App herunterladen
7.38% Beauty And The Beast : Kisah Cinta Dengan Suami Buruk Rupa / Chapter 31: Dia yang Selalu Ada

Kapitel 31: Dia yang Selalu Ada

Kemal melihat Intan pergi melewatinya, hatinya sedikit sakit.

Apakah Intan benar-benar punya pacar? Siapa orang itu? Apakah lebih baik dari dirinya?

Mata Kemal redup lalu dia segera bangkit dari tempat duduknya untuk pergi.

Sebelum pergi, Kemal melihat sekelilingnya. Semua orang yang dia lihat di perpustakaan itu langsung diam.

"Aku tidak ingin mendengar gosip ataupun fitnah. Jika tidak, jangan salahkan aku karena mengatakan hal buruk kepada orang itu."

Meskipun kata-kata Kemal itu jelas dan tidak ada ekspresi marah di wajahnya, tidak ada satu orang pun yang berani menyanggah kata-kata itu.

Intan keluar saat hujan turun deras.

Sebelum dia sempat mengeluarkan payung dari tasnya, bagian atas kepalanya ditutupi payung oleh seseorang.

Ketika Intan melihat ke belakang, orang itu adalah Kemal.

Intan sontak mundur, dia mencoba menjauhkan diri dari Kemal tapi dia lupa sedang berdiri di tepi tangga. Akhirnya Intan terjatuh dan merasa malu.

Untungnya, Kemal memiliki penglihatan yang cepat sehingga dia buru-buru membantu Intan berdiri.

"Hati-hati! Kenapa kamu selalu ceroboh? Benar-benar mengkhawatirkan."

Intan juga terkejut karena jatuh, dia menepuk dadanya agar lebih tenang. Intan membungkuk untuk berterima kasih kepada Kemal yang telah membantunya.

"Hari ini hujan, bawalah payungku ini. Tidak masalah bagi laki-laki kehujanan, tapi perempuan tidak boleh kehujanan nanti bisa masuk angin."

"Tidak perlu, aku juga membawa payung. Pacarku yang mengingatkanku membawa payung."

Intan tersenyum tipis, "Dia juga tahu aku ceroboh.". Dia sengaja menambahkan kalimat itu di akhir.

Sejak Intan mengetahui bahwa Kemal menyukainya, Intan tidak bisa lagi menerima bantuannya dengan mudah. Intan merasa bahwa sikap Kemal saat ini terlalu berlebihan.

Dulu, Intan mengira itu hanyalah sikap perhatian dari seorang senior kepada juniornya. Semua orang juga diberi perhatian seperti itu, bukan hanya Intan sendiri.

Sekarang, Intan merasa malu.

Kemal yang melihat ada jarak antara Intan dan dirinya kini, hatinya menjadi sakit. Tangan Kemal meremas pegangan payungnya.

Apakah dirinya yang harus disalahkan karena telah memaksa perasaannya?

Apakah Intan menyalahkannya karena terlalu berlebihan?

"Siapa dia? Bisakah kamu memberitahuku?"

"Tidak nyaman untuk mengatakannya sekarang, karena kami memiliki kondisi yang berbeda. Tidak baik untuk menyebarkan informasi yang belum pasti dan menduga-duga sesuatu yang buruk. Tapi yang pasti, dia sangat baik kepadaku. Percayalah."

"Aku melihat tugas-tugasmu, apakah dia yang mengajarkannya?"

Dengan kemampuan otak Intan yang pas-pasan, mustahil untuk memahami topik yang begitu mendalam. Barusan dia mengatakan bahwa pacarnya membantunya menemukan buku materi dasar, itu menunjukkan bahwa pacarnya memahami masalah keuangan dengan baik.

"Yah, dia sangat pintar."

Ketika Intan menyebut tentang Irwan, alisnya langsung naik dan matanya berbinar.

Setelah mendengar itu, Kemal tidak bisa membuka mulutnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia sudah tidak punya kesempatan dan hanya bisa menangisi rasa sakit hatinya.

"Jika kau bahagia, maka aku akan mendoakanmu, adik perempuan."

Kemal akhirnya putus asa, hanya itu yang bisa dia ucapkan.

Setelah Kemal mengatakan itu, Intan merasa lebih nyaman.

"Terima kasih senior, kalau begitu aku pergi dulu."

Intan membuka payungnya lalu menghilang di tengah hujan.

Kemal masih melihat kepergian Intan cukup lama, kemudian ponselnya berdering. Ada telepon masuk.

Itu ayahnya.

"Kemal, kapan kamu akan pulang untuk makan? Minggu ini?"

"Aku pulang minggu depan."

"Kapan calon istrimu akan kau bawa kemari?"

"Dia tidak menyukaiku, putramu gagal."

"Apa?" Adya berteriak, "Kejarlah!"

"Dia sudah pergi!"

"Mengapa kamu tidak bisa mendapatkannya? Jika dulu aku tidak mengejar ibumu, pasti ibumu akan lari dengan orang lain! Apakah benar kau anakku sendiri? Apakah kau mampu meneruskan generasi ayahmu?"

"Brengsek, apa kau meremehkanku? Kau hanya orang tua yang akan mati! Kau tidak bisa berbuat apa-apa ..."

Orang di seberang telepon terdiam, Kemal menutup telepon dengan senyum kecut.

Tampaknya Kemal benar-benar harus menyalahkan diri sendiri. Jika Kemal mengungkapkan perasaannya lebih awal, apakah hasilnya akan berbeda?

...

Cuaca minggu ini sering hujan, bahkan sebagian besar hujan badai yang deras.

Meskipun Irwan tidak berada di sisinya, Intan tidak pernah merasa bahwa Irwan jauh darinya.

Tampaknya Irwan benar-benar menyimpan cacing gelang di perut Intan. Irwan sebenarnya tahu apa yang Intan lakukan setiap hari, termasuk bekerja di bar.

Tetapi Irwan tidak banyak bicara. Dia hanya menyuruh Intan untuk tidak bekerja terlalu keras. Irwan membebaskan Intan melakukan segalanya sesuai dengan kesukaannya sendiri, tanpa harus mengubah apapun untuk orang lain.

Tapi faktanya,Irwan tidak tahu bahwa Intan bekerja sangat keras karena dia.

Di akhir pekan, semua teman sekamar Intan pulang ke rumah masing-masing.

Salsa baru saja magang belum lama ini, tetapi dia tidak menyangka kalau dia juga harus mengikuti pengawas ke cabang luar kota untuk memeriksa akun.

Untuk sementara waktu, hanya Intan yang tersisa di asrama.

Sebelum hari gelap dan mendung datang, Irwan mengirim pesan teks lalu menyuruh Intan untuk menyingkirkan semua pakaian di balkon.

Intan langsung ingat bahwa dia menggigil ketakutan hanya karena sepotong pakaian saat malam bada terakhir kali.

Ternyata Irwan ingat semuanya.

Intan bergegas mandi dan pergi tidur lebih awal.

Tidak lama kemudian, ada angin kencang di luar, lalu segera hujan deras menerpa jendela. Angin dan hujan yang menimpa jendela seperti membuat suara-suara aneh.

Meskipun asramanya Intan masih terang benderang, tetapi ruangnya sepi hingga membuat Intan tetap merasa sedikit takut.

Intan menyusut di tempat tidur, tiba-tiba dia terngiang semua jenis cerita hantu mulai muncul di benaknya.

"Sudah berakhir. Tidak perlu tidur malam ini, Buka matamu sampai subuh, Intan." Intan menyerah pada dirinya sendiri.

Kemudian saat itu juga, ada suara bergema yang berasal dari ruangan asrama yang sunyi, Intan semakin gemetar ketakutan.

Telepon berdering.

Apakah ini panggilan kematian?

Kata ini tiba-tiba muncul di otaknya, karena Intan benar-benar tidak bisa menyingkirkan pikiran-pikiran yang menakutkan dari kepalanya.

Tetapi ketika dia melihat bahwa nama peneleponnya adalah Irwan, Intan merasa lega lalu buru-buru menjawab.

"Irwan Wijaya ..."

Giginya gemetar dan suaranya lemah, seperti seorang anak kecil yang akan menangis.

Mendengar suara Intan seperti itu, Irwan tiba-tiba merasa terenyuh.

Irwan baru saja selesai menangani masalah bisnis, lalu segera menelepon Intan.

Di Jakarta sekarang sudah gelap dan hujan sangat deras saat malam hari. Bagaimana mungkin Intan sendirian di asrama?

"Aku di sini, jangan takut."

"Kamu ... kamu tidak ada di sisiku, tidak ada yang akan menemaniku tidur malam ini."

Intan berkata dengan sedih.

Ketika Irwan mendengar keluhan Intan, sudut mulutnya tersenyum lembut, "Jika kamu menggodaku seperti ini, aku akan memakanmu. Apakah tidak masalah aku makan daging mentah?"

"Hentikan, Irwan Wijaya. Jangan mengancamku."

Intan awalnya sangat ketakutan, tetapi ketika dia sudah mendengar suara Irwan, ketakutan Intan langsung berkurang.

"Apakah kamu akan selalu ada di sana?"

"Yah, meskipun kamu berada ribuan mil jauhnya, aku akan membiarkan kamu menghubungiku kapan saja. Bagus, tidurlah lagi."

Kata-kata Irwan sepertinya memiliki kekuatan magis. Intan tidak bisa menahan diri untuk tidak tenggelam dalam suaranya.

Intan bicara banyak hal dengan Irwan. Saat di tengah percakapan mereka, rasa kantuk Intan perlahan datang.

Intan tidak tahu kapan dia tertidur pulas. Irwan sudah tidak mendengar lagi suara Intan, tapi dia tidak menutup teleponnya. Irwan masih menunggu Intan, dia mendengarkan napas Intan yang teratur lewat telepon. Mendengarnya membuat hati Irwan hangat. Dia menyesuaikan ritme napasnya dengan napas Intan yang dia dengar, seolah dia merasakan Intan yang tidur dalam pelukannya.

"Tuan, ini kopi yang Anda pesan."

Sekretaris Hamdani membuat secangkir kopi lagi lalu membawanya kepada Irwan.

Irwan memintanya untuk berbicara dengan pelan lalu berkata, "Intan baru saja tertidur, jangan berisik. Rapat berikutnya akan ditunda dulu."

"Tapi Tuan,kamu belum istirahat dari tadi malam hingga sekarang. Kalau kamu menunggu lagi delapan atau sembilan jam, bagaimana tubuhmu bisa bertahan?"

"Bukankah kamu juga bertahan seperti ini sebelumnya? Tidak apa-apa."

Irwan berkata dengan ringan.

Sekretaris Hamdani menggeleng tak berdaya saat mendengar kata-kata itu, tuannya benar-benar jatuh cinta.

...

Intan tidur nyenyak kali ini. Dia tidur sampai jam 8 keesokan harinya.

Intan membuka matanya lalu ingat tadi malam dia langsung tertidur saat tengah berbicara dengan Irwan. Dia langsung melihat ponselnya, ternyata teleponnya masih dalam panggilan...


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C31
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen