"Kepala sekolah bilang hubunganku sangat mempengaruhi citra sekolah ini dan berpotensi menjadi pengaruh buruk" Sandra menggertakkan giginya, menjelaskan kepada Resty dengan lesu.
"Hm semua orang memang ramai membicarakan pacarmu sekarang. Sudah jangan dipikirkan, ini semua gara-gara banyak yang iri padamu", ujar Resty khawatir. Ia juga tidak senang dengan orang-orang yang bertindak irasional dan membicarakan orang lain di belakang mereka. Hanya karena masalah pria, para gadis di sekolah ini menjadi gila dan berlomba-lomba menghancurkan Sandra perlahan-lahan.
Tapi sebenarnya, Resty juga tidak terlalu suka dengan hubungan Sandra dengan pria dewasa itu. Kenapa pria sepertinya memilih gadis muda dan polos seperti Sandra? Jelas sekali pasti ada niat tertentu bukan? Sulit bagi Resty untuk memahami kenapa Sandra begitu mudahnya menjalin hubungan serius dengan pria itu tanpa rasa khawatir.
"Aku tidak mengerti. Dia hanya sedikit lebih tampan daripada sebagian besar laki-laki, selain itu dia biasa saja" Sandra sedikit tidak berterus terang. Ia tahu bahwa pacarnya memang jauh lebih baik daripada pria manapun. Mulai dari fisik hingga, tentu saja kemampuan finansialnya.
"Kamu ini jangan pura-pura bodoh." Resty terkekeh seakan mengetahui isi hati temannya yang sebenarnya. "Yang jelas, aku masih ingin mengingatkanmu bahwa pria dewasa yang kelihatan sempurna seperti pacarmu itu terlalu mencurigakan. Apa dia benar tulus kepadamu? Menurutku tidak ada salahnya untuk waspada"
Resty memang gadis cerdas yang sangat rasional. Ia selalu memikirkan dengan matang setiap keputusan hidupnya. Ketika ada orang lain yang cenderung bertindak ceroboh, terutama teman dekatnya, tentunya ia akan merasa khawatir. Apalagi Sandra adalah gadis yang cukup nekat. Memang dia tidak bodoh. Tapi terkadang sikapnya yang spontan dan nekat itu bisa jadi malah membuatnya melukai dirinya sendiri.
"Ya aku tahu Res. Tapi hubungan kita kan cuma sekedar pacaran. Ini bukan masalah besar. Semua gadis pasti pernah berpacaran dengan beberapa lelaki bajingan" jawab Sandra mulai acuh tak acuh lagi. Tentu saja dia sangat serius dengan Nico. Bahkan berniat untuk benar-benar menikahinya. Tapi sepertinya tidak perlu ia mengatakan itu kepada Resty. Dia tidak akan mau mengerti dan akan merasa lebih khawatir. Ia justru merasa bahwa kekhawatiran Resty begitu konyol. Mengapa semua orang berpikir bahwa dia sangat menderita karena tinggal bersama pacarnya?
Padahal sejauh ini Sandra merasa bahwa Nico adalah pria yang cukup bisa dipercaya. Meskipun sering menggodanya, tapi hingga sekarang pun dia tidak pernah mencoba memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ia mau. Mereka tidur dengan saling berpelukan setiap malam, paling hanya sesekali berciuman, tidak lebih dari itu.
Mendengar jawaban Sandra yang tidak menganggapnya dengan serius, Resty sedikit kesal. Ia jadi mempertanyakan diri sendiri kenapa harus repot-repot mencemaskan Sandra? Gadis itu sangat tidak sensitif dengan perasaan orang di sekitarnya. Betapa luar biasanya kesabaran yang dimiliki Leo untuk menjadi sahabat dekat gadis ini selama bertahun-tahun sejak mereka kecil.
Ketika kelas pagi selesai, Sandra berdiri di depan Leo dengan memasang wajah dingin. Leo menebak-nebak apa yang akan dikatakan oleh gadis itu. Takut dia akan meminta maaf lagi, atau mengatakan sesuatu yang menjengkelkan, memaksanya untuk berbicara. Tetapi ia masih saja terus mengabaikan keberadaan Sandra dan tetap duduk dengan tenang sambil membaca buku. Meskipun tidak benar-benar membacanya, dia malah sedikit mencuri pandang ke arah Sandra.
"Ketua kelas. Aku meminta izin untuk meninggalkan sekolah karena sesuatu. Sepertinya aku tidak akan mengikuti kelas terakhir. Terima kasih"
Sandra berbicara dengan dingin kepada Leo. Untuk pertama kali ini gadis itu memanggilnya dengan sebutan itu. Setelah selesai bicara, gadis itu berbalik dan bergegas keluar ruangan dengan membawa tasnya. Tanpa menunggu tanggapan dari Leo. Buat apa menunggu, toh Leo pasti hanya akan mengabaikan keberadaannya. Untuk saat ini, Sandra akan mengikuti permainannya. Jangan pikir Sandra tidak bisa mengabaikan keberadaan Leo.
"Wow. Seberapa parah pertengkaran kalian sampai Sandra memanggilmu ketua kelas?" Wisnu terkekeh, kelihatan begitu menikmati pertunjukkan di depannya. Wajah Leo berubah suram, dan dia memukul Wisnu dengan buku di tangannya. Ia jelas terkejut melihat Leo yang biasanya bersikap tenang, bahkan ketika ia mengganggunya sekalipun, tiba-tiba bisa memukulnya tanpa pikir panjang. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang begitu buruk. Tapi tentu saja itu tidak cukup untuk menyurutkan niat jahil pembuat onar nomor satu di sekolah keperawatan.
"Wah wah... jadi kamu dan Sandra benar-benar sudah tamat?", tanya Wisnu dengan nada mengejek, tapi juga penasaran. Ada perasaan senang di hatinya karena Leo yang biasanya bisa memamerkan kemesraannya dengan Sandra, kini berakhir menyedihkan sama seperti dirinya. Selain itu, ini sebagai balasan kepada Leo yang sudah membuat Resty menangis beberapa hari yang lalu.
Wisnu lanjut membuka mulutnya, bersiap mengatakan hal yang ia tahu betul akan membuat Leo kesal: "Ini pasti gara-gara laki-laki kemarin kan? Yah apa boleh buat, mana mungkin kamu bersaing dengan orang sepertinya. Tidak akan ada peluang bagimu untuk menang. Kalau aku jadi Sandra aku juga pasti..."
Kali ini Leo melemparkan bukunya dan mendarat dengan lebih keras di tubuh Wisnu. Membuatnya tidak dapat melanjutkan kalimatnya yang membuat telinga Leo panas.
"Hei! Apa masalahmu?!" Wisnu membalas dengan berteriak.
Leo tidak mempedulikannya. Ia bangkit dan keluar dari ruangan mencari udara segar. Saat ini ia membutuhkan tempat yang memungkinkan dirinya bernafas dengan leluasa. Tanpa gangguan siapapun yang bisa membuatnya naik darah. Emosinya sedang tidak terkontrol hari ini. Jauh lebih buruk dari kemarin.
Di halaman sekolah, ia memandang pelajar yang berkumpul dan mengobrol bersama. Matanya tertuju pada sepasang lelaki dan gadis yang saling bercanda dn tertawa bersama dengan suara keras. Pemandangan yang familiar. Ia seperti sedang melihat dirinya sendiri dan Sandra di masa ketika mereka masih akrab. Betapa Leo merindukan hari-hari itu. Bisakah dia dan Sandra kembali ke masa lalu? Jauh kembali ke masa ketika pria asing itu belum masuk ke dalam kehidupan Sandra.
......
Sandra baru saja turun dari taksi ketika dia kebetulan bertemu dengan Nico yang bersiap mengendarai sepeda dan akan menjemputnya dari sekolah. Gadis itu diam-diam menarik napas lega. Untungnya, dia kembali tepat waktu, sebelum Nico pergi ke sekolah lagi dan akan membuat keributan. Sandra seperti ingin menangis memikirkannya.
"Sandra, kenapa kamu pulang sendiri?", tanya Nico dengan bingung.
Sandra tidak mempedulikan Nico dan berlari melewatinya begitu saja. Mengetahui bahwa dirinya telah diabaikan, pria itu merasa kesal. Apa-apaan ini... yang dilakukannya selama ini hanyalah bersikap baik kepada gadis itu, tapi kenapa dia malah mengabaikannya seperti ini.
Perasaan marah menyelimuti hati Sandra dan seakan mengambil alih kendali tubuhnya. Ia berlari dengan cepat hingga kakinya terbentur sebuah batu di depannya. Sandra roboh.
Melihat itu, tubuh Nico menegang. Dengan cepat ia membuang sepedanya dan berlari meraih pinggang gadis itu, mengangkatnya dari tanah. Gadis ini, mau berapa kali lagi dia akan melukai dirinya sendiri?
"Astaga berhentilah bertingkah ceroboh dan membuat orang lain khawatir!" Meskipun Nico mengatakan itu dengan nada kesal, ia sungguh merasa khawatir. Dia menganggap Sandra lebih penting daripada hidupnya sendiri, tetapi gadis ini malah tidak menghargai tubuhnya sendiri sama sekali.
"Ini semua gara-gara kamu! Kamulah pembuat masalah ini!" teriak Sandra. Matanya berkaca-kaca berusaha menahan air matanya agar tidak meluap keluar.
"Aku?" Nico terlihat kebingungan. Dia bersumpah, kali ini benar-benar tidak melakukan kesalahan apapun! Selama ini ia telah banyak bersikap baik kepada gadis itu, menyiramnya dengan kasih sayang setiap hari. Kali ini apa kesalahannya?