya lega, tapi kenapa Nathan justru merasa semakin terabaikan oleh keluarganya sendiri.

"Kenapa kau diam? Ayolah... Dari dulu mereka memang begitu, kau bahkan mengabaikan temanmu," hibur Pak Hardi, seorang supir yang sudah mengabdi di keluarga Adikusuma selama bertahun-tahun itu. Lengannya pun menepuk bahu gagah Nathan untuk memberi kekuatan.

Kekasih pria Nathan yang sudah berdiri tak jauh dari acara pelukan rindu dua pria berbeda generasi itu. Pak Hardi pun memberi senyum sopan untuk orang baru.

"Oh dia... Rian Fahreza dia sahabatku," ucap Nathan seperti yang di rencanakan mulai awal. Mengambil resiko yang berdampak minim.

             

Setelah Nathan memperkenalkan Rian sebagai sahabatnya, sejak saat itu juga kekasih Nathan seperti hilang ditelan bumi. Meskipun bukan hal biasa, karena sejujurnya hal itu cukup sering terjadi saat mereka menempuh pendidikan di New York. Mereka akan saling menjauh dan bahkan memblokir nomor ponsel satu sama lain. Namun keadaan tegang itu tak selalu memakan waktu lama, hubungan mereka akan langsung baik-baik saja jika tubuh mereka saling bernafsu satu sama lain. Mereka akan gila-gilaan sampai ambang batas, seharian penuh.

Satu minggu tanpa komunikasi, tapi kenapa Nathan sama sekali tak merasa rindu? Nathan yakin kalau dirinya masih begitu bernafsu andai kekasihnya itu datang dan membelai benda perkasanya yang sensitif.

"Nathan! Apakah kau masih disini?" sentak suara seseorang yang langsung saja mengejutkan Nathan. Lengannya yang menumpu kepala kemudian terlepas, pandangannya menatap lurus seseorang yang datang mengganggu dengan begitu dingin.

           

"Kau mengagetiku saja Tom, ada apa?" tanya Nathan sambil membuka lembar berkas yang ada di meja kerjanya itu. Ya, kesepakatan Nathan dengan orangtuanya sejak awal, kebebasan pria itu berakhir saat pendidikannya terselesaikan dengan baik, bekerja dan membantu di kantor yang di didirikan oleh papanya.

"Kenapa tiba-tiba kau sok sibuk seperti itu? Kalau masih mau bengong, bengong saja!" Ledekan itu membuat Nathan menipiskan bibir. Pandangannya yang semula menunduk pun menyasar pria tak sopan yang sudah mendudukkan diri di kursi mahal seberang Nathan.

"Kau tau kalau aku akan jadi atasanmu, kan?" pertanyaan itu nampaknya begitu berpengaruh, hingga membuat teman semasa SMA nya itu diam seribu bahasa. Pria yang memasuki ruangannya tanpa permisi dengan lagak yang seenaknya pun seketika berganti raut, pria yang berdandan dengan setelan kemeja rapi dan kartu tanda pengenal di lehernya itu pun meringis tak sungkan. Nathan malah ingin terbahak-bahak sekarang.

"Baiklah... Maafkan aku calon CEO," balas Tommy tak ikhlas. Tommy, nama kawan Nathan dengan sifatnya yang banyak negatif.

"Hahahh.... Kau wajah yang tak pantas untuk pura-pura memelas seperti itu, jadi ada perlu apa?" ucap Nathan mengakhiri basa-basi, banyak hal yang harus di kerjakannya. Nathan terlalu banyak mengambil waktu untuk melamun, tadi.

"Rencananya Aki, Galang, dan Ilham akan ke klub malam penyambutan dirimu," terang Tommy sambil berapi-api. Ia memang begitu menyukai suasana di klub malam, dengan wanita seksi tentunya. Tak bisa di tutupi raut pria itu yang berubah cabul dengan kelopak matanya yang menyipit, Tommy pasti membayangkan seorang wanita telanjang yang datang padanya dengan tubuh melenggok-lenggok bermaksud menggoda.

Nathan pun menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kawannya itu yang terlihat sedikit pun tak berubah dari dulu.

"Kenapa telat sekali, aku bahkan sudah satu minggu lebih disini, bilang saja kalau kalian rindu belaian jalang!"

"Tuh tau!"

Sindiran Nathan rupanya malah di angguki Tommy tanpa tau malu.

Ah, sebenarnya ide bagus juga sesekali melepas penat dengan suasana meriah di klub malam. Lagipula rumah terasa begitu sepi, orangtua Nathan masih belum ada kabar kapan akan kembali. Sedangkan Rian.... Lupakan! Pasti dalam beberapa hari lagi kekasih Nathan itu akan merengek dengan akhir yang bisa ditebak, bercinta penuh dengan nafsu.

Dengan bantuan pencarian lokasi di ponsel pintarnya, akhirnya malam larut itu Nathan sampai juga di tempat yang dituju, Heaven Club. Meninggalkan mobil mewahnya, ia perlahan memasuki tempat itu. Bukan pertama kali, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun ia tak mengunjungi tempat seperti ini dengan melenggangkan kaki secara bebas, karena Rian yang terbiasa menggandeng lengan pria itu tentunya.

Menajamkan pandangannya ke tempat yang penuh dengan lautan manusia berekspresi gila-gilaan. Penerangan yang sangat minim dengan lampu kemerlap warna-warni membuat pria itu sempat kebingungan untuk melangkah. Sampai beberapa waktu berlalu, Nathan akhirnya berhasil juga menemukan kawan-kawannya melambaikan tangan.

"Sudah ku tebak, pasti tak hanya kita berlima saja," sindir Nathan sambil menepuk keras belakang kepala Tommy yang masih saja berkonsentrasi untuk menghabisi wanita di pangkuannya itu. Hanya Tommy, sedangkan Aki, Galang, dan Ilham bertaruh siapa yang paling kuat minum. Di sebuah meja yang penuh dengan minuman yang tersaji, sofa panjang yang empuk itu terlihat nyaman, Nathan pun akhirnya mendudukkan diri.

"Hai, kawan! Aku Galang kalau-kalau kau lupa," ucap pria yang ada di samping Nathan sambil merangkul tubuhnya itu.

"Mana mungkinlah aku lupa, walau begini aku kawan yang setia, tau!" balas Nathan, tangannya menerima gelas kecil minuman itu dan meminumnya sekali teguk. Tak lupa sebelumnya pun Nathan menyalami kawan-kawannya yang di rindukan itu. Terkecuali Tommy, Nathan sudah sangat muak untuk terus bertemu di lingkup kerja.

"Percaya, sih! Dari dulu kau memang yang paling setia. Aku jadi ingat waktu SMA, Nathan yang awalnya pendiam jadi bisa membuat rusuh saat kawan-kawannya hampir saja kalah dalam pertempuran antar sekolah. Waktu itu sangat seru meskipun menegangkan, terlebih saat Pak Hardi dan para bodyguard ikut bantu pukul mundur lawan," celetuk Aki yang membuat yang lain membayangkan kilas balik masa-masa SMA.

"Hem... Meski setelahnya kita harus menahan rindu saat Nathan di karantina oleh orangtuanya. Haha..." lanjut Ilham membuat semua terbahak-bahak.

"Ya... Itu masa remaja yang memang kita harus patuh pada orang tua kalau masih mau makan. Sekarang kan kita sudah dewasa, jadi hidup harusnya dibawa nikmat saja kan? Hem... Karena ini malam penyambutan untuk mu, kita sudah menyiapkan adiah spesial untuk mu, Nath!" ucap Tommy yang masih sibuk membelai wanita di pangkuannya itu.

Tommy mengangkat tangan dan terkekeh kecil. Yang lain pun malah semakin rusuh saat sesosok wanita dengan gaun super minim mendekat kearah Nathan. Apa ini!

"Hai... Nathan kan?"

Suara wanita yang sudah berdiri di samping Nathan itu, pria yang di beri perayaan sambutan itu malah berubah pias. Belum cukup itu saja, wanita dengan pakaian super minim itu bahkan sudah mengangkangkan kakinya dan mendudukkan diri di pangkuan Nathan.

"Hahah... Itu hadiahnya, dia paling hot disini."

Semua kawannya pun bersorak girang, sedangkan Nathan tak tau harus melakukan apa, jujur saja ia masih belum siap kalau mereka curiga tentang orientasi seksualnya, ia belum siap dibuang.

Lidah panas wanita itu bahkan sudah menggodanya. Menjilat bibir luarnya dengan tangan yang mulai meraba kejantanan Nathan. Ini sangat gila!

"Sebentar-sebentar, apakah kita harus melakukannya disini?" cegah Nathan saat wanita itu makin meremas keras penisnya.

"Oh ayolah.... Ini klub malam siapa yang peduli dengan perbuatanmu? Kalau perlu ku beri contoh."

Nathan mendesis lirih. Tommy masih sama, orang yang tak tau malu. Bahkan kini Tommy dan wanitanya itu berciuman penuh nafsu, tangannya saja begitu brengsek dengan meremas kasar payudara yang hampir terlihat putingnya itu. Gila! Semua kawannya bahkan bersorak.

Dan inilah malam dimana ciuman yang tak diinginkannya itu terjadi. Ia pura-pura bernafsu dengan meremas gundukan besar di dada wanita itu. Rasanya begitu hambar, Nathan sudah dipastikan gay. Dan Rian, ia seperti melihat kekasihnya itu dari jarak yang cukup dekat dan menatapnya nanar.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C1
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen