App herunterladen
6.92% BARA / Chapter 9: Desas-desus

Kapitel 9: Desas-desus

"Istirahat lah di sini, tidak perlu masuk kerja dulu!" guman Bara yang sudah rapi dengan kemeja dan dasinya itu.

"Bener nggak apa-apa, Mas?" tanya Hanifa ragu, ia belum pernah membolos.

"Bener lah, jangan khawatir. Istirahat lah, kalau lapar dan malas masak, pesan aja go food!" pesan Bara kemudian meraih tas dan jasnya. "Aku pergi dulu!"

Hanifa hanya mengangguk, ia duduk di sofa sambil meluruskan kakinya. Rasanya seluruh badannya tidak karuan. Pegal setengah mati! Sejenak Hanifa berpikir, apa sebenarnya yang ada dipikiran bos mudanya itu? Kenapa hanya dalam waktu satu hari bisa memutuskan untuk menikahinya? Dia nggak sedang mabuk kan semalam? Rasanya tidak! Tidak tercium bau alkohol dari mulutnya. Atau ia sedang kehilangan kesadaran karena efek narkoba? Rasanya tidak juga!

Ahh ... Hanifa jadi pusing memikirkan apa yang sebenarnya terjadi! Ia kemudian melangkah kembali ke kamar, rasanya ia ingin tidur seharian!

***

"Pagi Pak Bara!" sapa Silfi ketika Bara hendak melangkah masuk ke ruangannya.

"Pagi." jawabnya singkat dengan senyum simpul.

"Pak Bara, ini ada beberapa berkas yang harus di tandatangani. Saya yang urus karena Hanifa sampai sekarang belum ada tanda-tanda masuk, Pak." Nisrina berlari menyusul Bara sebelum bos muda itu masuk ke ruangannya.

"Oh, Hanifa sakit. Surat izin dokternya sudah sampai ke saya!" jawab Bara lalu membuka pintu ruang kerjanya. "Bawa sini biar saya baca dulu berkasnya!"

Nisrina hanya mengangguk dan menyerahkan berkas-berkas itu. Hanifa sakit? Sakit apa? Kemarin ia baik-baik saja rasanya. Nisrina segera kembali duduk ke kursinya. Silfi bergegas mendekat ke meja Nisrina.

"Pak Bos tadi bilang apa? Hanifa sakit?" tanya Silfi setengah berbisik.

"Iya, padahal kemarin dia baik-baik saja kan? Nggak hujan pula!" jawab Nisrina ikut berbisik.

"Kemarin dia yang urus berkas rolling manajer pemasaran untuk bulan depan, dan terakhir aku lihat dia telpon Pak Bara mau minta tanda tangan." jelas Silfi masih berbisik.

"Lantas?" tanya Nisrina mulai kepo.

"Dia disuruh ke apartemen Pak Bara!" guman Silfi dengan suara yang begitu lirih.

"Apa?" Nisrina hampir berteriak. "Serius?"

"Serius!" Silfi mengacungkan dua jarinya. "Terus yang mengantarkan berkas-berkas itu kemari untuk dibawa Pak Indro ke Surabaya kemarin itu Pak Bara!"

Nisrina benar-benar tidak percaya, jangan-jangan ....

"Jangan-jangan ...." Silfi menatap Nisrina dengan wajah penuh penasaran.

"Apakah kamu berpikiran yang sama dengan apa yang aku pikirkan, Sil?" Nisrina memandang gadis itu tanpa berkedip.

"Sepertinya kita sepemikiran! Ayo kita telpon Hanifa!" guman Silfi lalu merogoh saku celananya.

Mereka tidak sabar menunggu panggilan itu diangkat, namun sayang ... berkali-kali mereka memanggil nomor itu, si pemilik nomor sama sekali tidak mengangkat panggilan itu. Kemana dia?

"Nggak diangkat!" desis Silfi kesal!

"Coba lagi!" Nisrina masih belum mau menyerah, ia ingin mengintrogasi sekretaris pribadi itu, apa yang sebenarnya terjadi hingga karyawati yang paling rajin dan tidak pernah bolos itu hari ini tidak masuk.

"Nggak diangkat nih!" Silfi sudah menyerah, kemana bocah itu?

"Masih tepar kali, pasti nggak cuma sekali dua kali digarap sama Pak Bos!" guman Nisrina sambil menahan tawa.

"Aku juga mau, semalam suntuk pun mau kalau yang gituin cowok keren macam Pak Bara itu." desis Silfi sambil geleng-geleng kepala.

"Astaga, dasar mesum! Pak Bara-nya yang nggak mau sama kamu!" bisik Nisrina lalu kembali fokus pada berkas-berkas di mejanya.

"Eh, sembarangan. Gini-gini servisku oke, Neng!" guman Silfi lalu terkekeh. Siapa juga yang nggak mau disentuh laki-laki segagah Pak Bara? Ahh ... pikiran Silfi melayang kemana-mana.

***

Hanifa menggeliat, badannya sudah lebih ringan dan enakan. Sudah tidak seremuk tadi rasanya. Ia melirik Smartphone-nya. Dan tersentak luar biasa ketika mendapati banyak sekali panggilan masuk. Dari Nisrina, Silfi, dan Regina. Ahh ... pasti mereka hendak bertanya padanya kenapa ia tidak masuk hari ini.

Hanifa kembali hendak meletakkan Smartphone miliknya ketika kemudian pesan itu masuk. Dari Pak Bara!

'Han ... aku mau makan siang nih, mau aku jemput sekalian? Makan siang berdua?'

Hanifa tersenyum membaca pesan itu, sebenarnya ia ingin tapi ia mau pakai baju apa? Ini saja ia pinjam kaos dari Bos nya itu.

'Nggak usah Mas. Aku makan di sini saja.'

Hanifa masih malas kemana-mana, kemaluannya masih cukup pedih. Ia meletakkan kembali Smartphone-nya, kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Jadi begini rasanya jadi dewasa? Wajah Hanifa memerah seketika ketika membayangkan momen-momen yang telah ia lewati semalam bersama bosnya itu.

Ia hendak memejamkan matanya kembali ketika suara langkah kaki itu terdengar. Siapa yang datang? Sontak Hanifa was-was, ia bergegas bangkit dan hendak berdiri ketika kemudian sosok Bara muncul dari pintu kamar.

"Kamu sudah makan?" tanyanya sambil melangkah masuk ke dalam kamar.

"Belum, lho Mas kenapa sampai sini?" tanya Hanifa heran.

"Antar makanan sama baju buat ganti bajumu kemarin." Bara meletakkan plastik putih dan paperbag itu di atas kasur.

"Terimakasih, Mas." guman Hanifa tak menyangka seperhatian ini bos mudanya itu.

"Jangan sungkan-sungkan, Han." Bara mengelus lembut pipi itu, rasanya hasrat itu kembali muncul. Puasa tiga bulan membuat Bara begitu menggebu-gebu ketika mendapatkan pelampiasan seperti ini.

"Han ...." bisik Bara setengah memohon.

Hanifa menatap mata itu, mata yang penuh harap itu seolah menghipnotis Hanifa. Ia hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Bara tidak mau membuang-buang waktu, ia segera melepaskan kemejanya, lalu mendorong tubuh itu jatuh ke kasur.

"Han ... menikahlah denganku." mohon Bara lagi sebelum ia memulai permainannya. Hanifa tidak menjawab, ia hanya memejamkan matanya, pasrah dengan segala sentuhan itu.

Bara makin beringas ketika mangsanya hanya pasrah seperti itu. Kirana! Kenapa malah gadis itu yang muncul di kepalanya? Kenapa bahkan di saat Bara menggauli gadis lain, bayangan gadis itu tidak mau hilang dari kepalanya? Kenapa?

"Mmaaasss ... ppeellaann ...." rintih Hanifa ketika permainan Bara makin kasar.

Bara tidak menggubris rintihan itu, pikirannya malah fokus pada Kirana, kenapa gairahnya makin membuncah ketika bayangan gadis itu hadir dalam pikirannya? Ahhhhhh ... Bara menatap pilu wanita yang sedang ia tindih itu. Rasa berdosanya makin bertambah. Bara makin mempercepat ritme permainannya, hingga ketika puncak kenikmatan itu sudah ia raih, ia menghentakkan tubuhnya dan menyelesaikan permainan itu.

Nafasnya tersengal-sengal, ia menjatuhkan dirinya tepat diatas tubuh itu.

"Han ... kapan kau akan menjawabnya?" tanya Bara dengan nafas yang masih belum teratur.

"Beri aku waktu, Mas." bisik Hanifa lirih. Ia memberanikan diri melingkarkan tangannya ke tubuh bersimbah peluh itu.

"Sampai kapan?"

"Sampai saatnya aku menjawab."

Bara pasrah, ia akhirnya tidak bertanya lagi. Ia diam menikmati pelepasan yang baru ia rasakan. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa sulit sekali menjawab permintaan nya? Kenapa sulit sekali bilang iya? Apa yang jadi pertimbangan gadis itu? Toh Bara sudah berulangkali menidurinya! Merampas kesuciannya? Sungguh Bara tidak habis pikir!


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C9
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen