Kami kembali ke ruang tengah setelah mengantar kepergian tante Ratih ke hotel, TV diruangan itu masih menyala dan rumah besar dengan dominasi cat warna putih ini kini sedikit senyap. Rumah Bimo cukup besar dan nyaman, sepertinya sedikit lebih besar dari rumahku.
Bimo mengajakku duduk kembali di sofa hitam yang tadi ku duduki bersama tante Ratih, tapi kali ini Bimo menggantikan tante Ratih duduk di sebelahku di atas sofa itu.
Bi Surti tak kunjung terlihat keberadaannya setelah beres bebersih rumah, kata Bimo mungkin bi Surti main ke rumah sebelah karena PRT tetangga Bimo itu adalah teman bergosip bi Surti. Entah benar atau tidak ucapan Bimo, tapi kurasa dia hanya asal bicara saja soal bi Surti suka bergosip dengan temannya.
Sebenarnya aku sedang merasa jengkel pada Bimo dan ini terasa mengganjal, bikin aku sesak. Kalau kau tanya kenapa aku jengkel, itu sudah pasti karena Bimo suka menyembunyikan persoalan dariku, tadinya ingin ku biarkan saja tapi lama-lama rasanya tambah mengganjal dan bikin aku tak nyaman.
Coba bayangkan saja soal orang tuanya yang sudah cerai, dia bahkan tak bilang dan akhirnya membuat aku menyinggung hal itu di depan mamanya, sudah pasti aku merasa tak enak pada tante Ratih, juga soal akan naik gunung! bagaimana bisa dia tak bilang padaku.
Memikirkan itu semua bikin kepalaku sedikit panas, kesal jadi bertumpuk menghasilkan ekspresi cemberut di wajahku yang lalu di sadari Bimo.
"Kamu kenapa?"
"Kesal!"
"Sama aku?"
"Bukan, sama batu!"
"Hahah...kesel kenapa lagi? Aku bikin salah?"
"Kenapa kamu gak cerita sih Bim kalau mama dan papamu sudah pisah? Kan aku jadi gak enak sama tante tadi! Nyebelin!"
"Hmmmh...maaf, aku lupa soal itu, lagian mama-papaku cerai juga bukan aib Ray, mereka pisah baik-baik kok, jadi kalau kamu ngomong soal itu di depan mama, gak masalah, mama juga gak bakal risih."
"Iya tapi aku yang segan, gimanapun juga itu persoalan sensitif Bim"
"Okeee...maaf, kedepan gak gitu lagi. Aku bakal ceritain soal keluargaku ke kamu. Jangan kesal...." ujar Bimo dengan gaya santainya sambil mengelus rambutku.
"Terus soal naik gunung juga kenapa gak cerita? Apa aku segitu gak bisa di percaya sampai-sampai kamu gak mau bilang apapun soal kamu?" Mataku mulai mendung, rasanya akan ada tetesan yang akan jatuh dan bikin pipiku basah.
"Hah? Kok mikir gitu? Sumpah aku gak pernah ada maksud gak percaya kamu Ray.."
Bimo mulai menanggapiku dengan serius, ditambah ia tau kalau aku akan mulai nangis.
"Terus kenapaa? Kalau menurut kamu mungkin itu gak penting, tapi buat aku penting tau Bim.."
Mataku mulai basah, genangan di pelupuk mataku sudah berhasil turun mulus membanjiri pipiku.
"Jangan nangis yaang....aduuh..." katanya sambil berusaha mengusap air mataku dangan tangannya tapi kemudian ku tepis pelan.
"Aku tanya kenapa gak bilang?! Naik gunung kan bahaya Bim, bukan soal sepele. Kalau kamu nyasar gimana? kalau kamu hilang gimana? kalau kamu...kamu...kamu jatuh ke jurang terus... Huwaaaa"
Tangisku makin pecah membayangkan resiko Bimo yang harus dia tempuh kalau pergi naik gunung, tapi Bimo hanya senyum sambil menatap dalam pada wajahku yang sudah sesengukan menatapnya. Rasanya sudah tidak peduli sama ingus yang pasti juga ikut meramaikan wajahku.
Bimo mengambil beberapa lembar tisu dari atas meja untukku, ia mengusap air mataku pakai tisu itu dan membantu menyeka ingus di hidungku yang sudah aku tarik-tarik dari tadi supaya tak menjulur.
"Jawab ih"
Hentakku pada Bimo sambil memukul paha kanannya yang paling dekat denganku, aku tidak memukul dengan keras, hanya sebagai pelampiasan rasa frustasiku saja. Bimo kemudian memelukku hangat, air mataku yang tadinya sudah mulai susut kini banjir lagi. Aku sesenggukan lagi didalam pelukan Bimo, dia menempelkan wajahnya pada kepalaku yang berada di depan dadanya.
"Aku akan jawab kalau kamu berhenti nangis" katanya sambil masih memeluk aku, sambil bicara tepat di telingaku. Lalu aku sedikit mundur untuk mengurai pelukannya.
"Iya, udah gak nangis." kataku sambil menatap wajahnya dan mengusap pipiku, meskipun air mataku masih belum bisa di kontrol sepenuhnya, tapi aku berusaha untuk menahan tangis dengan mengigit bibir bawahku.
Bimo terkekeh.
"Yaudah, ini aku bilang...aku punya rencana buat naik Merapi, tapi aku belum tau kapan pastinya akan pergi. Itu kenapa aku belum bilang apapun ke kamu, bukan karena aku gak percaya sama kamu..jangan mikir yang aneh-aneh Rayaa.." Bimo bicara begitu sambil mengambil daguku dan menggoyangkannya pelan.
"kalau sudah pasti kapan hari berangkatnya, aku pasti bilang." sambungnya lagi.
"Sama kawan abangnya Akbar?"
"Iyaa..jangan terlalu banyak khawatir, aku sudah sering pergi naik gunung dan Insya Allah sudah tau cara mendaki yang aman dan terarah." Bimo menjelaskan dan masih saja dengan senyum khas yang selalu ia tunjukkan padaku, hanya padaku.
"Gimana aku gak khawatir, naik gunung kan memang bahaya, belum lagi soal mistisnya"
"Hahahaha"
Bimo ketawa mendengarku membahas hal itu.
"Ya makanya sebelum naik gunung itu harus berdoa dulu, minta lindungan dari Yang Diatas, lagian kan tujuan naik gunungnya bukan niat bikin hal yang aneh-aneh. Asal gak menyalahi, biasanya aman-aman aja Ray"
"Beneran?"
"Heheh.. Iyaaa cengeng.."
"Ish! enak aja cengeng..." ku palingkan pandangan sambil membenahi sisa-sisa tangis pada wajahku, aku jadi malu karna dia bilang cengeng, memangnya aku se-cengeng itu sampai harus di omongin.
"Hahaha...emang cengeng..."
Bimo menggodaku lagi.
"Bimoooooo..." Rengekku kesal padanya membuahkan tawa senang Bimo.
"Iyaa..iyaa...ampuun.. Hahaha" ucapnya jahil.
"Kenapa kamu naik gunung? Gak takut jatuh? Bukannya bahaya, bertaruh nyawa, capek juga? Aku sering dengar berita pendaki hilang di gunung atau meninggal karena jatuh." tanyaku padanya.
"Hmm...capeklah, capek banget.. tapi kalau sudah sampai di atas capeknya bakal hilang sudah ditebus sama suasana dan pemandangan di depan mata Ray, lagipula tujuanku naik gunung bukan cuma jalan-jalan atau main, Bimo yang kamu kenal sekarang, Bimo dengan sifat yang kamu tau sekarang itu termasuk hasil aku menempa diri di jalan, salah satunya ya naik gunung. Aku suka karena aku bisa tau batas kemampuanku, aku bisa lebih tenang menghadapi masalah karena kalau di gunung masalah itu banyak dan harus gerak cepat untuk survive, gak boleh panik biar tidak ceroboh, kadang orang-orang yang jatuh lalu meninggal digunung karena mereka panik lalu akhirnya melakukan kesalahan."
Bimo bicara panjang lebar soal hal yang aku tau dia sangat suka dari bagaimana cara ia menjabarkan dan bagaimana sorot matanya yang berbinar, bertambah satu hal lagi yang aku tau tentangnya, dia memang selalu begini, selalu mengejutkanku.
"Kamu suka sekali naik gunung?" tanyaku kemudian.
"Iya, suka..gunung itu sudah seperti rumah kedua." ujarnya.
"Hmm..sesuka itu?"
"Iyaaa...tapi aku juga suka kamu, sangat suka seperti kalau lihat edelweis yang mekar saat fajar."
Refleks sudut bibirku bergerak keatas dengar ucapannya.
"Huh! Gombal!"
"Hahahah... itu serius"
"Iyaaa deeeh... berarti aku boleh minta bawain edelweis dong?"
"No! gak boleh!"
"Lah kenapa? kan di gunung banyak"
"Sudah mulai gundul Ray, biarkan saja mereka disana memperindah rumah keduaku, jangan di cabut, jangan dipetik. Biarkan abadi di tempatnya. Kalau mau jadi kenang-kenangan, di foto aja. toh tak ada gunanya di bawah sini pun akan kering juga."
"Kan malah bagus kalau kering"
"Tetap aja gak boleh, mereka lebih indah saat mekar di pohonnya dengan latar fajar yang kebiruan atau senja yang kemerahan. jangan dirusak. Itu yang diajarkan oleh orang-orang hebat yang sudah ngajarin aku naik gunung Ray."
"Waah...oke deh, aku baru tau kalau gak boleh metik edelweis sembarangan."
"Heheh.. sekarang udah tau, gak boleh minta lagi"
"Okee.."
"Jadi...boleh kan aku naik gunung? Gak di larang kan?"
"Hmm..asal janji buat hati-hati dan harus pulang dalam keadaan selamat sehat wal afiat, gak kurang apapun." ucapku menegaskan.
"Heheheh... siap ndoro, Insya Allah" jawabnya sambil hormat bendera padaku.
Aku terkekeh.
"Gini kan cantik"
"Apa?"
"Ketawa, aku sudah bilang suka lihat kamu ketawa"
"Gara-gara siapa emang!" maksudku gara-gara siapa aku nangis kayak tadi, kan dia juga sebabnya.
"Hahahah...iyaa..maaf, tapi aku senang kamu bilang padaku masalah yang bikin kamu kesal karena aku"
"Abisnya nyesek, gak nyaman banget jadinya"
"Baguslah, jadi aku gak perlu menebak-nebak."
"Hehe..cewek itu penuh misteri ya" ujarku terkikik geli.
"Hahah iya, susah di tebak. Tapi jangan sering-sering nangis Ray."
"Kenapa? nanti aku jadi buta gitu, karena air mataku kering?" candaku.
"Hahaha...bukan ih, emang bocah mikirnya gitu"
"Hahaha...jadi?"
"Aku gak suka lihat kamu nangis, gak tega. Menurutku kalau kamu sampai menangis itu berarti kamu sudah ngerasa sangat sakit, sudah gak bisa di tahan"
"Hmm.. sok tau"
"Yeeeh...aku serius, kamu kan orangnya suka nahan sendiri, apapun itu kamu tahan sampai kamu gak sadar itu bikin kamu capek"
Aku terdiam cukup lama memandangi Bimo, aku bahkan tak tahu kalau aku orang yang seperti itu. Bimo meraih kepalaku, mengelus rambutku lembut dengan senyum khasnya.
"Bilang padaku apapun itu yang mengganggumu. Jangan disimpan sendiri, kalau soal aku yang jarang cerita ke kamu, itu terkadang bukan kesengajaanku, aku hanya gak mau membebani kamu dengan masalahku Ray, dan kalau aku lupa, biasanya karena ku anggap itu hal yang tidak penting untuk dipikirkan."
"Emmh..oke" jawabku sambil mengangguk
Senyum itu masih dibibirnya, sambil menatap mataku dalam-dalam, matanya yang sendu seolah ingin memuntahkan semua yang dia rasakan di hatinya.
"Aku sayang kamu Ray, sangat sayang sampai aku sendiri kaget dengan perasaanku"
Deg deg deg
jantungku memacu seiring kata-kata Bimo yang mengalir mulus ke telingaku, membuat aku membeku kehilangan kata-kata, aku tidak tau harus merespon seperti apa, yang ku tau aku juga punya rasa yang sama padanya.
"A-aku juga sayang...kamu Bim" balasku tergagap lalu membuang mata kearah lain karena gugup, tapi aku tau Bimo tersenyum seolah lega dan senang dengan ucapanku barusan.
CUP
Aku tersentak karena tiba-tiba Bimo sudah mendaratkan bibirnya ke bibirku, mengecupnya sekilas lalu melepasnya dan menatapku dengan senyum yang lebih terkembang di bibirnya. Sedangkan aku hanya bisa terdiam dengan pipi yang mulai memerah.
Bimo terkekeh lagi.
Diulanginya lagi mengecup bibirku lembut dan kali ini agak bertahan sedikit lebih lama dari yang tadi, bibirnya manis, seakan menghipnotisku karena aku benar-benar terdiam tak melakukan apapun, bahkan aku sampai lupa cara bernafas dan hanya menutup mataku menerima ciuman Bimo yang lembut itu tanpa membalasnya karena aku juga tak tahu caranya, baru kali ini aku pacaran, dan sudah pasti baru kali ini juga aku berciuman.
Bimo melepaskan ciumannya tak lama kemudian, aku membuka mata dan mendapati ia yang terkekeh geli karena wajahku sudah seperti kepiting rebus. Aku maluu... segera ku tutup wajahku dengan kedua tangan dan Bimo hanya mengacak rambutku gemas sambil masih tertawa.
--@@@--
Kyaaakk... gaboleh baper...gak boleh baper...
jangan lupa komen bagian yang bikin kalian meleleh heheh