Kami semua duduk di sekeliling unggun yang mulai berkobar, angin laut selatan menyibak rambut kami perlahan. Semua orang menatap pada kilatan cahaya merah senja di batas cakrawala, seolah terhipnotis keindahannya. Desis ombak seakan menjadi musik latar kenangan kami di tempat ini.
Bimo duduk di sebelahku, menatap padaku dengan rambutnya yang masih terlihat basah, tatapan matanya serius sekaligus teduh. Ia menggenggam tanganku erat, mendekatkan kepalanya padaku dan berbisik lembut di telingaku.
"Ray, aku ..." ia seakan ragu, sedikit nada gugup dalam ucapnya.
"Hmm?" kubalas tatapnya, memastikan kembali apa yang ingin ia ucap, sambil mengangkat kedua alisku, pertanda aku tak paham apa yang ingin ia katakan.
"Ray, aku minta maaf ..."
Deg! Seketika isi kepalaku berputar, mengingat-ingat apa yang membuat dia minta maaf mendadak seperti ini. Apa ternyata dia main api di belakangku dan sekarang akan mengaku? Ah! tidak ... tidak.
"Buat ... apa?" tanyaku ragu.
"Maaf, karena aku sepertinya gak akan bisa melepas kamu meskipun suatu saat kamu yang minta. Kalau itu terjadi, aku bilang dari sekarang bahwa aku akan berusaha bikin kamu tetap menatap lurus padaku meskipun kamu ingin berpaling, tidak akan ku izinkan kamu berpaling, walapun seluruh rasamu padaku sudah selesai."
Aku terdiam, bingung bagaimana harus bereaksi atau merespon perkataannya yang tiba-tiba. Jantungku berdegup cepat sekali.
"Ternyata aku butuh kamu Ray, lebih dari yang aku bayangkan, seperti paru-paru yang butuh oksigen. Tidak peduli kamu akan butuh aku atau tidak. Aku mau menyukai kamu dengan egois. Maaf, aku akan menggenggam kamu erat."
Apa katanya? Kenapa perutku jadi terasa geli dan antusias bersamaan? seperti ada kupu-kupu terbang di dalamnya. Dia masih menatapku, tampak harap cemas menunggu aku bicara.
Aku mengangguk pelan, "Oke, kamu boleh egois untuk urusan itu." senyumku terkembang seiring jawaban yang ku berikan.
Bimo tampak senang, seulas senyum ia hadiahkan untukku, tidak pakai cium karena ramai orang. Hanya mengacak rambutku ringan.
Senja sudah tak nampak bekasnya, hanya langit yang mulai gelap, jagung manis yang mereka bawa sedang di bakar di atas unggun, denting gitar menemani acara bakar jagung kami, anggap saja merayakan tahun baru lebih awal. Hehe
Bimo memberikan jaketnya padaku karena takut aku masuk angin. Kami semua ngobrol dalam keakraban yang terasa beda, terasa lebih rekat satu sama lainnya. Kak Damar dan anak kelas 3 lainnya bicara soal bagaimana kekhawatiran mereka setelah nanti lulus sekolah, akan melanjutkan kuliah dimana, dan jurusan apa yang ingin mereka ambil, mengingat ini sudah semester akhir mereka di sekolah, kelas tambahan mereka juga sudah akan dimulai.
Obrolan terus mengalir hingga membahas apa cita-cita kami masing-masing, hobi kami masing-masing, hingga cerita patah hati yang di sambut ledekan juga tawa dari yang lainnya. Sambil menggigit jagung bakar yang kehitaman, kami larut dalam suasana senang dalam kebersamaan. Puas bicara banyak, kami mulai bernyanyi seperti paduan suara, bedanya, suara kami sedikit tak layak dengar, pas-pasan. Agus mengiringi nyanyian kami dengan gitarnya.
Sebenarnya, aku tak ikut nyanyi karena malu, hanya ikut-ikutan bertepuk tangan saja sambil menggerakkan badan ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagunya.
"Gantian Bim!" Agus menyerahkan gitarnya pada Bimo karena mau meluk calon pacarnya yang tampak kedinginan. Dia menyambut gitar itu dan mulai merangkul seakan ingin memainkannya.
Tentu saja aku mengernyit heran, memangnya Bimo bisa main gitar? Tapi ternyata dia bisa, bahkan lancar. Malahan, Jepri dan beberapa kawan lainnya request lagu pada Bimo dan nyanyi sama-sama. Kebanyakan sih lagu Iwan Fals yang di nyanyikan dan tidak terlalu familiar di telingaku.
Bimo yang sedang main gitar, adalah satu bentuk Bimo yang tampak lain di mataku, terlihat bebas dan luwes. Aku suka sosoknya yang ini. Tanpa sadar aku jadi terus-menerus menatapnya.
"Jangan diliatin terus Raay, Bimo nya gak keman-mana kok ... eeaaaakkk."
Agus menggodaku karena memergoki aku yang terus menatap Bimo, membuat aku malu, kemudian Bimo ikut menoleh padaku karena dengar ucapan Agus, bikin aku tambah malu. Cepat ku tutup wajahku dengan kedua telapak tangan, dan sukses jadi bahan ledekan semua orang disini. Bimo hanya terkekeh mendapati aku malu seperti itu.
Meski sempat ada kehebohan karena aku terpergok menatapnya, jemari Bimo tetap sibuk memetik gitar di bekapannya, kini ia memainkan sebuah lagu tanpa di minta, sepertinya lagu yang dia suka. Berulang kali ia menatap mataku saat menyanyikannya. Suara beratnya tidaklah jelek, tapi tak juga bagus sekali. Biasa saja, justru tatapan matanya dan lirik lagunya yang membuat aku berdesir lagi.
Lagu cinta yang tidak menye-menye, sesuai sekali dengan karakter Bimo, pantas saja dia suka. Dan dia nyanyikan itu untukku, seolah itu adalah tentang bagaimana perasaannya kini. Bimo berhasil membuat aku semakin jatuh cinta padanya.
Aku tersenyum malu, lagunya bagus, pantainya bagus, gemintang di atas sana juga bagus. Semua menjadi saksi ungkapan perasaan Bimo padaku malam itu.
Gelap semakin terasa, jagung bakar sudah tandas, unggun mulai meredup dan angin laut semakin dingin menembus jaket dan selimut yang kami kenakan. Kami putuskan untuk pulang saat waktu menunjukkan pukul 9 malam.
"Kamu gak capek, Bim nyetirnya?" tanyaku memastikan kondisinya, berbahaya jika nanti dia mengantuk saat menyetir.
"Enggak, masih seger kok ini," jawabnya dengan senyum seperti biasa.
Kami mulai melaju pulang, tentu saja bersama Dwi, Bayu, dan Akbar di bangku belakang, sepertinya mereka juga tidak merasa lelah sama sekali karena masih ngobrol sangat seru sedari tadi, Bimo sesekali menimpali atau ikut tertawa.
Aku merasa sedikit ngantuk, jaket Bimo membuat aku hangat dan nyaman, hingga tak sadar mataku sudah terpejam, aku tertidur. Untung saja seat belt sudah ku pasang sebelumnya.
"Yang, bangun, sudah sampai." Bimo mengguncang pelan lenganku, berbicara dengan lembut agar aku tak tersentak ketika bangun.
"Emmmhh ...." Alisku mengernyit, rasanya sangat malas membuka mata.
"Rayaa ... udah nyampe yang, atau mau aku gendong sampe ke dalem?" cara bicaranya masih lembut, hanya saja ucapannya itu yang membuat aku seketika jadi sadar 80%.
"Hah?" tanyaku seperti orang linglung, aku menoleh ke kanan-kiri, mencoba menyadarkan diri bahwa aku belum berada di kamarku.
"Aah, maaf aku ketiduran," aku bicara sambil mendorong kedua tanganku ke udara, meregangkan badanku yang kaku karena lama tertidur dalam posisi duduk. Ternyata Dwi, Bayu dan Akbar sudah diantar tanpa membangunkan aku.
"Gak pa-pa, kamu enak banget tidurnya kayak kebo, sampe gak tau Bayu turun tadi," ledeknya sambil terkikik, dibantunya aku melepas seat belt. Tentu saja jarak kami jadi menyempit, wajahnya dekat sekali denganku.
"Ish ... ck!" gerutuku karena disamakan dengan kebo.
"Hehe, becandaa ... kamu bangun tidur juga tetep cantik," Bimo mengelus pipiku dengan punggung jarinya sambil bicara seperti itu.
Sial pipiku jadi merah kan!
"Bim, coba merem dulu!" titahku padanya.
"Hah? mau ngapain? Jangan aneh-aneh Ray ...."
"Ck, gak usah banyak tanya, merem buruan!"
"Iyaaah ... jangan ngerjain ya!" katanya mewanti-wanti, tapi tetap menutup matanya.
"Gak ngintip kan?!" tanyaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
"Enggak, cepetan ah! Mau ngapain sih?!" ujarnya mulai tak sabar.
Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, jantungku bergemuruh memompa darah lebih cepat, membuat wajahku memerah. Berkali-kali aku menelan ludah, menekan rasa gugup.
Cup!
Aku ... mencium pipi Bimo dengan cepat, lalu membuang mata ke arah lain, aku malu. Bimo nampak terkejut dengan apa yang ku lakukan, segera ia membuka matanya untuk menatapku, lalu terkembang di wajahnya senyum sumringah hingga nampak barisan giginya yang rapi dan matanya yang melengkung, pertanda jika ia sedang tersenyum senang.
"Hehehe apaan tuh? Kok tiba-tiba? Heheheh." Dia cengengesan, minta di tabok. Sudah jelas aku malu, masih juga ditanya.
"A-aku masuk ya, gak usah mampir, langsung pulang aja!"
Ku buka pintu mobil secepatnya, lalu keluar dan membuka pintu belakang untuk mengambil tasku kemudian segera berlari masuk ke rumah. Tak kuhiraukan pertanyaan Bimo tadi.
Aku sudah gila rupanya, kenapa juga aku tiba-tiba cium dia? Yah, cuma di pipi sih, tapi tetap saja memalukan.
Aaarrggghh ...
Ku tebak Bimo sedang cengengesan sepanjang perjalanannya pulang ke rumah sekarang ini. Haduh, gimana aku menghadapi dia besok?
Arrrggh ... Raya begooo!
Ponselku bergetar singkat ketika aku sedang bersiap untuk tidur setelah bersih-bersih dan ganti baju. Sebuah pesan masuk, ku buka pesan itu.
>Bimo <3 :
[Kamu bikin aku gak bisa tidur]
Aduh! Fixed aku juga gak bakal bisa tidur.
Rayaaa ... udah gede yaa ..wkwkwk
yang gak tau itu lagu apa, judulnya 'Entah' Iwan Fals
kalo penasaran cari di gugel ya
komen di bawah ❤❤❤