App herunterladen
74.46% Objek 011 / Chapter 35: #Adiraja #032

Kapitel 35: #Adiraja #032

Mereka –Adiwangsa, Haidee, dan Mark telah sampai di tempat persembunyian mereka. Ketika Adiwangsa akan membuka pintu, ia menyadari pintu tidak terkunci, terlebih tidak tertutup rapat.

"Siapa yang tinggal di rumah?" tanya Adiwangsa melotot pada Mark.

"Hongli dan Carl. Kenapa?" Mark balik bertanya.

Adiwangsa menunjuk kondisi pintu yang tidak tertutup rapat. "Bukankah sudah kubilang pada kalian tutup pintunya dengan benar meski kalian ada di rumah." Adiwangsa mulai mengomel. "Kapan sih, kalian akan berhenti bersikap seenaknya? Apa kalian belum jera juga membuat masalah?"

Pintu dibuka. Hal pertama yang terlihat adalah Hongli yang terbaring di depan pintu. Ketika pintu dibuka lebar, Carl juga terbaring di dekat jalan turun ke ruang bawah. Di bagian lain, seorang pria duduk dengan nyaman.

Pria itu mengenakan kaus putih lengan panjang, celana jins, dan sepatu cats. Tubuhnya kurus dan tinggi. Rambutnya berponi dan pendek. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Tatapannya bersemangat, menandakan sifatnya yang ceria.

Mark yang akan bergerak maju untuk menyerang penyusup, ditahan oleh Adiwangsa dan Haidee secara bersamaan. Adiwangsa mengenal pria itu, sangat mengenalnya. Haidee hanya tahu dari data yang pernah dikumpulkannya, tidak pernah bertemu secara langsung. Meski seperti itu, Haidee bisa mengenalnya dengan sekali lihat karena wajahnya tampak seperti pinang dibelah dua dengan Adiwangsa.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Adiwangsa jelas terkejut.

"Kakak tidak merindukanku?" Adiraja tersenyum merekah, kemudian melirik ke arah Haidee. "Aku dengar kakak memilik adik baru. Aku sakit hati saat mendengarnya, karena bagiku tidak ada yang bisa menggantikan Kakak. Awalnya aku tidak percaya, jadi aku datang untuk memastikan secara langsung."

Haidee yang tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan. Ia duduk di sisi lain sofa tanpa suara. Adiwangsa tetap berdiri menatap adiknya, sementara Mark sibuk membangunkan Hongli dan Carl.

"Melihatnya sekarang ternyata itu benar," Adiraja melanjutkan. "Aku sangat ingat Kakak tidak menyukai kopi, tapi aku bisa mencium aromanya di ruangan ini."

"Dia masih tidak suka kopi, ruangannya ada di bawah. Periksa sendiri kalau tidak percaya." Meski tidak ingin ikut campur, Haidee tanpa sadar menyahut. "Jangan khawatir soal kakakmu, aku tidak akan merebutnya! Simpan saja dia untukmu."

"Terima kasih untuk tidak menginginkanku," ucap Adiwangsa. "Apa Ibu yang menyuruhmu datang?" Adiwangsa kembali berbicara pada adiknya.

Adiraja menghela napas malas. "Kak, aku sudah tua. Apa aku tidak bisa ke mana pun yang aku suka tanpa campur tangan Ibu?"

Adiwangsa menatap adiknya menyelidik, dari mata ke mata sampai ujung sepatu. Adiraja memang anak yang sangat suka bermain, jadi wajar jika ia ingin pergi ke tempat yang ingin ia kunjungi bahkan jika pun itu tanpa izin ibu. Haya saja, bagi Adiraja ibu adalah segalanya, apa pun yang ibu perintahkan Adiraja akan melakukannya tanpa bertanya.

"Baiklah, karena kedatanganku tidak diinginkan aku akan pergi." Adiraja beranjak. Sebelum meninggalkan ruangan ia mendekat ke arah Haidee, "Kita akan sering bertemu setelah ini," bisiknya dengan senyum licik.

Adiraja benar-benar pergi dan Adiwangsa hanya melihat tubuh adiknya menjauh hingga hilang di balik pintu.

"Apa benar dia adikmu? Kenapa aura kalian sangat berbeda?" Mark berdiri di samping Adiwangsa dan melihat pria bernama Adiraja itu pergi.

"Harusnya kamu berkata seperti itu setelah bertemu ibuku," jawab Adiwangsa.

Adiwangsa sudah sangat sering mendengar kalimat yang baru saja Mark katakan. Ia akui secara fisik ia lebih mirip ayah dibanding ibu. Mungkin dari bentuk mata dan bibir. Begitu pun dengan sikap. Ia lebih mirip ayah, dan Adiraja lebih mirip ibu.

"Aku akan pergi sebentar. Pastikan kalian tidak membuat masalah selama aku pergi!" Adiwangsa memperingatkan sembari berlari ke luar. Suaranya menjauh, tapi Mark dan Haidee masih bisa mendengarnya.

Adiwangsa berlari mengajar adiknya.

Seolah tahu kakaknya akan menyusul, Adiraja duduk di atas batu pembatas wilayah di pinggir jalan. Ia menunggu sembari menatap ke arah bangunan yang belum jadi. Begitu melihat kakaknya datang, Adiraja melambai dengan wajah berseri.

"Ayo, temani aku jalan-jalan!" Adiraja berjalan lebih dulu. Langkahnya terlihat riang, seperti anak kecil.

"Apa Ibu tahu kamu di sini?" Adiwangsa mengikuti langkah adiknya.

Adiraja menggeleng.

"Kapan kamu sampai? Kenapa kamu tidak memberi kabar jika mau datang? Sekarang tinggal di mana? Kalau masih belum ada tempat tinggal bisa tinggal di lantai bawah bersamaku."

Langkah Adiraja berhenti. Ia berbalik menatap kakaknya, keningnya berkerut dan ekspresinya jelas menandakan tidak suka. Kakaknya terus saja mengajukan pertanyaan seperti sedang menginterogasi seorang tersangka.

"Oke, oke." Adiwangsa mengangkat kedua tangannya. "Jawab salah satu saja."

"Tempat Kakak terlalu ramai, aku tidak suka. Aku juga tidak suka mereka." Adiraja berterus terang. "Kupikir Kakak juga tidak suka bersama banyak orang. Ternyata, setelah sekian lama jauh dari rumah, banyak dari diri Kakak yang berubah."

Adiwangsa tidak menanggapi. Hening. Mereka kembali melangkah. Sesekali kendaraan yang lewat mengisi keheningan. Tidak jauh lagi di depan sana, mereka akan melewati rel kereta api, kemudian menuju bagian kota yang lebih ramai.

"Aku ke sini karena ingin melihat Kakak," Adiraja berbicara lagi. "Tiga tahun lalu waktu Kakak pulang, aku senang sekali. Tapi Kakak hanya menginap sehari dan pagi-pagi sekali sudah pergi lagi, menghilang tanpa kabar. Jadi Ibu enak, punya banyak informan. Kalau ingin tahu kabar Kakak tinggal mengangkat telepon. Kalau aku, jika ingin tahu kabar Kakak harus mencarinya sendiri," keluhnya.

Adiwangsa tertunduk, merasa bersalah. Selama ini Adiwangsa tidak mungkin lupa kalau ia memiliki keluarga. Ia pun sering merindukan mereka, merindukan negaranya. Hanya saja, menghadapi kenyataan bahwa hanya dirinya sendiri yang berusaha keras mencari kebenaran mengenai ayah, membuatnya merasa tidak dipahami. Membuatnya merasa sendirian, kesepian.

Adiraja adalah orang yang paling dekat dengan Adiwangsa. Mereka menghabiskan waktu, saling merawat, saling berbagi, lebih banyak dari waktu yang dihabiskan bersama ibu. Adiwangsa menyayangi keluarganya melebihi apa pun. Di dunia ini hanya ibu dan Adiraja yang ia miliki.

Adiraja adalah orang yang paling dekat dengan Adiwangsa, meski seperti itu, Adiraja tetap menolak untuk mendukungnya mencari kebenaran. Terus berdiri di sisi ibu tanpa ragu.

Sejujurnya Adiwangsa ingin bisa seperti adiknya, ingin bisa berpura-pura dan tidak peduli. Adiwangsa pernah mencobanya, tapi ia tidak bisa. Tidak bisa tidak mempertanyakan apa yang terjadi pada ayah. Tidak bisa tidak peduli pada ayahnya.

"Ibu bahkan kesal mendengar Kakak beralasan kalau Ibu sakit dan harus pergi dalam waktu lama untuk menyamar menjadi Zen Adnan. Ibu menganggap Kakak menyumpahinya."

Adiwangsa tersenyum "Sepertinya aku tahu siapa mata-mata yang Ibu tempatkan," katanya menanggapi. "Untungnya aku sudah pindah dari tempat yang lama."

Adiwangsa mengingat alasan ia pindah dari tempat itu. Haidee membongkar tempat persembunyiannya pada Hana. Padahal ia menyukai tempat tinggal lamanya. Tempatnya strategis dan mudah mencari makanan enak. Karena sudah ketahuan oleh pihak lain, ia harus pindah. Bertahan untuk tetap tinggal akan menjadi masalah di lain hari.

Tanpa sadar Adiwangsa tersenyum saat mengenang masa-masa itu.

"Pernah tidak Kaka berpikir," langkah Adiraja berhenti lagi "Bahwa aku juga anak Ayah bukan hanya Kakak. Bahwa aku juga kehilangan sebesar Kakak kehilangan." Adiraja menatap kakaknya dengan ekspresi sedih, terluka.

Tentu saja Adiwangsa pernah memikirkannya. Itulah alasannya kenapa sampai sekarang ia tidak mengerti. Tidak tahu kenapa hanya ia sendiri yang berdiri di jalan ini, hanya ia sendiri yang mencari-cari.

"Jadi kenapa? Kenapa tidak melakukan apa yang kulakukan? Kenapa tidak mendukungku?"

Bukan berarti Adiwangsa berharap adiknya melewati jalan penuh bahaya seperti yang ia pilih. Adiwangsa hanya mengharapkan dukungan. Jika ada satu orang saja yang mendukungnya, ia tidak akan merasa sesendirian ini. Ia tidak mungkin merasa ada jurang pemisah tak kasatmata antara dirinya dan keluarganya.

"Bukankah Kakak sudah menjalani jalan Kakak sekian lama, apa Kakak tidak juga mengerti alasan Ibu melakukannya? Apa Kakak tetap tidak tahu alasan Ibu menutupi masalah itu?"

Kedua saudara itu saling bertukar pandangan. Mereka sama-sama ingin dimengerti, sama ingin dipahami. Bagi Adiwangsa, Adiraja selalu menempatkan posisi ibu di atas segalanya. Sementara dirinya, meski mereka sangat dekat, hanya berada di posisi ke sekian setelah hal yang lainnya. Adiraja selalu di sisi ibu, apa pun yang ibu lakukan dan siapa pun lawan ibu.

"Adiraja," Adiwangsa menatap adiknya dengan tatapan memohon, ekspresi kelelahan. "Bisa tidak sekali saja kamu berdiri di pihakku?"

"Aku selalu berdiri di pihak kalian berdua!" kata Adiraja tegas. "Aku membela Ibu hanya karena Ibu lebih masuk akal. Bukankah selama ini aku juga selalu membela Kakak? Aku tidak sekali pun pernah meninggalkan Kakak, Kakak yang meninggalkanku."

Keputusan Adiwangsa menjadi mata-mata, Adiraja adalah orang pertama dan satu-satunya yang menentang. Ia sama sekali tidak setuju, tidak ingin Kakaknya pergi. Meski tidak ingin, Adiwangsa sama sekali tidak memikirkan perasaan adiknya, tidak pernah sekalipun mendengar nasihatnya. Adiwangsa selalu memandang adiknya sebagai anak-anak, tidak tahu apa-apa. Bahkan sampai sekarang.

Mereka masih berdiri di tepi jalan. Hanya beberapa langkah lagi jika terus berjalan, mereka akan melewati rel kereta api. Suara tit, tit yang terdengar adalah pertanda bahwa kereta akan segera lewat. Suara tit, tit yang semakin cepat menandakan kereta semakin mendekat dan palang jalan ditutup.

"Aku akan selalu di pihak Kakak. Aku akan..." Adiraja tersenyum.

Adiwangsa tidak bisa mendengar suara adiknya karena tenggelam oleh suara kereta yang lewat. Ia tidak bisa mendengar kelanjutan kata-katanya, hanya membaca gerak bibirnya.

"Sekarang ayo kita bermain di Time Zone sepuasnya." Adiraja kembali pada sosoknya yang ceria. Ia sudah cukup mengatakan semua yang ada di hati dan kepalanya.

Tidak alasan untuk menolak, Adiwangsa pun mengangguk setuju.

Di Time Zone mereka bermain dengan heboh. Berjingkrak-jingkrak, berteriak, dan begitu antusias. Mereka bahkan sampai berebut dengan seorang anak kecil sampai anak itu menangis. Adiwangsa dan Adiraja tidak peduli, mereka bermain sepuasnya, beronta-ganti permainan, memainkan semuanya meski tidak cocok dengan usia mereka. Orang-orang yang melihat menatap dengan pandangan aneh sekaligus kasihan.

Belum cukup bermain di Time Zone mereka beralih ke Game Center. Sama seperti di tempat sebelumnya, mereka juga beriman dengan heboh dan antusias. Seolah tidak ada lagi hari esok. Seolah setelah hari ini semua permainan akan lenyap dari Bumi. Seolah hari ini adalah hari terakhir mereka.

Meski dipandang dengan tatapan aneh, meski terdengar bisik-bisik tidak suka, merasa terganggu dengan kegaduhan yang mereka perbuat, Adiwangsa dan Adiraja tetap bermain dengan berisik. Mereka bermain untuk menyenangkan diri sendiri, bukan menyenangkan orang lain. Sesekali bersikap seenaknya seperti tidak apa-apa. Sesekali bersikap mencolok sepertinya tidak masalah.

Ketika berpikir seperti itu, Adiwangsa melihat seorang pria dengan penampilan yang sama dengan yang dilihatnya saat di Time Zone. Adiwangsa berpura-pura melihat-lihat ke arah lain untuk memastikan orang yang dilihatnya adalah orang yang sama.

"Ada yang mengikuti kita," Adiwangsa berbisik pada adiknya. Saat ini mereka sedang bermain balap motor.

"Yang bertopi bulat?" Adiraja melirik melalui ekor matanya, Adiwangsa mengangguk. "Sepertinya harus sampai di sini." Adiraja menyayangkan. Padahal masih ada permainan yang belum ia mainkan.

"Kamu yakin bisa mengatasi yang ini? Atau mau kembali bersamaku?"

Adiraja tertawa. "Kakak masih saja menganggapku sebagai anak kecil. Kakak pikir Kakak satu-satunya jagoan dalam cerita ini? Tenang saja, aku juga profesional." Adiraja memukul dadanya.

Benar, Adiwangsa nyaris lupa. "Ya sudah kalau begitu," katanya percaya. "Ingat untuk tetap menghubungiku. Kalau ada apa-apa kamu tahu harus mencariku ke mana. Hati-hati, jangan bertindak seenaknya di Negara orang!" Adiwangsa berlalu lebih dulu.

Adiraja sangat hafal kebiasaan mengomel kakaknya, jadi ia hanya mengangguk. Adiraja sendiri masih tinggal sedikit lebih lama, kemudian ia pergi ke arah yang berbeda dengan arah kakaknya pergi.

Adiraja adalah seorang petugas keamanan Negara yang ditempatkan di tim elite. Para petugas lain yang ditempatkan di tim itu adalah penembak terbaik, negosiator terbaik, penyelidik terbaik, penjinak bom terbaik, peretas terbaik, penyusun taktik terbaik, dan petarung terbaik.

Sebelumnya Adiraja adalah seorang penyelidik. Dengan cepat ia ditarik untuk masuk ke tim elite karena kemampuannya yang mengesankan. Di tim elite, keterampilan dan kemampuannya semakin berkembang dengan pesat. Adiraja adalah penyelidik sekaligus penembak terbaik.

Dalam berpikir Adiraja genius, dalam bergerak ia cepat. Melihat latar belakang keluarganya, tidak ada yang heran. Ibunya adalah seorang petinggi di Badan Inteligen, sementara kakaknya adalah seorang mata-mata yang kemampuannya tidak lagi perlu diragukan. Adiraja memiliki gen yang bagus seperti kakaknya.

Begitu sampai di rumah setelah berhasil mengecoh orang yang membuntutinya, Adiwangsa melakukan panggilan video call dengan ibunya. Sebelum melakukan panggilan, ia menyembunyikan alamat IP-nya lebih dulu kemudian mengaktifkan aplikasi anti penyadapan.

Meski orang yang akan ia hubungi adalah ibunya, Adiwangsa tetap berhati-hati. Pertama, tentu saja ia tidak ingin ibunya tahu di mana lokasinya berada. Kedua, ia harus tetap waspada barangkali ada orang berbahaya di sekitarnya. Terlebih karena ia tidak lagi tinggal seorang diri.

"Bagus, ternyata Ibu telah melahirkan anak-anak pembangkang!"

Ratu Khalisa langsung mengomel begitu mengangkat panggilan dari Adiwangsa. Sekarang Adiwangsa yakin dari mana ia memiliki bakat mengomel. Paling tidak ada bagian dari dirinya yang mirip dengan ibu dan itu membuatnya tidak terlalu kecewa. Selama ini Adiwangsa sempat curiga kalau-kalau ia bukan anak kandung ibu.

"Sekarang bukan hanya kamu yang mengacau, adikmu juga ikut mengacau. Kamu tahu betapa sulitnya posisi Ibu saat ini di kantor? Kalau sampai Ibu dipecat bagaimana?" Mode Ratu Khalisa berubah dengan cepat menjadi mode curhat.

Bukannya bersimpati dengan situasi ibunya, Adiwangsa justru tertawa. "Ibu jangan khawatir. Ibu bisa dengan tenang pensiun lebih cepat. Kami, anak-anak Ibu, pasti akan memberi makan Ibu dengan layak." Terdengar Ratu Khalisa mengumpat. "Jadi benar bukan Ibu yang mengutus Raja ke sini?"

"Menurutmu, apa Ibu akan menyuruhnya mengundurkan diri dari tim elite hanya untuk keluyuran tidak jelas dan mencarimu?"

"Raja mengundurkan diri dari tim elite?!" Adiwangsa syok mendengarnya.

"Ibu tidak bisa bicara banyak karena akan ada rapat. Pokoknya suruh Raja menghubungi Ibu saat kamu bertemu anak itu. Secepatnya!"

Panggilan diputus.

###


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C35
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen