App herunterladen
1.69% Teman Satu Kantor / Chapter 5: Part 5

Kapitel 5: Part 5

Alhamdulillah, semua di luar prasangka buruk Zalfa, ternyata mie ini tidak diberi cuka ataupun sesuatu yang akan membuatnya sakit perut, dia baru saja menghabiskan semua makanan itu.

"Zalfa!" Panggil seseorang dari luar kamar.

"Bentar, ada apa Wil?" tanya Zalfa ketika sudah membuka pintu, ternyata yang memanggilnya adalah tetangga kostnya yang bernama Wila.

"Ada yang nyari Lo, orangnya ada di teras," ucap Wila kemudian berlalu dari hadapan Zalfa. Apa mungkin Bang Delvis balik lagi?pikir Zalfa, lalu segera pergi keluar untuk menemui orang yang mencarinya. Zalfa heran, tumben sekali Wila si jutek itu, mau repot-repot disuruh orang.

"Figo!" Zalfa kaget, karena yang ada di hadapannya adalah Figo, manusia yang udah menyelamatkan malamnya yang mungkin akan kelaparan jika tidak terselamatkan oleh mie tektek dari Figo.

Figo tidak menjawab, melainkan memberikan sebungkus plastik berisi minuman untuk Zalfa.

"Ke sini buat nganterin beginian doang?" tanya Zalfa terharu, apa mungkin semua karena tamparan Zalfa, akhirnya Figo sadar bahwa Zalfa yang paling terbaik. Kalau begitu kenapa tidak dari dulu, atau mungkin Zalfa harus menampar Figo tiap hari biar selalu baik padanya? Zalfa bertanya-tanya.

"Kurirnya lupa, gak bawain minuman. Sekalian gue mau bilang makasih secara langsung dan-" ucapan Figo terpotong karena Zalfa langsung mengambil menuman tersebut dari tangannya.

"Gak usah bilang makasih, Zalfa kan udah janji akan selalu ada untuk Figo."

"Maka dari itu, gue minta untuk berhenti. Mau gue tidur di kantor, atap atau di manapun itu bukan urusan Kamu lagi. Selamat malam."

Jleb

Jadi ini bukan rasa terima kasih, tapi sogokan agar Zalfa jangan memperhatikan Figo lagi? Kenapa rasanya Zalfa ingin mengeluarkan Mie tektek yang ada di dalam perutnya ya.

Figo pergi tanpa menolah ke belakang, padahal Zalfa berharap Figo menoleh dan mengatakan dia bercanda tadi. Sampai di ujung jalan sekalipun, ketika Figo sudah melewati gang, lelaki itu tidak menoleh.

Dengan perasaan kesal, Zalfa masuk ke dalam kost. Dia menaruh minumn itu di meja kerjanya. Zalfa memilih untuk tidur, karena sudah malam dan dia sangat lelah.

Zalfa bangun lebih pagi, dia berniat untuk membuat sandwich, tidak hanya satu, dia membuat sekaligus 4, mana mungkin, dia tega melihat teman-temannya meneteskan air liur. Karena melihatnya makan. Sembari terus bernyanyi lagu kesukaannya. Zalfa menyelesaikannya dalam hitungan menit saja. Dia memang sudah ahli, hidup sendirian di kost. Membuatnya jadi manusia yang lebih kreatif. Seperti membuat mie dengan toping sosis. Kreatif bukan?

Dia mengambil tasnya, lalu berkaca sebentar, untuk merapihkan poninya. Kemudian keluar dan tidak lupa mengunci pintu. Dia menuruni anak tangga.

"Yakin mau berangkat kerja pakai sendal jepit?"

Zalfa berhenti, dia melihat kakinya, lalu menepuk jidatnya. Dia berbalik.

"Kurang keren ngagetinnya,"

"Gue tunggu tiga menit dari sekarang, kalau telat. Gue tinggal."

Lelaki itu, keluar lebih dulu, membuat Zalfa memutar bola matanya, lalu berlari menaiki tangga. Dia tidak pernah mendengar kalimat bercanda darinya. Jika A maka akan tetap A. Meskipun receh, Dewan adalah manusia yang disiplin.

Zalfa masuk ke dalam mobil lelaki itu. Dia bernafas seolah ingin mengambil semua oksigen yang ada di udara.

"Lari pagi, bagus untuk kesehatan." Dewan meledeknya.

"Jalan Pak!" Perintah itu, sukses membuat Dewan mengacak-acak poni Zalfa.

"Dewan! Poni ini tuh berharga banget tau."

"Untuk nutupin jerawat pasir yang ada di jidat ya?"

"Buat nyelamatin manusia dari sinar lampu taman! Udah tau nanya!" Zalfa berkaca di spion.

"Pemandangan yang buruk! Awas! Nanti kalau nabrak gimana?"

"Ya Allah, perasaan setiap berdoa, minta dijauhkan dari setan yang terkutuk. Ini kok masih ketinggalan."

"Baperan! Pakai sabuk pengamannya! Ini mobil mahal, kalau gak dipake sabuknya alarmnya gak akan berhenti bunyi."

"Bawel." Zalfa mengikuti ucapan Dewan. Sebenarnya aneh juga, hari ini dia tidak bilang minta dijemput siappun di grup WhatsApp. Mungkin semalam Dewan tidur lebih awal, jadi ketika bangun dia lebih waras.

"Ini kan kotak musik klasik."

"Mau? Ambil aja. Itu mau Gue buang." Zalfa menatap tajam Dewan.

"Kenapa sih Wan, kayaknya hidup Lu gak bisa menghargai sesuatu."

"Kata siapa? Sapu tangan yang kemarin mana? Mau gue simpen,"

Flashback on

Zalfa dengan isengnnya menggulung kertas, dan melemparkannya pada Dewan. Lelaki itu sedikit meringis, ketika gumpalan kertas itu justru mengenai pipinya yang baru saja perawatan. Hey! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Perawatan itu juga perlu, emang perempuan saja yang boleh terlihat sehat kulit wajahnya. Dia juga melakukan perawatan atas paksaan sepupunya. Yang ingin mendandaninya, siapa tau jika glowing banyak perempuan yang menyukainya. Belum tahu saja, sebenarnya Dewan jug banyak yang menyukai. Terutama ibu-ibu komplek. Yang sering melihatnya joging di sekitaran komplek. Selebihnya, dia lupa. Seberapa banyak orang yang menDMnya di Instagram. Jika dia sedang upload foto bersama Figo atau Delvis. Sampai sini paham bukan? Semua hanya tinggal menunggu waktu saja. Karena yang terbaik memang tidak bisa dimiliki semua orang. Ngeles aja terus sampe bulan Juni deketan sama Desember.

Dewan sudah memancarkan aura permusuhan. Dia mengambil kaca, dan melihat pipinya yang sedikit memerah. Zalfa mengatupkan tangannya, dia menggerakkan bibirnya yang bisa terbaca oleh Dewan adalah kata Maaf. Lelaki itu hanya memutar bola matanya, kemudian membuang kertas tersebut ke kantong sampah. Zalfa melotot. Dia menulis kembali, lalu melemparkan kertas tersebut. Kali ini, bukan pipi lagi, melainkan ke tangan Dewan yang sedang memegang pulpen. Dan kelakuan Zalfa sukses membuat tulisannya menjadi tercoret. Dewan memasang wajah beloonnya. Dia ingin sekali berteriak. Namun ada Delvis yang sangat konsentrasi pada pekerjaannya. Ini tidak mungkin terjadi, jika ia, habislah dia. Dia terpaksa melihat ke arah Zalfa lagi, dia melihat wanita itu, menggerakkan badannya bak pemain pantomim. Dia memperagakan untuk Dewan membuka gulungan kertas tersebut, dan membacanya. Setelah paham, Dewanpun melakukannya. Ternyata tulisan tersebut adalah perempuan itu, meminta tisu. Sayangnya, Tisu milik Dewan pun sedang habis. Melihat ke meja Figo pun sama. Dewan menggeleng-gelengkan kepalanya. Zalfa menepuk jidatnya. Tidak mungkin, dia menyumbat flunya dengan baju sendiri.

Dewan berjalan, dan memberikan sebuah sapu tangan. "Gak usah bilang makasih, bagi gue beli lagi satu sapu tangan gak buat jatuh miskin." Zalfa menerimanya dengan setengah hati. Dia kesal sekali, dengan mulut sombong lelaki itu. Tapi jika tidak ada, hidupnya sepi.

Flashback off

"Sapu tangan? Hehe sorry. Belum gue cuci."

"Nyesel udah kasih pinjem."

"Ya kan, lu bilang buat gue aja. Beli satu lagi sapu tangan gak akan buat jatuh miskin."

"Gue ralat, itu sapu tangan berharga."

"Masa iya, kok gak pernah liat lu pake sapu tangan itu."

"Mamah yang kasih, Gue mana mungkin pake sapu tangan itu untuk lap ingus ataupun keringet."

"Ya Allah. Kok gak bilang!" Air muka Zalfa berubah menjadi murung.

"Jangan baper! Pulang kerja cuci, terus besok pagi bawa ke kantor,"

"Emang bener ya, malaikat itu, gak selalu harus bersayap."


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C5
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen