App herunterladen
1.41% Broken White / Chapter 4: Mengaku Teman Dekat

Kapitel 4: Mengaku Teman Dekat

Kirana meminum sisa kopinya hingga habis setelah menutup rapat yang berjalan tak sampai 30 menit. Timnya juga terlihat kembali menikmati kopi gratisan dari Pak Bayu sambil mengobrol ringan.

Sudah diputuskan. Seorang reporter bernama Dinda ditugaskan untuk mengurus rencana wawancara khusus dengan GM Mandala Mall. Sore ini, kebetulan memang ada undangan Media Gathering sehingga terdapat kemungkinan Dinda bisa bertemu langsung dengan calon narasumber.

Oh, tentu saja Kirana masih bertahan dengan gengsinya. Jika bisa meminta orang lain untuk menghubungi Rendra, kenapa dia harus melakukannya sendiri?

"Eh, jadi selama seminggu aku nggak ngantor, ada gosip apa aja, nih?" Kirana mendadak ingat kalau sejak pagi dia sangat ingin bergosip dengan teman-teman sekantor.

"Ada satu yang paling heboh, Mbak. Baru semalam aku dengar ceritanya dari yang lain," Rio, salah satu reporter di timnya menyambut ajakan bergibah dari Kirana.

Mereka masih di ruang rapat, tapi agendanya jelas-jelas sudah berubah.

"Salah satu asisten redaksi di tim entertainment ada yang mau resign, tapi sebenarnya dia nggak mau mengundurkan diri. Dia abis nikah, kan? Nah, katanya suaminya maksa di rumah aja, nggak usah kerja," ungkap Rio.

"Males banget punya suami kayak gitu, kan?" sambung Dinda.

"Ya, tapi harusnya hal kayak begitu udah dibahas sebelum kawin, sih," balas Maudy, reporter lain di tim Kirana.

Selain tiga reporter, Kirana punya seorang asisten editor yang terkenal biang gosip banget, Mirza. Dia suka bikin Kirana emosi karena sering kurang beres pas kerja, tapi harus diakui Mirza adalah partner gibah terbaik di kantor.

"Kalau suaminya udah kaya mampus nggak masalah, sih. Ini denger-denger gajinya bahkan nggak lebih banyak dibanding pihak perempuan. Apaan coba maksudnya?"

Mirza mulai ikutan berkomentar. Julid banget, kan?

"Lagian apa salahnya perempuan yang sudah menikah tetep bekerja? Segala pakai alasan nggak mau istrinya kecapekan, jadi biar dia aja yang cari nafkah buat keluarga. Bekerja itu bukan cuma soal duit, ya. Perempuan juga butuh aktualisasi diri."

Semua orang di ruangan itu langsung merasa sepakat dengan omongan Mirza. Terbukti kompor banget, kan?

"Kalau Mbak Kirana gimana? Kalau misal setelah menikah diminta suami berhenti kerja, Mbak Kirana mau nggak?" tanya Mirza.

Pertanyaan itu terlalu mudah untuk Kirana. "Kalau suaminya kayak kamu begini, mending aku kerja lah. Realistis banget aku, tuh."

Jawaban Kirana membuat semua orang menertawakan Mirza. Bahkan, Mirza sendiri ikut tertawa meski dia sebenarnya baru saja dihina. Mirza tahu kalau Kirana memang suka seperti itu saat berbicara, jadi tidak perlu diambil hati.

"Beda cerita kalau suaminya kayak Birendra Wijaya, ya, Mbak. Nggak perlu cemas soal finansial kalau sama dia," celetuk Dinda.

Kirana sempat agak syok mendengar Dinda mendadak membawa nama Rendra dalam obrolan mereka.

Tak mau ada yang curiga, Kirana mencoba bersikap biasa saja dan menanggapi omongan Dinda dengan sangat santai.

"Tetap harus kerja, dong. Minimal jadi sosialita inspiratif biar bisa jadi narasumber kalian. Hahaha.…"

***

Rendra pada dasarnya bukan orang yang suka jadi pusat perhatian. Dia bahkan sebenarnya tidak suka jika mesti berdiri di atas panggung untuk sekedar menyampaikan kata sambutan dalam sebuah acara.

Alasannya? Hanya tidak suka. Begitulah biasanya jawaban Rendra jika ada seseorang yang bertanya tentang kecenderungannya itu.

Sayangnya, karena pekerjaannya sekarang, kadang dia memang mau tidak mau harus berada di posisi itu. Meski begitu, jelas tetap ada banyak momen di mana dia bisa meminta orang lain untuk menggantikannya.

Sore ini, misalnya. Pada akhirnya Rendra memang datang ke acara Media Gathering, tapi dia hanya diam mengamati dari kejauhan. Tentu saja ada Bobby yang selalu setia menemani.

Tak sampai 10 menit kemudian, Rendra ingin kembali ke ruangannya. Seperti yang dikatakan Bobby tadi pagi, ada beberapa dokumen yang mesti dia baca dan periksa setelah rapat mingguan. Rendra tidak mau membuat pekerjaannya menumpuk.

Namun, baru satu langkah berjalan, Bobby memberi isyarat agar bosnya berhenti. Rupanya, ada seorang perempuan yang berlari mendekat ke arah mereka. Melihat bagaimana perempuan itu datang dari area yang dijadikan lokasi Media Gathering di lower ground, Bobby cukup yakin jika dia adalah salah satu wartawan yang mereka undang.

Ketika akhirnya bisa berhadapan dengan Rendra, perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai reporter Solidnews bernama Dinda. Dengan bahasa yang cukup sopan, dia menjelaskan maksudnya menghampiri Rendra.

Rupanya, Dinda berharap bisa melakukan wawancara eksklusif dengan Rendra. Bobby langsung mendadak kasihan karena sudah pasti bosnya bakal menolak.

"Saya punya teman yang kerjaannya editor. Kalau nggak salah ingat, dia kerja di Solidnews juga," kata Rendra.

Bobby sepenuhnya yakin bahwa sang bos sedang mencoba beramah-tamah sebelum menolak permintaan si reporter secara halus. Namun, kalimat berikutnya membuat rasa ingin tahunya benar-benar terusik.

"Namanya Kirana. Mbak Dinda kenal?"

Begitu nama Kirana disebut, bukan hanya Bobby yang terlihat antusias. Dinda juga tampak bersemangat karena nama orang yang selama ini jadi panutannya di kantor disebut.

"Dia editor saya, Pak. Wawancara khusus yang saya jelaskan tadi, itu tugas dari Mbak Kirana juga, Pak," ungkap Dinda.

"Wah, kebetulan yang menarik, ya," balas Rendra. "Kalau dia yang kasih tugas ke Mbak Dinda, jelas saya nggak bisa menolak."

Dinda benar-benar senang mendengarnya. Apakah semua yang dia dengar selama ini hanya mitos? Mengapa dirinya bisa begitu mudah mendapatkan kalimat persetujuan dari GM Mandala Mall yang terkenal tak suka diekspos?

Di sisi lain, Bobby tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Apakah dia sedang bermimpi? Namun, sikap aneh Rendra benar-benar terasa nyata saat bos kebanggaannya itu mengatakan kalimat pamungkas berikutnya.

"Bob, tolong diatur waktunya, ya. Secepatnya aja. Kalau bisa besok atau lusa."

"Siap, Pak!"

Bobby jadi semakin penasaran dengan perempuan bernama Kirana. Orang seperti apa yang bisa membuat bosnya jadi aneh begini?

***

"Gimana? Gimana? Seriusan semudah itu?"

"Mungkin dulu pernah jadi narsumnya Mbak Kirana, ya. Mbak Kirana, kan, lumayan deket sama beberapa narsum dia dulu."

"Apaan? Sebelum di kantor ini, Mbak Kirana liputannya berita pemerintahan sama politik. Mana ada dia garap lifestyle kayak sekarang."

"Temen sekolah atau kuliah, mungkin?"

"Umur mereka beda 3-4 tahun kayaknya, deh. Kakak kelas atau kakak angkatan gitu kali, ya?"

"Atau, mereka pernah pacaran tapi putus?"

"Kalau lihat dari omongan dia yang seolah bilang gak bisa bantah Mbak Kirana, bisa jadi malah mereka masih pacaran. Pertanda bucin."

Timnya Kirana memang demen banget gosip. Begitu Dinda balik liputan dan bilang dapat cerita bagus, mereka langsung paham kalau itu adalah kode keras untuk membuka sesi gibah.

Untungnya, mereka masih sadar diri untuk tidak mengabaikan pekerjaan. Hanya saja, dengan semangat ingin segera bergosip, mereka berusaha secepat mungkin merampungkan pekerjaan.

Rio yang jam kerjanya sudah lewat, memilih tidak buru-buru pulang. Maudy langsung milih artikel-artikel unik dari media asing karena dia paling lancar bikin berita terjemahan. Dinda bahkan sudah mulai mengetik laporan liputan pakai ponselnya saat masih di Mandala Mall tadi.

Tak ingin pekerjaannya menumpuk dan berakhir kena omelan Kirana, Mirza juga segera mengedit beberapa artikel yang sudah masuk dan mengatur jadwal rilisnya.

"Pak Rendra lebih ganteng kalau dilihat dari deket. Senyumnya adem bener," kata Dinda.

"Besok bisa dibikin konten soal bos ganteng yang penampilannya kayak model, Din. Minta ijin buat ambil foto dari medsos dia. Mari kita viralkan ketampanan Bapak Birendra Wijaya," sambut Maudy.

Rio menanggapi, "Aku tadi cek medsos dia tapi digembok. Followers juga dia terbilang tipis, ya. Seribuan doang. Abis diviralin, harusnya bisa naik drastis, tuh."

"Ini Mbak Kirana kenapa masih sibuk kerja, sih? Buruan, klarifikasi, Mbak!"

Seruan Dinda menghentikan Kirana yang beberapa saat lalu masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia kemudian bergabung dengan timnya yang tengah asyik menggosipkan hubungan Kirana dengan Rendra di pojok ruang kerja mereka.

"Kalau Birendra WIjaya bilang kami teman, berarti itulah hubungan kami. Emangnya kalian nggak pernah punya teman yang kebetulan jadi orang penting atau selebritas gitu? Pasti ada, kan?" kata Kirana.

"Kalau Mbak Kirana temennya GM Mandala Mall, kenapa pakai minta Dinda bikin janji wawancara? Pasti lebih cepet kalau Mbak Kirana yang minta, kan?" Rio mewakili teman-temannya yang masih penasaran.

"Nanti kesannya jadi kurang profesional, dong. Iya, nggak?"

Kirana terlihat sangat santai menanggapi pertanyaan Rio. Namun, dia sadar jika jawabannya itu tidak diterima mentah-mentah oleh semua orang. Mereka jelas curiga ada sesuatu yang disembunyikan Kirana.

Menurut Kirana, sikap skeptis penting bagi orang yang bekerja di bidang jurnalistik seperti mereka. Itulah mengapa selama ini Kirana selalu menekankan kepada timnya untuk tidak mudah percaya pada apa yang mereka dengar dan saksikan. Semua hal layak dicurigai.

Kini, Kirana sedikit menyesal karena membuat timnya jadi mudah curiga terhadap apapun, termasuk dirinya sendiri.

"Kalian berharap apa, sih? Berharap aku sama dia ada hubungan spesial gitu? Terus mau ngapain kalau misalnya beneran ada sesuatu?"

Setelah mengatakannya, Kirana terdiam karena ponsel di tangannya bergetar. Seseorang menelepon dan dia mengernyit saat melihat nama orang itu di layar gawainya.

Rendra menelepon? Ini adalah pertama kali pria itu menghubunginya terlebih dahulu.

"Oke, namanya Mas Rendra."

Suara Mirza cukup mengagetkan Kirana. Sejak kapan Mirza ada di dekatnya hingga bisa membaca nama orang yang menelepon Kirana?

Memang pada dasarnya masih malas berbicara dengan Rendra, Kirana cepat-cepat menolak panggilan dari pria tersebut.

"Kenapa dimatiin, Mbak? Lagi berantem atau gimana?" tanya Mirza dengan nada menggoda.

"Oh, gitu cara Mbak Kirana manggil dia? Kayaknya akrab banget."

"Si cowok lebih tua, jadi sebenarnya wajar kalau manggilnya begitu. Eh, tapi tetap bisa menimbulkan pertanyaan, sih."

"Aku cuma penasaran kenapa Mbak Kirana nggak mau angkat teleponnya. Udah, gitu aja. Malu sama kita? Ngapain malu?"

Haruskah Kirana blak-blakan saja soal fakta bahwa dia dijodohkan dengan Rendra?


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C4
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen