"Selamat ulang tahun Ray, maaf aku terlambat."
Dia membuka genggaman telapaknya yang besar itu, menunjukkan dua buah kerikil yang ia hadiahkan untukku sebagai kado ulang tahun. Aku semakin tergugu melihat hadiah yang baru ia beri. Dua buah kerikil di telapaknya itu, tampak seakan mereka adalah bentuk perjuangan Bimo untuk kembali pulang.
Aku mendongak kembali ke wajahnya yang sedikit kehilangan cahaya, sekitar matanya tampak menghitam, dia terlihat kurus, tetapi senyum di bibirnya tetaplah senyum kesukaanku, senyum yang amat sangat aku rindukan.
Tak bisa ku hentikan isakku yang semakin dalam, dia menghela panjang, lebih terdengar seakan dia lega akan sesuatu. Dia acak rambutku dengan sebelah tangannya yang tadi ia pakai untuk menahan kepal tinju ku pada dadanya.
"Cengeng ... heheh." ucapnya dengan seuyum yang kini melebar menunjukkan deretan giginya.
Aku belum sanggup menjawab ucapannya.