Kinan tersentak dari tidur. Ia langsung terduduk, bermimpi yang sama saat pingsan waktu itu. Tangan seorang anak kecil, menggapai dan menariknya keluar agar tak terjatuh ke dalam jurang. Meskipun kecil, tapi anak itu mampu menariknya keluar, dan mengajak bermain bersama.
Wajah Kinan basah keringat. Semalam ia begitu lelah, hingga tak sempat membereskan tubuhnya sebelum beranjak tidur. Seharian ia berkeliling mencari tempat makan lain, yang lebih menenangkan. Kemudian pergi keluar kota menghilangkan kesuntukan yang melanda.
Kinan sudah melihat video kekerasan yang ia lakukan. Sial sekali, kenapa tidak dari awal mereka merekam. Hingga khalayak ramai bisa tau, siapa yang memulai dan memancing keributan.
Kinan lalu meraih ponsel yang tergeletak di sebelah pembaringan.
Ada beberapa telepon dari MeTi atau Toni yang tak ia jawab. Pria maniak itu jika sedang tak di rumah, ia akan selalu menghubungi Kinan. Meminta service dari berbagai cara, kalau ia sedang sange berat.
Kinan melempar lagi ponsel itu ke samping, dan berjalan menuju kamar mandi. saat ini sudah pukul delapan pagi.
Gadis itu mematut wajahnya di cermin besar yang ada di kamar mandi. Dan kembali terbayang mimpi barusan. Sudah dua kali, ia memimpikan hal yang sama. Siapa anak kecil itu?
Ia lalu meraba perut, apa mungkin dia hamil?
Sedangkan setiap 'main', ia bisa pastikan tak ada benih yang masuk ke dalam rahimnya.
Kinan menyibak rambut ke belakang. Ia benar-benar merasa tidak baik-baik saja sekarang.
Ia kembali ke atas ranjang, dan berbaring. Mengangkat selimut tebal itu hingga menutupi sampai ke dada. Ponsel yang tadi dilempar di atas ranjang, diraihnya lagi.
Kinan mencari-cari jawaban atas dugaannya itu. Menjelajahi pencarian di internet, mengenai ciri-ciri kehamilan.
Tapi, tak ada yang ia rasakan, termasuk rasa mual saat bangun tidur. Tak ada rasa kram di perut atau pun flek. Namun, ia masih merasa tidak baik-baik saja.
Ia lalu membuka sebuah aplikasi chat berwarna hijau di handphone. Dan memulai untuk mengirimkan pesan pada Putra. Entah kenapa, akhir-akhir ini, meskipun sering kali pertemuannya dan Putra berakhir buruk, ia selalu ingin menghubungi pemuda itu.
Kinan :[ Tra…]
Pesan itu tercentang dua dan langsung berubah warna. Tapi, seperti diabaikan. Pesan itu tak langsung berbalas.
Kinan : [Tra… [Smiley menangis]]
Langsung dibaca, dan seketika Putra terlihat mengetikkan balasannya.
Putra : [Loe kenapa, Nan?]
Kinan benar-benar menangis, ia tak tahu kenapa. Perhatian Putra begitu besar, dan hatinya pun tersentuh. Ada semacam tekad di dalam kalbu, ingin pergi bersama Putra ke dunianya yang cerah.
Kinan tak menjawab, ia malah memeluk ponsel itu. Meletakkan di dada, dan air matanya kian berjatuhan.
Tak lama, telepon dari Putra berdering. Ia buru-buru menghapus air mata dan menyetabilkan kembali suaranya, lalu mengangkat telepon. Putra tak boleh tau bahwa ia bena-benar menangis.
{ Nan… Loe kenapa? }
Kinan mencoba menahan isak tangisnya. Perhatian begini, yang membuatnya lemah.
"Gu… hmm…"
Tapi tak berhasil, ia pun menangis.
Putra langsung memutus sambungan telepon dan segera menyusul ke rumah si gadis binal.
Maya sempat melihat Putra keluar, pemuda itu bahkan tak sarapan dan lupa memberi tahu ibunya, ia akan keluar.
Maya terduduk lesu di kursi meja makan. Anaknya benar-benar telah berubah. Ia akan mencari tahu, siapa yang telah membuat Putra menjadi seperti itu.
***
***
Putra sudah berada di rumah Kinan. Gadis itu belum keluar membukakan pintu. Jangan sampai ia memanjat pagar lagi. Dan jika kali ini ia masih melihat Toni di sini, tinjunya sudah terkepal dan akan melayang menghujam wajah tua bangka itu.
Kinan akhirnya keluar membukakan pagar untuk Putra. Wajah gadis itu sedikit pucat.
"Nan, loe nggak apa-apa?"
Putra meraih wajah cantik itu, dan memastikan Kinan baik-baik saja. Suhu tubuhnya juga tak panas.
Kinan berusaha menahan air mata. Dan berusaha terus mengalihkan pandangan agar tak menatap Putra.
"Nan, lihat gue!"
Kinan tak bisa beralih lagi, mata indahnya yang sudah berkaca-kaca tertangkap sorot mata Putra dan langsung meneteskan air yang sudah menggenang.
Putra seketika khawatir.
Perlahan Kinan melepaskan tangan Putra yang masih memegang pipinya, dan masuk ke dalam rumah.
"Nan, jawab gue. Loe kenapa?"
Putra menahan lengan Kinan saat sudah berada dalam rumah.
"Loe mau minum apa?"
Gadis itu tak memutar tubuh, ia masih membelakangi Putra. Ia berusaha menahan diri untuk tidak hanyut dalam kesedihan yang tak bersebab.
"Ntar aja."
Putra melepas tangannya di lengan Kinan, dan berjalan ke hadapan gadis itu.
Kinan menunduk, ia tak bisa melihat wajah Putra. Ia tak ingin, membuat pemuda itu semakin khawatir.
"Nan, gue ada di sini buat loe. Gue…"
Kata-kata itu terhenti, karena tubuhnya sudah dipeluk Kinan, yang menangis semakin terisak. Kinan membenamkan wajahnya di bahu Putra. Ukuran tubuh mereka hampir sama. Sama-sama tinggi semampai.
Putra mengangkat tangannya, karena terkejut. Lalu perlahan ia turunkan kembali, dan menepuk-nepuk punggung Kinan lembut, menenangkan.
"Keluarin gue, Tra!"
Kinan berujar di sela tangisnya.
Putra salah tanggap, ia pikir Kinan memintanya untuk melakukan itu, hal yang sangat ingin ia tahan sekuat tenaga.
"Gu… gue…"
Putra gugup, tangannya yang tadi menepuk punggung Kinan terhenti seketika.
"Keluarin gue dari dunia kelam ini, Tra."
Kali ini, Kinan memperjelas.
Putra pun mengangguk paham.
"Gue capek, Tra, capek… Gue mau pergi sama loe. Kemana pun loe bawa gue."
Putra tersentak, permintaan yang tak mungkin bisa ia wujudkan segera. Karena rintangannya sangat banyak di hadapan.
Pemuda itu tak menjawab, ia kembali menepuk lembut punggung Kinan.
Setelah beberapa saat, akhirnya gadis itu tenang. Kini mereka sudah duduk di sofa tamu. Putra masih menatap Kinan yang menunduk di sofa seberang, menunggu gadis itu untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi padanya.
Lima belas menit berlalu. Putra masih setia menunggu.
"Tra, makasih loe udah peduli sama gue."
Kinan akhirnya memulai, meskipun tetap dalam tundukkannya yang terdalam. Putra tersenyum kecil, ia tak ingin menyela kata-kata Kinan, walau tak terdengar jelas olehnya apa yang barusan Kinan katakan.
"Gue… Loe pasti udah tau gue gimana?"
Kali ini cukup jelas terdengar, Kinan sedikit mengangkat wajah, Putra sudah bisa melihat bibir mungilnya yang bergetar, kelopak yang menutup mata indahnya yang sembab, dan hidung kecil bangir milik si binal nan cantik.
Putra masih tersenyum kecil, ia tau Kinan gadis seperti apa, jalang dan tak ubahnya seorang pelacur. Tapi, entah kenapa, dorongan dari dalam dirinya, masih ingin terus memedulikan perempuan cantik itu. Ingin melindungi dan memberinya kehidupan baru yang lebih layak.
"Loe… juga pasti udah tau kalau kemaren itu di sini…"
"Ya, gue tau…"
Putra memotong ucapan Kinan yang terbata-bata. Ia tidak ingin mendengar pengakuan yang sudah jelas. Dan tidak ingin mendengar Kinan menyebut nama Toni, setidaknya untuk saat ini. Ia sangat kesal sekali dengan satu nama brengsek itu.
Kinan mengangkat wajah. Bola mata indah itu lagi-lagi membulat. Ia tak percaya dengan senyuman si ganteng di hadapannya.
"Kenapa loe…?"
Putra mengangkat bahu, membuat Kinan lagi-lagi menghentikan kata-katanya.
"Gue nggak tau, Nan. Jangan loe tanya alasannya."
Putra menarik nafas dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
***
***
Quote Kinan
"Tuhan kucinta dia... Kuingin bersamanya..."
.
.
.
hehehe