App herunterladen
70.21% Objek 011 / Chapter 33: #Bunuh_Diri #030

Kapitel 33: #Bunuh_Diri #030

Adiwangsa pulang saat waktu menunjukkan hampir pukul 10 pagi. Sebenarnya Adiwangsa masih tidak ingin pulang, tapi kaki mengantarkannya ke bangunan terbengkalai yang tidak lagi dilanjutkan pembangunannya.

Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa harus Adiwangsa yang pergi. Tempat itu adalah tempat persembunyiannya jadi orang yang seharusnya pergi bukan dia. Jika sampai musuh-musuhnya tahu di mana tempat persembunyiannya, Adiwangsa berjanji akan menuntut ganti rugi pada keempat orang itu.

Adiwangsa masuk ke dalam ruangan, ia melihat Hongli dan Carl tidur di sofa. Ia melangkah pelan dan teramat hati-hati. Mirip maling di tempat tinggalnya sendiri. Adiwangsa tidak ingin membuat siapa pun terbangun dan melihat mereka kembali bertingkah.

Ketika akan menarik tuas untuk membuka pintu ke ruang bawah, Adiwangsa mendengar suara napas yang terengah. Samar. Ia menjauhkan tangannya dari tuas dan fokus mendengarkan.

Merasa penasaran, Adiwangsa mencari sumber suara. Ia mulai melangkah, masuk ke dapur, dan melihat kaki seseorang di lantai. Semakin Adiwangsa mendekat, semakin dekat, semakin ia dapat melihat kalau pemilik kaki adalah Mark.

Merasa panik, Adiwangsa mulai memeriksa. Masih bernapas, denyut nadi normal, tidak memar, juga tidak ada luka. Adiwangsa semakin yakin tidak ada masalah setelah mendengar Mark mendengkur.

"Bisa-bisanya tidur di dapur." Adiwangsa menggeleng, kemudian memperhatikan pria itu sekali lagi.

Mungkin diam-diam Mark memiliki kecenderungan lain seperti, hanya bisa tidur jika berada di dapur, atau hanya bisa tidur di lantai dengan punggung bersandar pada meja dapur. Yang mana pun terserah. Adiwangsa tidak berniat mencari tahu kecenderungan aneh orang lain.

Adiwangsa melanjutkan langkahnya. Ia melihat pintu kamar mandi terbuka dan Haidee ada di sana. Tubuh bagian atas Haidee telanjang dan ia berdiri membelakangi pintu.

"Apa yang kamu lakukan?!" seru Adiwangsa membuat Mark tersentak kaget. Hongli yang ada di ruang depan jatuh dari sofa.

Haidee sedang melukai tubuhnya sendiri ketika Adiwangsa datang. Ada belati di tangannya, yang baru ia gunakan untuk menyayat lengan kiri bagian atas. Luka di lengannya sepanjang lima senti, dengan kedalaman kurang dari setengah senti.

Adiwangsa memukul lengan Haidee hingga belati yang masih ia pegang jatuh ke lantai. Luka Haidee mengeluarkan darah. Jika diperhatikan lagi, ada banyak bekas luka sejenis di tubuh Haidee. Beberapa bahkan meninggalkan bekas berupa koreng.

Mark dan Hongli yang telah terjaga berkumpul di depan pintu kamar mandi. Mereka sama-sama terkejut, sama-sama tidak mengerti bagaimana Haidee bisa memiliki bekas luka sebanyak itu. Bahkan Mark yang sebelumnya adalah petarung liar di sebuah sasana ilegal saja tidak memiliki bekas luka sebanyak itu.

Semua orang menatap Haidee tidak mengerti. Haidee yang merasa risih, mengambil kausnya, kemudian mengenakannya. Ia berencana pergi tapi Adiwangsa menahannya.

"Salah satu dari kalian, pergi ke lantai bawah dan ambil kotak obat di rak buku!" Adiwangsa berkata kepada orang yang berdiri di depan pintu, setelah memeriksa luka Haidee.

Mark dan Hongli saling bertukar pandangan. Hongli kemudian menjadi orang yang berinisiatif untuk pergi mengambil obat.

Selagi Hongli mengambil kotak obat, Adiwangsa menyeret Haidee ke ruang depan. Ia dan Mark berdiri di depan Haidee dan memandanginya, menunggu penjelasan.

"Apa?" tanya Haidee berpura-pura tidak mengerti.

"Kami butuh penjelasan." Adiwangsa melipat tangannya di depan dada. Ia sama sekali tidak menyangka setelah tiga tahun tidak bertemu, kecenderungan Haidee lebih mengerikan dari Mark yang tukang tidur di dapur.

"Kenapa aku harus menjelaskan," Haidee berkata tak acuh.

"Karena kita tim," Mark menyahut. "Kami di sini bekerja keras untuk mewujudkan rencana-rencanamu. Bagaimana kalau sebelum semuanya selesai tiba-tiba kamu mati karena kehabisan darah atau terkena infeksi?"

Haidee hanya tertawa mendengar kata-kata Mark, sementara Adiwangsa menatap dengan ekspresi bisa-bisanya-cara-berpikirmu-sedangkal-itu, sembari mengerutkan keningnya.

"Pokoknya," Mark menegaskan "Aku tidak ingin kerja kerasku sia-sia yang berhenti di tengah jalan."

Haidee masih hanya tertawa, tapi begitu melihat Adiwangsa melotot ke arahnya dengan mengerikan, ia menghela napas.

Hongli datang dengan kotak obat ditangannya. Adiwangsa berencana mengambil alih, tapi Hongli berencana mengobati Haidee sendiri. Ia melewati Adiwangsa dan duduk di samping Haidee. Hanya mengoleskan obat dan menempelkan plester, ia juga bisa.

"Efek samping penelitian." Carl yang entah sejak kapan bangun memberikan jawaban yang tidak kunjung Haidee katakan. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersandar, kemudian menguap lebar-lebar. Tampaknya keributan yang terjadi pagi ini telah memotong terlalu banyak waktu tidurnya.

Sebelumnya Haidee adalah fokus utama. Ketika akhirnya Carl berbicara, ia spontan menjadi fokus semua orang. Carl bersandar dengan malas pada punggung sofa. Setengah tubuhnya dibiarkan merosot.

"Kamu tahu dan hanya membiarkannya saja?!" Mark mencecar.

"Haidee bilang, dia bisa gila jika tidak melakukannya. Kalau kamu, menjadi gila dan menghadapi kematian, yang mana yang lebih menakutkan?" Nada bicara Carl terdengar dingin. Mata yang sebelumnya terlihat mengantuk menatap tajam. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa marah.

"Kamu tidak menjalani pengobatanmu?" Adiwangsa kembali bersuara.

Haidee menghela napas lagi. Ia tidak suka ditanya-tanya dan lebih tidak suka saat harus menjelaskan. Ia tidak perlu dimengerti, lebih tidak butuh dikasihani.

"N Island memiliki mata-mata hampir di semua Negara, karena itu Haidee tidak bisa terlalu lama mendiami satu negara." Carl menjawab lagi. Semua mata kembali mengarah padanya.

"Ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk menyembuhkan penyakitku. Melawan rasa sakit dengan rasa sakit. Dengan begitu aku bisa sepenuhnya menyingkirkan mimpi-mimpi sialan itu. Rasa sakit membuatku terjaga." Haidee akhirnya buka suara.

Hongli selesai mengobati lengan Haidee. Ia tidak menggunakan plester untuk menutupi luka melainkan melilitkan perban.

"Bodoh! Itu namanya bukan menyembuhkan, tapi menciptakan penyakit lain." Adiwangsa tidak habis pikir. "Apa karena itu juga kamu tidak lagi takut api?"

Adiwangsa ingat mereka pernah nyaris viral karena Haidee yang mendadak mengalami fobia saat melihat api. Hari itu rencananya mereka akan makan di luar, tapi begitu melihat api dari tungku tukang masak, Haidee bergulung di lantai dan berteriak histeris. Mereka menjadi pusat perhatian dan rencana makan di luar pun batal.

"Semalam Haidee menggenggam arang di telapaknya. Kalian bisa lihat telapak kirinya yang nyaris melepuh." Lagi-lagi Carl yang menyahut.

"Carl, bahkan hal sekecil itu pun aku tidak bisa menyembunyikannya darimu. Jangan-jangan kamu begitu menyukaiku sampai-sampai tidak bisa mengalihkan pandanganmu dariku," tuduh Haidee.

Carl berdecih, merasa tidak sudi. "Kalau tidak ingin ketahuan, jangan menunjukkan ekspresi kesakitan di depanku."

Kali ini Hongli yang menghela napas "Ternyata di antara kita ada yang lebih bodoh dari Adiwangsa," katanya dan semua orang mengangguk setuju.

"Aku hanya melakukannya saat merasa penyakitku akan kambuh." Haidee membela diri tapi tidak ada yang peduli.

Adiwangsa tidak tertarik pada pembicaraan mengenai orang bodoh. Ia tidak merasa bodoh. Ia bahkan berani bertaruh IQ-nya lebih tinggi dari orang-orang yang mengatainya. Sebuah pesan masuk ke ponsel Adiwangsa, ia menjauh dari keramaian. Mengetuk untuk melihat isi tautan yang dikirimkan padanya.

Begitu melihat isi tautan, garis vertikal muncul di antara alis Adiwangsa. Ia kemudian beralih ke tautan yang lain dan segera mengerti apa yang terjadi.

Sebenarnya Adiwangsa merasa kesal. Haidee menariknya masuk ke dalam tim tapi sama sekali tidak mengatakan apa pun saat bertindak. Apa dirinya belum cukup dipercaya, tapi kenapa melibatkannya jika tidak dipercaya. Ia tahu tidak akan ada gunanya marah sekarang, toh mereka sudah melakukannya.

Adiwangsa kembali pada Haidee dan melotot ke arahnya. Tidak ingin marah, hanya melotot.

"Apa?" tanya Haidee terlihat tidak suka.

"Apa yang kalian lakukan semalam?" Adiwangsa menuntut penjelasan. Penjelasan, bukan sekadar jawaban.

Sebenarnya Adiwangsa tahu apa yang telah Haidee lakukan. Sebenarnya ia tidak bisa merasa tidak marah. Sekali lagi karena Adiwangsa adalah tipe yang sangat berhati-hati. Sebelum bertindak, ia butuh persiapan, butuh rencana, butuh memperhitungkan segala detail. Bekerja sama dengan Haidee yang tidak sabaran dan ketiga temannya yang ceroboh membuatnya merasa salah menentukan pilihan.

Demi apa pun yang ada di dunia ini, Adiwangsa lebih senang melakukan semuanya sendiri. Ia tidak perlu partner yang seenaknya atau teman-teman yang membuatnya terus merasa waswas.

"Apa yang kalian lakukan semalam?" ulang Adiwangsa karena ia hanya mendapat jawaban alis terangkat. Adiwangsa menarik napas. Jika ingin tetap di tim Haidee ia harus memiliki banyak kesabaran. "Kalian menemui Profesor Rekson dan lihatlah apa yang terjadi!"

Adiwangsa menyodorkan ponselnya ke depan hidung Haidee. Terlalu dekat. Haidee harus menarik kepalanya menjauh agar bisa melihat dengan jelas apa yang coba Adiwangsa tunjukkan padanya. Hongli dan Mark ikut merapat ingin tahu.

"Seorang profesor berinisial R, berusia 43 tahun ditemukan bunuh diri di rumahnya." Hongli membaca paragraf awal artikel Online yang Adiwangsa tunjukkan dengan suara yang bisa didengar oleh semua orang.

Haidee dan Carl saling bertukar pandangan. Harusnya tidak seperti ini.

"Dan ini!" Adiwangsa menggeser layar ponselnya untuk memperlihatkan sesuatu yang lain, "Dan ini" kemudian ke bagian yang lain lagi.

Artikel pertama yang Adiwangsa tunjukkan mengulas bunuh diri profesor berinisial R, artikel kedua mengenai seseorang yang tertangkap CCTV saat meninggalkan tempat Profesor R tinggal, dan artikel terakhir yang baru saja dimuat beberapa menit lalu mengenai kepolisian yang sedang mencari seseorang berinisial HP yang dicurigai.

Adiwangsa menarik ponselnya. "Jadi untuk selanjutnya bisa tidak kalian tidak buru-buru bertindak? Bisa tidak merencanakannya dengan baik lebih dulu? Bisa tidak membicarakannya denganku?" Adiwangsa berkata dengan nada memohon yang teramat sangat.

"Tapi kami ke sana hanya untuk memberi peringatan." Carl yang pergi bersama Haidee melihat Profesor Rekson masih hidup ketika Haidee meninggalkannya. Ia bisa melihatnya dengan jelas karena tirai jendela masih terbuka ketika itu.

"Aku tahu, tapi apa gunanya penjelasan itu sekarang? Profesor Rekson mati, Haidee tertangkap CCTV, dan sekarang dicurigai."

"Jadi sekarang harus bagaimana?" Haidee akhirnya angkat bicara.

"Pergi ke kantor polisi!"

"Apa?!"

Suara empat orang yang menyerukan satu kata yang sama benar-benar berisik. Adiwangsa sampai harus menutup telinga sangking terganggunya.

"Kan sudah kubilang kami ke sana hanya untuk memberi peringatan bukannya membunuh!" ulang Carl. Kali ini suaranya lebih tegas.

"Adiwangsa, kamu tidak berencana balas dendam pada kami, kan di situasi seperti ini?" Mark menatap Adiwangsa dengan curiga.

Adiwangsa membalas tuduhan Mark dengan pelototan. Bola matanya sampai-sampai terlihat akan jatuh. Ia tidak sekekanak-kanakan itu sehingga tidak bisa memilah prioritas masalah.

"Menyerahkan diri lebih baik dibanding menjadi buron. Datang sendiri ke kantor polisi saja sudah menegaskan ketidakbersalahanmu. Lagi pula mereka bilang itu bunuh diri artinya tidak ada tanda-tanda pembunuhan. Kemungkinan polisi mencarimu hanya untuk mengumpulkan keterangan. Seharusnya tidak apa-apa," jelas Adiwangsa.

"Apa kata-katamu bisa dipercaya?" Hongli sama curiganya dengan Mark.

"Tidak percaya juga tidak masalah. Toh kalian sendiri yang membuat masalah." Adiwangsa mengangkat kedua bahunya bersamaan, tidak ingin repot-repot mendebat.

Semua orang memandang Haidee. Keputusan terakhir ada padanya.

###


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C33
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen