App herunterladen
20.76% BARA / Chapter 27: Calon Mantu

Kapitel 27: Calon Mantu

Bara masih pulas tertidur ketika Smartphone miliknya berdering dengan begitu nyaring. Ia mengerjapkan matanya lalu meraih Smartphone itu. Mama? Bara dengan malas mengangkat panggilan itu tanpa membuka matanya.

"Hallo, kenapa Ma?"

"Kapan balik Madiun? Tolong pegang dulu butik Mama, Bar."

"Aduh, Ma. Di sini kerjaan Bara banyak, Ma. Kenapa sih nggak cari orang kepercayaan?" Bara benar-benar malas, bisnis dia saja tanpa dia awasi langsung jalan semua kok, yang di OKI juga.

"Haduh, cuma butik kecil. Please deh dua hari aja deh."

"Mama mau kemana sih?" Bara akhirnya membuka matanya.

"Ke Lombok, cari mutiara."

Sontak Bara melotot, cari mutiara?

"Oke, tapi dengan satu syarat." guman Bara dengan semangat bangun dan duduk di kasurnya.

"Sejak kapan kamu minta syarat tiap Mama minta tolong?" tanya suara itu penuh selidik.

"Halah, kali ini saja, Ma. Nanti sekalian tolong Carikan Bara liontin mutiara, sama perhiasan apapun deh yang bagus."

"Buat siapa?" suara itu tampak terkejut, Bara mau beli perhiasan? Beli mutiara?

"Buat calon mantu Mama lah! Buat siapa lagi memangnya?" Bara kembali merebahkan tubuhnya.

"Apa? Kamu sudah punya pacar?" tanya suara itu memekik tak percaya.

"Katanya suruh move on, katanya udah pengen minta cucu?" tanya Bara sambil mengerucutkan bibirnya.

"Wah jelas dong. Orang mana? Cantik?" tanya suara itu antusias.

"Orang Solo, cantik banget. Kirana lewat deh!" promosi Bara sambil tersenyum simpul. "Dia bidan, Ma."

"Woo, kamu sekarang sukanya sama yang bau-bau orang medis gitu ya? Mentang-mentang kemarin nggak jadi dijodohkan sama dokter?"

"Bukan gitu juga sih, intinya sama yang ini Bara cocok banget!"

"Iya deh, tapi hari ini sampai dua hari ke depan pulang! Urus dulu butik Mama, nanti Mama belikan pesanan mu!"

"Siap Bu Bos! Siang ini on the way balik Madiun deh." guman Bara bersemangat.

"Oke Mama tunggu, hati-hati."

Bara tersenyum, ia segera bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Bersiap-siap untuk sejenak pulang ke Madiun. Tapi tentu saja sebelumnya ia harus pamit dulu pada Septi. Supaya gadis itu tidak menganggapnya kabur, atau apalah.

Sejak bertemu dengan sosok itu hari Bara jadi lebih berwarna. Ia lebih semangat menjalani hari-harinya. Bara sudah selesai mandi, ia segera berganti pakaian. Sebelum keluar ia merogoh Smartphone miliknya, lalu menghubungi nomor Septi.

"Halo?"

"Selamat pagi cantik."

"Ini sudah siang, Abi!" guman Septi sambil tertawa.

"Eh iya kah? Baru jam 10 lho, Sep." Bara terkekeh, iya deh bagi Bara jam 10 mah pagi, bukankah orang-orang juga menyebutnya jam 10 pagi ya?

"Sianglah masuknya, baru bangun? Pesanku tidak kau balas?"

Bara tersenyum, sekarang ada yang ngambek kalau pesannya tidak dibalas. Rasanya Bara balik jadi sepuluh tahun lebih muda.

"Kan baru bangun, langsung nelpon. Iya deh nanti aku balas ya." Bara keluar dari apartemennya, lalu melangkah ke lift untuk turun ke lantai bawah.

"Sudah mau ke warung?"

"Mau ke klinik bersalin, mau pamit sama bidannya yang cantik ini."

"Pamit? Mau kemana?" tanya suara itu tampak terkejut, yang sontak membuat Bara tersenyum penuh arti.

"Disuruh Mama balik dulu ke Madiun, sekitar dua hari lah. Nggak apa-apa kan?" tanya Bara menggoda.

"Oh, ya nggak apa-apa lah." jawabnya singkat.

"Nggak kangen?" Bara menekan tombol lift untuk turun ke bawah.

"Hmmm ... kayaknya enggak."

"Yang benar?" Bara terkekeh, ia tidak peduli seorang bapak-bapak yang berdiri sampingnya menatapnya penuh selidik.

"Benar ah! Sudah dulu deh kalau gitu, mau nemenin Dokter visit ibu yang habis melahirkan."

"Oke, aku perjalanan ke klinik ya, pengen ketemu sebentar saja!"

"Oke, hati-hati."

Bara kembali memasukkan Smartphone miliknya, lalu melangkah keluar ketika pintu lift terbuka. Ia berjalan menuju mobilnya yang dia parkir di paling pojok. Kenapa rasanya berat balik ke Madiun? Apa karena sekarang ada Septi?

Bara menggelengkan kepalanya pelan, ia kemudian masuk dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Ia harap seminggu lagi ia mendapat jawaban yang sesuai harapannya. Semoga ....

***

"Hai, sudah mau berangkat?"

Bata tersenyum ketika gadis itu kemudian keluar menemuinya di depan klinik. Wajahnya polos tanpa makeup, namun begitu cantik, dan Bara suka itu.

"Setelah ketemu kamu, aku akan berangkat." gumannya lalu melangkah mendekati Septi.

"Hati-hati ya, berapa lama di sana?"

"Nah kan, sudah ada tanda-tanda bakal kangen kan?" goda Bara sambil terkekeh.

"Apaan sih, kan cuma tanya!" sontak wajah Septi memerah, dan Bara dibuat gemas dengan betapa manisnya wajah itu.

"Cuma dua hari, aku akan segera kembali."

Septi hanya mengangguk perlahan, wajahnya masih tampak memerah.

"Jangan lupa janjimu padaku." guman Bara lalu mengulurkan tangannya.

Septi membalas uluran tangan itu, matanya membulat menatap Bara. "Janji apa?"

"Jawabanmu atas permintaanku, kapan aku bisa melamar mu?"

Sontak wajah Septi makin memerah, walau ia masih ragu, namun rasanya laki-laki ini serius ingin segera menikahinya. Ia dapat melihat dari sorot mata itu.

"Tunggu saja, kan belum ada seminggu."

"Baiklah, aku akan menunggu. Aku harap jawabannya sesuai dengan harapanku."

"Memang apa harapanmu?" tanya Septi yang memberanikan diri menatap langsung ke dalam mata itu.

"Harapanku bulan depan bisa menikahimu."

"Hey, serius mau secepat itu?" Septi tersentak, wajahnya makin memerah.

"Serius lah! Mamaku sudah cerewet minta dibuatkan cucu." Bara terkekeh, benar bukan? Susahnya jadi anak sulung seperti ini rasanya, selalu di buru-buru nikah, kasih cucu, dan lain-lain.

"Kalau aku belum siap?"

"Ya apa boleh buat, aku akan tunggu sampai kamu siap untuk aku nikahi. Jangan khawatir." Bara menghela nafas panjang, "Aku berangkat ya, kamu jaga diri baik-baik."

Septi menatap sosok itu, kenapa rasanya berat harus berpisah dengannya selama dua hari?

"Jangan risau kan aku, aku janji akan baik-baik saja."

"Oke, sampai jumpa." Bara tersenyum, ia melambaikan tangan lalu melangkah masuk ke dalam mobilnya.

Septi balas tersenyum, ia melambaikan tangan mengantar kepergian Fortuner itu. Hingga kemudian mobil itu lenyap dari pandangan Septi, baru gadis itu kembali masuk ke klinik tempatnya bekerja.

***

"Ma ... Bara pulang!" teriaknya ketika sudah sampai rumah.

"Lho, mana?" tanya mamanya ketika menemukan Bara hanya datang seorang diri.

"Mana apanya?" Bara menggaruk kepalanya heran, perasaan mamanya itu tidak pesan apa-apa kan?

"Calon mantu Mama lah, apalagi memangnya?"

"Astaga, masa iya sih aku bawa pulang, Ma?" Bara mendengus kesal, bisa dicincang bapak Septi nanti, dan bukankah kakak dia dokter? Bisa-bisa ia disuntik sianida kalau macam-macam.

"Lho setidaknya Mama pengen kenalan gitu, Bara."

"Siap-siap saja lah, bukan depan pengen Bara lamar nih." ujar Bara lalu duduk di sofa.

"Sudah seyakin itu?"

"Tentu, sangat yakin malahan, Ma!"

"Bilang Papamu, biar bulan depan siap-siap melamarnya untukmu!"


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C27
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen