Mata Haidee Putra terbuka. Mungkin kesadaran masih belum sepenuhnya terkumpul karena ia tampak seperti orang mati dengan mata terbuka. Hanya diam saja sembari menatap langit-langit ruangan yang putih bersih.
Lima menit kemudian Haidee tersentak bangun. Kabel-kabel yang sebelumnya terhubung ke kepalanya terlepas karena tiba-tiba tertarik. Ia terengah-engah seperti baru keluar setelah menyelam cukup lama di bawah air. Keringat membasahi kening, leher, dan punggungnya. Napasnya naik-turun tidak beraturan.
Haidee mengamati sekelilingnya, bertanya-tanya di mana ia berada. Ia mengenakan pakaian yang mirip piama rumah sakit, jadi seharusnya ia berada di rumah sakit.
Sekali lagi Haidee mengamati sekelilingnya. Ruangan yang ditempatinya memang terlihat seperti rumah sakit kebanyakan. Mungkin ruang VIP karena ruangannya luas dan hanya ada ia sendiri di sana. Ada alat infus, tiga mesin dengan monitor yang memperlihatkan garis lurus dan angka 0. Ia melepas selang ventilator yang masih terpasang karena merasa tidak nyaman.
Ruangan, pakaian, harusnya Haidee merasa sedang berada di rumah sakit, tapi ada yang tidak beres. Ada terlalu banyak mesin dalam ruangan, juga kabel-kabel yang sebelumnya terpasang di kepalanya. Situasinya terlihat mencurigakan.
Haidee berusaha mengingat apa yang terakhir kali terjadi padanya, tapi tiba-tiba telinganya berdenging dan kepalanya terasa sakit.
Sebuah gambaran muncul dalam kepala Haidee. Tidak hanya satu, ada dua, tiga, empat. Mengenai kecelakaan, mengenai istri yang mengkhianatinya, mengenai anaknya yang dibunuh, mengenai luka bakar yang memenuhi tubuhnya.
Haidee kembali tersentak. Ia memperhatikan tangannya, tubuhnya, dan meraba wajahnya. Tidak ada luka di sana. Semuanya baik-baik saja.
Tidak, tidak!
Haidee tidak baik-baik saja. Ia tiba-tiba mengerang kesakitan, merasa kepanasan. Ia seperti dipanggang hidup-hidup dalam kebakaran hebat. Kobaran lidah api menjilati tubuhnya tanpa ampun. Haidee melepas paksa infus yang masih terpasang dan terjatuh dari ranjang.
Haidee mengerang, meronta-ronta. Tidak ada yang mendengar pekik kesakitannya, tidak ada yang datang menolong. Ruangan tempatnya di kurung kedap suara, jarak tempat keamanan yang bertugas jaga pun tidak dekat. Haidee tenggelam seorang diri dalam rasa sakit yang tidak ia mengerti.
Tidak seperti di dalam mimpi beberapa saat lalu, ketika sadar Haidee justru kesulitan membedakan apa yang benar-benar dialaminya dan apa yang tidak. Otaknya tidak dapat memilah dengan baik.
Selama tujuh tahun, berulang kali ia melihat adegan yang sama di mana dirinyalah yang dijadikan pemeran utama. Ia dihidupkan sebagai tokoh yang menyedihkan, penuh derita, dan rasa sakit.
Tiba-tiba sebuah adegan mengenai pelecehan yang dialaminya saat masih anak-anak berkelebat. Haidee meremas rambutnya, merasa jijik, kotor. Padahal kejadian itu begitu jauh, begitu tidak nyata, tapi Haidee bisa merasakan setiap sentuhan, belaian, bisikan yang begitu dekat, begitu nyata.
Berbagai adegan muncul dan menghilang di kepalanya. Semua begitu acak, tidak beraturan. Tidak ada akhir yang terlihat, setiap adegan berhenti di bagian paling menyakitkan, kemudian beralih ke bagian menyakitkan lainnya. Tidak ada anti klimaks dalam kisahnya.
Haidee memukul-mukul kepalanya, berharap dengan itu kewarasannya kembali. Ia mulai memikirkan segalanya.
Ada yang tidak beres dengan isi kepalanya, ada yang salah dengan tubuhnya. Setelah cukup lama menggeliat di lantai yang dingin, Haidee berusaha keras untuk bangun. Ia menggunakan ranjang sebagai pegangan yang membantu menopang berat tubuhnya. Ia merasa begitu lemah, tubuhnya seolah tidak mau diajak bekerja sama. Haidee begitu kesusahan berdiri di atas pijakannya sendiri.
Haidee perlu mengkonfirmasi banyak hal, ia butuh penjelasan, butuh kehadiran seseorang yang bisa memberinya jawaban. Ia harus tahu apa yang terjadi padanya, apa yang salah di dirinya.
Dalam ruangan yang Haidee tempati, tidak ada jam atau apa pun yang bisa menunjukkan keterangan waktu. Yang ada alat infus, mesin elektrokardiograf, dan mesin lain yang tidak Haidee ketahui fungsi penggunanya, juga kabel warna-warni di atas ranjang.
Perasaan Haidee mulai tidak enak. Ada yang tidak benar. Ruangan tempat ia terkurung lebih terkesan sebagai penjara dibanding rumah sakit, tertutup begitu rapat.
Pandangan Haidee tertuju pada satu-satunya pintu sebagai jalan ke luar. Ia harus pergi, harus mendapatkan penjelasan.
Tubuh Haidee terasa kaku dan berat, ia berusaha keras untuk berdiri walau dengan tubuh yang sedikit membungkuk. Ia melangkah dengan langkah yang teramat pendek, dengan menyeret kakinya.
Dua belas langkah, sampai akhirnya Haidee menggapai pintu. Sebelum ini ia adalah seorang petarung yang handal, seorang atlet. Kekuatan fisiknya tidak perlu diragukan lagi, kecepatan adalah kelebihan utamanya. Tapi kini, berjalan dua belas langkah saja ia sudah kewalahan, terengah-engah.
Tubuh Haidee tidak lagi seperti tubuhnya. Ia kehilangan kekuatan fisiknya, kehilangan kecepatan, bahkan kehilangan kemampuan untuk sepenuhnya mengambil kendali atas kewarasannya.
Haidee mencoba memutar gagang pintu tapi terkunci. Mencoba lagi, lagi, dan lagi tetap tidak berhasil. Ia terkurung. Haidee mulai menggedor-gedor, berteriak dengan suara yang berat.
Sebuah gambaran mengenai kecelakaan berkelebat di kepala Haidee. Kakinya mendadak lemas dan ia jatuh tersungkur di lantai. Haidee berusaha bangkit lagi, tapi sesuatu yang lagi-lagi tidak beres tiba-tiba terjadi.
Sebelumnya kakinya memang tidak dalam keadaan baik tapi ia masih bisa menggerakkannya dengan sedikit usaha. Sekarang, jangankan digerakkan, Haidee bahkan tidak bisa lagi merasakan keberadaan kakinya.
Haidee memukul-mukul kakinya, sekali, dua kali, tiga kali. Semakin lama semakin keras memukul. Meski seperti itu, tetap tidak ada yang berubah. Haidee tidak merasakan sakitnya, tidak juga dapat menggerakkan kakinya.
Perasaan putus asa mulai menyerang Haidee. Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya tapi tidak satu pun jawaban bisa ditemukannya. Keadaannya, tempatnya berada, ia tidak mengerti banyak hal, tidak tahu apa pun.
Dada Haidee terasa sesak dan ia merasa berduka entah untuk apa. Selain duka ada perasaan putus asa, marah, kebencian, dan semua emosi negatif. Ia meringkuk di lantai yang sedingin es, memukul-mukul dadanya agar ada sedikit tempat untuk udara masuk. Haidee mengerang, menangis, perasaannya berubah dengan cepat. Suasana hatinya terus berputar pada emosi-emosi negatif yang datangnya entah dari mana.
Haidee semakin terjerat pada perasaan-perasaan yang menyakiti hatinya. Tidak sanggup lagi berpikir, tidak kuat lagi berduka, Haidee kembali tidak sadarkan diri.
Dalam mimpinya, Haidee Putra berada di tengah-tengah sebuah labirin. Ia tidak tahu arah, tidak tahu kenapa bisa jatuh ke tempat itu. Ia menatap sekelilingnya penuh kebingungan.
Haidee mulai melangkah, perlahan, pelan-pelan, dan begitu berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan sana, tapi ia merasa sebuah ancaman datang semakin mendekat. Ia merasa takut tanpa sebab, merasa tidak berdaya.
Seperti orang buta, Haidee meraba-raba. Ia berjalan tiga langkah, lima langkah, tujuh langkah, sembilan langkah. Di langkah ke sepuluh ia salah memilih pijakan. Haidee jatuh ke dalam sebuah lorong, gelap, sempit, dingin, dan tak berujung. Ia kembali terjebak.
###