App herunterladen
13.41% Was My Sweet Badboy / Chapter 57: Mala

Kapitel 57: Mala

Bi ... mo?"

Seseorang menyebut nama Bimo sedikit ragu dari arah belakang kami, membuat kami seketika menoleh pada asal suara itu. Disana, berdiri seorang perempuan yang tidak pernah kulihat wajahnya sebelumnya, tapi dia kenal dengan Bimo? Aku mengernyit heran. Kutatap bergantian mereka, Bimo terlihat mematung dengan mata terkunci pada gadis itu.

Orang itu, punya rambut hitam lurus yang tebal, matanya cantik menurutku, dan juga senyumnya memang terlihat ramah sekali.

"Bimo kan? Apa kabaar?" sapa cerianya pada Bimo, dengan senyum semakin lebar di bibirnya.

"Mala! Kemana sih, dicariin dari tadi jugaa ...." satu orang perempuan menghampiri cewek berambut panjang itu, sepertinya Mala itu namanya.

"Eh, iya maaf Sin, aku gak sadar kamu gak ada," jawab orang tadi.

"Loh, Bimo kan? ya ampun, kok bisa kebetulan gini ketemu ya! Cieee ... cieee ... jodoh emang." katanya sambil menunjuk-nunjuk pada Bimo.

Hah? Apa maksudnya sih?

"Hush! apaan sih Sintaa ...." cewek tadi nampak malu-malu mendengar komentar temannya.

Ia kemudian menyelaku, berdiri di hadapan Bimo, membuat aku terpaksa harus bergeser secara refleks. Entah dia menyadari keberadaanku sebagai orang yang sedang bersama Bimo atau tidak, aku tak paham. Dia melakukannya dengan natural sekali.

"Hehe, udah lama banget mereka gak ketemu, kalo jodoh emang gak kemana ya ... heheh, temennya Bimo kan?" Orang bernama Sinta tadi bicara padaku, karena kini aku yang berada sejajar dengan posisinya.

Aku menatapnya bingung, lalu hanya tersenyum canggung menanggapinya. Ini benar-benar suasana yang aku tidak suka, perasaanku mengatakan ini tidaklah baik.

"Aku Sinta, kamu?" dia ulurkan tangannya untuk salaman.

"Aku Raya." ku sambut tangannya yang terjulur.

"Apa kabar Bim? Sombong ya sekarang, gak pernah kasih kabar!" cewek tadi bicara dengan nada sedikit merajuk, juga gestur manja pada Bimo.

"Aku baik Alhamdulillah, kamu gimana La?" Bimo terdengar merespon pertanyaan orang bernama Mala itu. Aku sungguh tidak tahu siapa dia, dan apa hubungannya dengan Bimo.

"Heheh, aku juga baik Bim ...." dia masih bicara pada Bimo, entah apa kelanjutan obrolan mereka, aku tak dengar, aku merasa pengang.

"Geser sana yuk? biar gak ganggu yang lagi nostalgia, hehehe," si Sinta ini lagi-lagi bicara hal yang aku tak habis pikir, memangnya aku terlihat seperti temannya Bimo? Yang benar saja!

"Dia siapa?" kutatap orang bernama Sinta itu dengan wajah ketus.

"Siapa? Mala? Oh iya, kamu pasti gak tau ya, Mala itu dulu deket sama Bimo sebelum dia pindah ke Jogja, belum pernah resmi pacaran sih, tapi udah kayak orang pacaran. Dimana ada Mala, pasti ada Bimo, hehe ... sayang Bimonya pindah."

Seperti di hantam palu besar rasanya kepalaku mendengar penuturan orang bermama Sinta itu. Bimo memang tidak pernah cerita padaku soal mantannya atau masa lalu nya. Jarang sekali, dan kini tiba-tiba harus bertemu seperti ini, membuat aku jadi tak tau harus bersikap seperti apa.

Aku menatap pada Bimo yang sedang ngobrol dengan si Mala itu, dan serasa diremas jantungku kala melihat dia tersenyum hangat menatap pada manik cewek itu, dia berikan senyum hangat yang selama ini aku kira itu adalah senyumnya yang hanya dia tunjukkan padaku, senyum yang hanya milikku seorang, dia bahkan seperti lupa padaku, tak sedetikpun dia menoleh mencari dimana aku berdiri sekarang.

Rasanya aku lemas, gulali dalam genggamanku terlepas. Mataku masih menatapnya, menatap Bimo yang seolah terhipnotis oleh wajah orang itu, oleh renyah suara tawanya. Seperti orang yang sedang temu kangen, namun aku tahu, sangat tahu bahwa hubungan mereka lebih dalam dari sekedar teman di masa lalu.

Aku sadari, Bimo masih menyimpan rasa untuk orang itu, bagaimanapun si Mala itu lebih dulu kenal dengan Bimo di banding aku, dan entah kenapa fakta itu makin membuat aku sakit. Tubuhku rasanya jadi gerah seketika.

Aku benci lihat mereka, aku benci! Dengan orang yang bernama Mala itu, aku juga benci. Malam ini aku jadi sangat banyak membenci, terserahlah!

Ku tinggalkan mereka disana, berjalan gontai menerobos kerumunan orang-orang yang berkumpul di tempat ini untuk melihat pesta kembang api tepat di detik pergantian tahun, momen yang ditunggu-tunggu oleh semua orang.

Dadaku masih bergemuruh, masih berdegup marah. Aku ingin menangis, tapi entah kenapa tak bisa, air mataku tak jua keluar membasahi pipi. Kepalaku berat dan pening. Aku mau pulang sekarang!

Terus saja aku berjalan entah ke arah mana dengan hati berat yang juga sangat sakit, langkah gontaiku membelah kerumunan manusia yang berdesakan. Tak peduli lagi aku soal pesta kembang api itu.

5 ... 4 ... 3 ... hitung mundur sudah mulai terdengar dari orang-orang di sekelilingku. Aku berhenti berjalan, rasanya pening kepalaku semakin menjadi sebab hingar bingar yang terasa menyesakkan ini.

2 ... 1 ... Duaar ... duaar ... Sorak-sorai orang-orang sangat riuh di sekililingku, mereka serempak saling mengucapka 'happy new year' pada orang di sebelah mereka. Aku mendongak ke atas melihat gebyar kembang api, membuat langit sesaat jadi berkedip-kedip, cantik sekali. Hanya saja aku tak lagi tertarik, hanya bisa menatap kosong pada indahnya kerlip kembang api di atas.

"RAYA!!"

Seseorang menarik lengan kananku dengan agak menyentak hingga membuat badanku seketika menghadap padanya, ternyata itu Bimo dengan wajah khawatirnya. Ku tatap datar wajahnya yang nampak ter-engah, mungkin dia sudah berjalan mutar-mutar mencariku. Saat ini aku benar-benar muak lihat dia.

"Kamu kenapa main jalan sendiri sih! Udah jelas rame banget orang kayak gini, kalo gak ketemu gimana?! Jangan bikin orang kebingungan bisa gak sih Ray!"

Bimo mengomel panjang-lebar, tampak dia memang kesal padaku karena pergi sendiri begitu saja, aku paham maksudnya, hanya saja tak mau tahu. Cukup kecewa aku padanya, kenapa baru sadar waktu aku sudah pergi? Kenapa tak dari awal dia menggenggam tanganku dan bilang pada gadis itu bahwa akulah pacarnya, kenapa? Biasanya dia akan melakukan itu, tapi kenapa sama orang tadi dia tak bisa mengakuiku seperti biasanya?

Kepalaku serasa mau pecah karena pertanyaan-pertanyaan yang tak henti berputar, aku ingin pergi dari sini secepatnya.

"Ray, jawab, kamu kenapa sih?!"

Aku masih menatapnya datar, ku tepis perlahan tangannya yang memegang lenganku.

"Aku pusing, mau pulang aja," ucapku padanya, masih dengan nada datar, bahkan untuk menyebut namanya saja aku merasa jengkel. Aku berbalik dan berjalan mendahului dia menuju tempat parkir motor tadi.

"Ray! Raya! Aaaarrrgghh ... shit!!"

Bisa kudengar dengus frustasinya, mungkin dia sudah sedikit menjambak rambutnya, seperti kebiasaannya jika sedang kesal. Aku tidak peduli, tetap ku langkahkan kakiku dengan dia yang mengikuti dari belakang.

Aku benar-benar kesal, apalagi saat melihat wajahnya saat ini, wajah yang tadi ia pakai untuk memberi senyum hangat pada orang itu, wajah yang tadi seolah bilang jika dia kangen pada orang itu.

Uukh!!

Padahal baru kemarin dia bilang padaku tak boleh berpaling dan tak akan juga dia biarkan aku berpaling, tapi sekarang apa? Siapa yang berpaling? Hanya mendpat sapaan hangat dan senyum cewek itu saja dia sudah meleleh dan lupa padaku!

Kami duduk di motor dalam diam, melaju pulang ke rumahku. Aku menjaga jarak dudukku dengannya, tidak juga memeluk pinggangnya seperti biasa, aku kecewa, benar-benar kecewa pada Bimo hari ini.

Ini sudah hampir jam 1 dini hari, tapi jalanan masih saja ramai dan padat, angin malam benar-benar dingin menusuk sampai ketulang, meskipun aku sudah pakai jaket yang cukup tebal.

Sampai di rumahku, bergegas aku turun dari motornya dan melangkah untuk masuk tanpa berkata apa pun.

"Ray, tunggu dulu." dia mencekal tanganku, membuat aku berhenti dan menatapnya dengan datar seperti tadi.

"Ray, kamu kenapa? Bilang sama aku biar aku ngerti," ucapnya kemudian. Bikin aku tambah kesal.

"Udah lah, pulang aja kamu, udah malem banget ini." balasku sambil menarik lenganku dark cekalannya, dan melangkah masuk ke pekarangan rumahku.

Dia masih disana, duduk di atas motornya sambil memperhatikan aku yang sibuk telepon bi Marni untuk minta bukakan pintu. Bi Marni segera membuka pintu, sepertinya bibi sudah tidur, aku jadi tak enak sudah menganggu tidurnya.

Aku langsung masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang, bi Marni juga bertanya soal Bimo tapi tak ku hiraukan, segera bibi pergi mengunci pagar rumah setelah aku masuk. Suara motor Bimo juga terdengar pergi setelah bi Marni selesai mengunci semua dan masuk ke dalam.

Aku melangkah menaiki tangga dan segera masuk kamar, ku lempar asal tas selempang kecil yang tadi ku bawa, lalu membanting tubuhhku ke kasur dalam posisi telungkup, memangis sejadi-jadinya, entah kenapa setelah sendiri aku malah tak bisa menahan air mata.

Bimo ... kamu masih punya rasa untuk dia, aku bisa lihat itu, aku bisa lihat bagaimana kamu menatap dia dengan mata teduhmu, aku kecewa Bim.


AUTORENGEDANKEN
MORAN94 MORAN94

Jangan suudzon dulu ray o_o

komen di bawah❤❤❤

lempar batu birunya juga ya, anggap aja sedekah

Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C57
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen