App herunterladen
11.11% Terjebak Di Dunia Novel Terkenal / Chapter 1: Prolog
Terjebak Di Dunia Novel Terkenal Terjebak Di Dunia Novel Terkenal original

Terjebak Di Dunia Novel Terkenal

Autor: YiYang

© WebNovel

Kapitel 1: Prolog

Tangan yang akan berlumuran darah itu mengusap pipi putihnya, dari pipi perlahan menurun ke arah leher, satu tangannya lagi memeluk erat pinggul lawan jenisnya. Sensasi geli terasa aneh, tetapi tidak juga. Ya, itu perasaan aneh yang terjadi saat pria yang di depan mendekatkan dan membenamkan wajahnya.

Napas hangat sangat nyata diikuti oleh rasa dingin yang menyelimuti keadaan. Pria yang ada di depannya bagaikan sedang mencicipi leher gadis itu—

"Hah!!"

Aku terperanjat bangun dari kasur. Melihat sekeliling kamar yang seperti biasa. Aku menutup seluruh wajah dengan telapak tangan. Jika diturunkan, pasti warna wajahku sedang semerah tomat.

"Apa-apaan mimpi itu?! Saking nyatanya aku kira itu beneran ... Ahhh!!"

Aku menendang-nendang selimut dan masih menutup wajah yang sudah seperti habis direbus ini. Aku menghela napas berat dan segera beranjak dari tempat tidur. Pagi ini ada kuliah dan aku sangat benci itu.

Keseharian biasa yang aku jalani. Bersiap untuk pergi ke kampus. Bosan dan malas. Namun, tidak apa-apa, karena inilah jalan kehidupan. Mengalir dan tersendat. Lalu, mengalir lagi. Yah, inilah kehidupan.

Aku pandangi diri di depan cermin. Wajah malasku terpampang seperti biasa. Mengikat rambut dan mengoles parfum di leher—aku teringat kembali mimpi tadi. Sialan, aku seperti gadis mesum saja.

***

Aku berjalan kaki menuju gedung kampus. Jarak dari gerbang menuju ke pintu masuk itu lumayan jauh, jadi selalu kuanggap ini sebagai olahraga harian. Keseharian biasa, damai dan ...

"Hoy, pagi!!" sapa temanku—yah, bisa dibilang teman.

"..."

Aku tak menjawab sapaannya. Itulah diriku. Orang yang malas, tetapi rajin. Hum, bagaimana itu?

Bisa dibilang, aku rajin-rajin saja menjalani hidup. Akan tetapi, tidak untuk bersosialisasi. Mungkin aku bisa hidup normal sampai sekarang karena adanya sekolah. Di sekolah kita diwajibkan untuk bersosialisasi, seperti kerja kelompok, istirahat bersama dan lain sebagainya. Kalau tidak diwajibkan, dapat dipastikan aku akan menjadi orang penyendiri yang menyedihkan.

"Kamu seperti biasa, ya! Males banget. Jawab sapaan wajib aja nggak mau," lanjutnya lagi.

"Emang wajib? Perasaan nggak deh ..."

"Wajiblah bambank!!" amuknya di dekat telingaku.

Ah ... Berdenging sekali.

"Kalau wajib, seterusnya akan aku jawab. Puas?"

"Kok ngeselin, ya ..." gumamnya sambil melihatku.

Yah, dia pasti kesal. Lihat saja urat di kepalanya sampai muncul jelas.

"Adegan yang itu mantap banget tahu!!!"

"Iya bener banget! Apalagi sang MC-nya itu loh. Luar biasa!"

"Roti sobeknya apalagi!!"

Keramaian di belakangku tiba-tiba melundak. Berbicara mengenai hal yang tidak bisa aku mengerti.

"Pagi-pagi udah berisik aja. Berikan sebagian energi semangat kalian padaku." Aku sangat berharap hal itu.

"Lah, kamu belum tahu, ya? Itu loh, novel yang baru-baru ini keluar ...! Kalau diingat-ingat lagi ... MC-nya ...! Kyaaa!"

Hah? Apa ini?

Semangatnya menular, kenapa tidak terjadi padaku?

"Thiarfa! Masa kamu nggak tahu novel itu?! Ih, beneran keren banget–"

Mungkin memang karena Dina, temanku ini terlalu semangat atau sedang memikirkan hal yang berkaitan dengan novel, dia mimisan sambil masih melanjutkan ceritanya. "Din, lebih baik berhentikan dulu itu darahnya–"

"Nggak! Ini bukan saatnya menghentikan darah di hidung!" bantahnya cepat menepis tanganku yang hendak mengusap darah hidungnya, "kamu harus banget baca itu novelnya! Harus—eh, bentar ... masa kamu belum baca novel itu? Padahal 'kan kamu penggemar novel."

"Finansial pribadiku lagi kritis, makanya aku puasa beli novel dan kuota di hp juga dah ludes. Ini aku mau pakai wifi kampus buat online lagi."

"Pantesan. Soalnya novel ini tuh baru rilis kemarin, setelah rilis langsung ... Boom! Terkenal! Orang-orang yang nggak suka sama membaca jadi suka, gara-gara buku itu. Kyaaa, aku pengen baca ulang deh ..."

Lagi-lagi Dina menggila, tetapi kalau dipikir lagi aneh juga. Dina bukanlah orang suka membaca, jika dipilih baca novel dia lebih suka mendengarkan lagu. Semenarik apa novel itu ya? Sepertinya besok aku bakalan makan legenda itu lagi, mie goreng.

***

Hasratku membeli novel sudah menggebu-gebu. Setelah pulang dari kampus, aku langsung tancap gas berlari ke arah toku buku. Ternyata benar, banyak orang yang membawa keluar plastik yang berisikan buku itu dan poster cover buku itu dipajang lebar-lebar di pintu masuk.

Debaran jantungku semakin malaju. Aku berjalan ke arah rak besar yang berisi hanya buku ini. "Pangeran Monster." Itulah judulnya. Covernya ada seorang pria berambut merah tua yang memeluk mesra wanita berambut pirang. Sang pria di gambar ini memakai topeng yang menutup seluruh wajah kecuali matanya yang berwarna emas.

Dari desain karakter sepertinya ini sangat menarik. Lalu, ada tulisan novel dewasa di belakang buku ini. Sangat menarik. Tanpa basa-basi lagi aku langsung ke kasir dan membeli buku tersebut.

"Selamat, Anda mendapat bonus poster mininya," ujar pelayan kasir sembari menggulung poster yang dimaksud.

Aku tak bisa melihat gambarnya karena dia menggulungnya ke dalam. Tidak masalah, aku bisa melihatnya di kos nanti.

Membayar buku sangat menguras kantong, sepertinya aku untuk seminggu ke depan hanya bisa makan makanan legenda itu. Yah, yang penting aku masih makan.

***

Sesampainya rumah aku hanya melepas sepatu dan langsung duduk anteng membuka bungkusnya. Harum buku, cover yang masih mulus, dan poster mini yang digulung lalu dikaitkan karet. Aku membuka poster mini itu terlebih dahulu.

"Wah ...!" Poster ini ternyata memperlihatkan tokoh lainnya selain sang MC. Di belakangnya ada pelayan tua, pria muda berambut cokelat, gadis imut berambut perak, gadis berambut merah tua ... Mungkin ini adik si MC, karena wajah mereka mirip.

Dilihat dari cover dan posternya saja sudah membuatku berdebar ingin membuka halaman pertama.

"Pangeran Monster."

Bercerita tentang dunia sihir dan ras lainnya hidup berdampingan.

Yah, sejauh ini aku dapat memahaminya.

Mereka hidup berdampingan di bawah kepemimpinan Kekaisaran manusia yang agung dan kompeten. Akan tetapi, semenjak kelahiran sang Pangeran. Pihak kuil ramai mendapat wahyu dari Dewa. "Yang Mulia! Pangeran membawa kutukan!"

Wah, Author di buku ini langsung saja membuat si MC menderita. Aku tebak sang Pangeran pasti menderita selama hidupnya.

***

"Hey! Hey! Bangun, dasar pemalas!!"

Aku mendengar omelan tak jelas. Siapa? Di kos ini hanya aku sendirian dan tadi ... Aku 'kan tadi membaca buku, tetapi kenapa bisa tiba-tiba tidur. Apa aku terlalu lelah dengan pelajaran kampus dan tertidur sendiri?

Buk!

Terasa rasa sakit perutku. Pasti tendangan— pola rasa sakit ini seperti telapak kaki yang menghantam keras perutku. Mataku susah sekali terbuka, padahal ingin sekali aku memukul balik. Rasa nyerinya masih saja terasa.

"Wah, benar-benar anak ini ... Bangun ...!"

Tak puas menginjak, sekarang orang ini menarik rambutku dan akhirnya aku terbangun. Saatnya balas dendam–

"...!"

"Akhirnya bangun juga! Ck, nyusahin aja sih! Sana makan, keburu beberapa jam lagi basi," ucapnya sembari melepas rambutku dan berjalan ke pintu. Lalu, pintu tertutup keras.

"..."

Apa ... Ini ...?

Ini di mana? Eh, aku diculik?!

Ya Tuhan, ujian apa yang engkau berikan kepadaku. Apa selama ini karena kehidupanku terlalu santai dan akhirnya diberi yang level expert? Apa karena aku mempunyai musuh—tidak, aku juga jarang bersosialisasi.

Saat ingin berteriak minta tolong, tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan suara yang diinginkan.

Eh ..?! Tenggorokanku rasanya kering banget! Sudah berapa lama aku diculik dan tidak diberi setetes air? Nyawaku lebih terancam oleh tidak ada air daripada oleh manusia.

Aku melihat sekitar dengan seksama. Sebuah kamar. Tembok yang hanya diplester semen, jadi warnanya terlihat suram. Kasur tempat aku sekarang putih kekuningan, bukti sudah lama sekali tidak pernah diganti. Luas hanya seperti garasi mobil dan bentuknya juga, banyak debu dan berpasir.

Jiwa kebersihanku bergejolak saat melihat juga banyak sarang laba-laba yang menggantung. Jika keadaan ruangan ini, dipastikan ada keco—jangan berpikir yang aneh-aneh!

Sekarang tenangkan jiwa. Aku menghirup udara dalam-dalam– "Uhuk!!"

Ah, aku lupa. Kamar ini banyak debu. Cari cara lain untuk memenangkan diri. Yah, aku menurunkan kaki menyentuh lantai penuh debu dan pasir.

"Eww ... Aku harus mencari sapu."

Ada meja rias, karpet, perapian dan meja duduk kecil. Aku memilih segera berjalan ke arah meja rias. Kakiku terasa gemetar saat berjalan.

"Aku lapar ..."

Ternyata tidak hanya lantai, cerminnya juga penuh akan debu. Ah, buram banget kelihatannya. Mau tak mau aku mengusapnya memakai tangan, debu tebal menempel di seluruh telapak tangan. "Eww–!"

Lagi-lagi aku dibuat terkejut. Siapa gadis ini? Rambutnya seperti besi baru yang menggulai ke pinggul. Matanya juga sepery madu—bergerak?! Gadis ini bergerak. Dia juga berkedip-kedip! Apa jangan-jangan dia terjebak di sisi lain cermin ini?

Aku memegang cerminnya lagi dan gadis itu juga mengikutiku. "A, apa? Ini 'kan jelas-jelas aku, tapi ... Tubuh siapa ini?"


Kapitel 2: Prolog (2)

"Eh, cepetan dong siap-siapnya!" seru suara perempuan lainnya dari balik pintu, lalu terdengar langkah kaki yang menjauh dan pengulangan perkataan. Nampaknya ada ruangan lagi sebelah. Ini bukan penculikan, tetapi sesuatu yang lebih parah. Mungkin.

Aku kembali fokus kepada cermin dan menyentuh pipinya. Tubuh dan jiwaku benar-benar terasa. Memastikan lagi mata yang seperti warna madu ini aku melebarkannya dan mengedipkan berulang kali. Rambut perak yang membingkai wajah kecil ini aku uraikan ke depan mata.

"Wah, nyata banget ..."

Cukup lama terdiam memandangi tubuh asing ini, aku berjalan mengecek setiap sisi ruangan. "Ruangan Tertinggal". Ya, itu cocok penggambaran tentang tempat ini atau bisa juga seperti "Rumah Hantu."

Saat hendak kembali ke kasur, rasa penasaran kembali untuk mengecek lemari di pojok kiri kasur. Aku berpikiran, tidak sopan jika asal membuka lemari seseorang, tetapi di situasi aneh ini. Memilih membukanya adalah hal yang terbaik.

Seperti yang aku harapkan, hanya ada dua gaun di sini. Gaun hitam panjang dan pakaian pelayan abad pertengahan.

"Hmm ..."

Aneh, ini aneh. Sudah pasti ini aneh, 'kan?

Aku menyadari keadaan aneh ini dengan wajah malas.

Sialan, aku ada di mana. Jika dilihat dari pakaian tadi, mungkin aku ada di pembuatan suatu drama—mustahil. Apa pihak mereka bisa membuatku berubah fisik drastis seperti ini?

"Pelayan baru!!"

Pintu terbuka kencang dan perempuan berambut cokelat pucat itu maju ke depanku.

Plak!

Satu tamparan dilempar oleh perempuan ini. Perih. Ah, nyatanya kebangetan deh ...

"Masih baru bukannya untuk malas-malasan ya! Kamu ini masih mau hidup nggak sih?"

Perlakuan kejam ini ...

"Cepat pakai seragam dan langsung berbaris di depan ruangan!" ujarnya lagi dan langsung berbalik menutup pintu sama kencangnya.

Perlakuan meremehkan ...

Aku kembali menatap lemari dan membukanya. Pakaian pelayan sama seperti perempuan tadi. Mungkin ini seragam yang dimaksudnya tadi. Cepat-cepat memakainya dan langsung berjalan ke dekat pintu.

Tanganku bergetar saat menyentuh gagang pintu. Dengan segala keberanian aku membukanya dan keluar perlahan. Para perempuan berbaris di depan suatu pintu sama sepertiku.

"Kenapa masih di situ? Cepat baris!" bentak perempuan tadi yang tadi menamparku. Ingin kembali membalas menamparnya tiba-tiba saja naik, tetapi tidak baik jika aku menjadi orang emosional di keadaan seperti ini.

Plak!

Sekali lagi perempuan itu menamparku.

"Jangan mengulanginya lagi," ucapnya kemudian berjalan meninggalkanku.

Si-sialan ...!!!

Aku ingin sekali menamparnya!! Tanganku sudah gemas ingin merasakan panas dari pipi berbintik perempuan itu. Sayangnya hanya bayangan menampar dia saja yang bisa aku lakukan.

"Baiklah, kalian semua. Tuan dan Nyonya akan beraktivitas di pagi ini. Jadi, cepat ke posisi kalian masing-masing."

Instruksi perempuan itu dipatuhi seluruh orang yang berbaris dan meninggalkan tempatnya. Lalu, aku? Aku bingung mau kemana.

"Pelayan baru! Kamu ditugaskan di dapur, cepat jalan!"

Tenggorokanku sudah mulai berfungsi karena aku sempat menenggak air, "Maaf, saya tidak tahu dapurnya di mana!"

"Hmm, bisa ngomong juga kamu, ya. Kalau gitu cepat kamu ikuti dia." Tangannya menunjuk ke arah kananku dan ada punggung orang-orang tadi, "mereka bagian dapur, kamu bisa mengikutinya saja."

Aku hanya mengangguk dan berlari kecil mengejar ketertinggalan. Ada dua orang di depanku dan aku mengikuti mereka setiap ada belokan, naik tangga, turun tangga dan keluar pintu. Setelah keluar dari pintu, akhirnya aku bisa melihat luar adalah sebuah taman dengan rumput cukup terawat. Aku menghirup udara segar. Kebetulan angin berhembus pelan mengibaskan rambut perak ini. Sedikit menggangu, ingin aku ikat saja.

Tatapan tajam aku rasakan dan terasa dari dua pelayan di depan. Tak berselang dari sesi saling tatapan denganku, mereka langsung berpencar. Yang rambut biru tua ke kiri dan hijau muda ke kanan.

Aku pun sendirian di tengah taman yang luas, ditinggalkan. Lalu, tatapan apa tadi. Rasanya tajam dan dingin sekali. Apa karena aku mengikuti mereka seenaknya saja dan bersikap tidak tahu diri? Mungkin saja.

'Dapur ke arah mana ya?'

Aku mengandalkan indra penciuman. Kalau namanya dapur pasti akan mengeluarkan aroma makanan, bukan?

Aku terus berjalan dan mengikuti insting penciuman. Aroma daging yang dipanggang semakin pekat.

"Sekitar sini pastinya!" Aku langsung berlari ke arah aroma, ada sebuah gubuk kecil. Mungkin dapurnya ada di sebelah itu—Bruk!

Aku menghantam sesuatu saat berbelok di tikungan kecil. "Aww ..."

"Maafkan saya!!" teriakan menyadarkanku dan langsung mendongak. Nampaknya hanya aku yang terpental dan jatuh, sedangkan orang yang aku tabrak sehat-sehat saja. Aku langsung bangun dan membersihkan debu yang meninggalkan jejak menempel di sekujur rok.

"Tidak apa-apa, aku yang salah atas kejadian ini. Jadi, tidak perlu minta maaf–"

"Tidak, ini salah saya karena tidak menyadari kehadiran Anda!" tukasnya cepat lagi sambil menunduk gemetar.

Ada masalah padanya.

Aku dengan lembut menyentuh bahunya, "Angkat wajahmu, kamu 'kan tidak bersalah."

Awalnya Ia agak ragu-ragu, tetapi akhirnya dia membuka matanya. "Kamu pelayan juga ternyata?!"

Hum? Ada apa reaksinya ini. Aku seorang pelayan—pasti dari gaun yang aku pakai, dia langsung mengiraku seorang pelayan.

"Yah, seperti ... Itu(?)"

Sangat membingungkan aku harus menganggapnya apa.

"Aku mengira Kamu itu seorang bangsawan loh. Pas tabrakan aku hanya melihat rambut perakmu berkilau, jadi aku langsung kira seorang bangsawan. Hehehe, maaf ya."

Pengakuannya membuat aku berpikir keras, terhanyut dalam pemikiran. Bangsawan? Pelayan? Suatu seragam abad pertengahan? Sebuah bangunan yang besar di depanku? Taman yang indah dengan banyak patung? Dan ... Rambut orang-orang yang beragam dan unik?

"Hahh ..." Aku menghela napas berat dan memegang kening yang sudah cenat cenut.

Tempat di mana saling merendahkan dan kasta itu 'kan ... Lalu, juga ciri-ciri semua ini ... Di sini benar-benar abad pertengahan Eropa! Apa aku kembali ke masa lalu? Ah, tidak. Mana mungkin di masa lalu banyak orang yang rambutnya aneh seperti ini, apalagi tubuhku juga berambut perak.

"Kamu kenapa? Pusingnya nambah yah? Aduh, gara-gara aku kamu jadi begini—ayo ke tempat obat–"

"Ti, tidak perlu. Aku hanya pengen tahu di mana dapur ..."

Kepalaku semakin pusing jika masih mendengar ocehannya.

"Dapur? Itu tempatnya sudah kelihatan dari sini," ujarnya menunjuk bangunan yang mungil dekat bangunan yang kelihatan seperti, bangunan utamanya. Mungkin dapur memang ditaruh dekat dengan rumah utama ...

Aku tanpa berpikir panjang meninggal orang tadi dan menuju bangunan mungil itu. Tempat itu ada cerobong asap yang mengeluarkan aroma-aroma dari masakannya.

Aku mengetuk pelan dan mengintip ke dalam. Tak habis pikir ternyata dapur adalah tempat yang mirip seperti neraka. Panas!

"Jangan lelet! Cepat masukan bumbunya, terus masukan itu ke tungku!!"

Suasananya sangat riuh seperti sedang perang. Ha, ha, ha ... Aku ditugaskan di sini? Jangan main-main Kau si cewek berbintik!!

"Hoy, kamu pelayan baru itu 'kan? Cepat sana cuci peralatan masaknya, sebentar lagi bakalan dipakai!!"

Cih, sial. Aku ketahuan sedang mengintip. Kalau saja tidak ketahuan, pasti aku sudah pergi dari tempat ini. "Iya!"

Mau tak mau, jalani saja yang ada dihadapanku. Gulung baju lengan sampai ke siku, aku pun langsung mencuci sesuai perintah.

'Ini sih pekerjaan yang ringan. Tidak masalah!'

Yah, itulah pemikiran awal polosku ...

Brak!

"Nih, dicucikan juga."

"Cepat yah, ini juga."

"Cuci sampai minyaknya hilang! Nanti mau dipakai lagi!"

Baru satu, dua peralatan yang sudah aku cuci. Langsung datang menumpuk sepuluh lagi. Terlebih lagi sabunnya susah sekali mengangkat minyak atau kotorannya!

'Akhh!! Aku tarik kembali perkataan pekerjaan ringan tadi! Pekerjaan dapur lebih melelahkan daripada pekerjaan biasanya!!!'


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

>15.000 Wörter für die Rangliste benötigt.

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C1
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank N/A Macht-Rangliste
Stone 0 Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen

tip Kommentar absatzweise anzeigen

Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

ICH HAB ES