App herunterladen
4.61% BARA / Chapter 6: Coba Lupakan

Kapitel 6: Coba Lupakan

Bara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bagaimana dia mau melupakan Kirana kalau sekarang ia tidur di tempat dimana ia sering memadu kasih dengan gadis itu? Kepala Bara rasanya begitu pusing, belum lagi hasrat itu mendadak muncul di saat seperti ini. Lalu dengan siapa Bara akan melampiaskan gejolak nafsu kelelakiannya itu?

Pergi ke pub? Mencari one stand night? Rasanya tidak mungkin, Bara belum pernah melakukannya sama sekali! Seumur-umur baru Kirana gadis yang dia tiduri. Ia belum pernah mencoba gadis lain. Sama sekali belum!

Bara bangkit, ia memijit kepalanya yang rasanya seperti mau pecah itu. Bara benar-benar benci dengan situasi seperti ini! Ia melangkah menatap jalanan di luar dari jendelanya. Ketika kemudian Smartphone miliknya berdering. Bara mengerutkan dahinya, siapa pula menelepon nya di saat ia sedang seperti ini?

Nomornya tidak dikenal? Dengan tergesa Bara segera mengangkat panggilan itu.

"Halo ...."

"Pak Bara? Saya Hanifa, Pak." guman suara dari seberang itu.

"Oh, kenapa Han?" Bara masih bersandar di tembok sambil memijit keningnya.

"Bapak ada di mana? Saya butuh tanda tangan Bapak untuk berkas yang malam ini juga akan dibawa ke Surabaya oleh Pak Indro."

"Harus sekarang?" tanya Bara heran.

"Iya, harus sekarang, Pak. Karena ini tadi baru diberikan ke saya juga surat dan dokumennya."

"Okelah, saya di apartemen. Saya kirim sharelock-nya." guman Bara lalu memutuskan sambungan telepon. Ia segera mengirim lokasi apartemennya ke nomor itu, nomor sekertaris papanya.

Bara kembali duduk di ranjangnya, ia sibuk memainkan Smartphone itu, dengan jantung berdebar ia membuka Twitter, dan berita itu masih hangat juga! Banyak yang memuji kecantikan Kirana, mengatakan bahwa ia pantas bersanding dengan sosok Yusrizal yang gagah minta ampun itu katanya. Hah! Mereka tidak tahu saja bahwa anak presiden itu cuma dapat bekas Bara. Gadis yang sudah ditiduri Bara berkali-kali itu.

Bara tersenyum kecut, haruskah ia bangga? Tidak! Apa yang bisa dibanggakan? Bangga karena sudah meniduri gadis itu? Tidak, itu bukan kebanggaan! Bara sebenarnya tidak rela juga dia jatuh ke tangan laki-laki itu, Bara ingin menikahinya, bukan hanya mendapatkan kesucian gadis itu, meniduri gadis itu!

Bara menutup akun Twitter-nya, malas betul harus baca tweet yang membahas gadis yang sejujurnya masih begitu Bara cintai itu. Ia kemudian meletakkan Smartphone nya di meja, lalu kemudian tersentak ketika mendengar suara ketukan pintu. Pasti itu Hanifa!

Bara bangkit lalu bergegas keluar dari kamar dan membuka pintu. Gadis itu sudah berdiri di sana, membawa beberapa map di tangannya.

"Masuk!" ujar Bara lalu membuka pintu lebar-lebar.

Gadis itu hanya mengangguk pelan, lalu melangkah masuk. Bara menutup pintu itu, lalu ikut melangkah ke dalam.

"Jadi mana yang harus saya tandatangani?" tanya Bara seraya meraih pulpen.

"Ini Pak, ini untuk surat rekomendasi staf marketing yang akan di rolling mulai bulan depan." jawab Hanifa sambil membuka satu persatu map itu.

"Betah amat sih kamu kerja kayak gini, bahkan jam segini kamu belum pulang." guman Bara heran, kalau Bara mah ogah. Masih banyak bisnis yang bisa ia lakukan tanpa harus bekerja seperti ini.

"Ya mau bagaimana lagi, Pak. Sudah resiko." desah Hanifa pasrah.

"Papa saya nggak pernah macam-macam kan di sini?" tanya Bara sambil membubuhkan tandatangan di atas berkas-berkas itu, matanya membaca satu persatu huruf yang ada di sana, ia tidak mau salah taken.

"Bapak orangnya cenderung banyak diamnya, Pak. Cuma kalau pas marah ...."

"Kalau pas marah jadi kayak Monster kan?"

Sontak Hanifa tertawa, anaknya sendiri lho ya yang bilang, bukan dia. Bara hanya tersenyum simpul melihat gadis itu tertawa mendengar penilaian nya terhadap papanya sendiri.

"Papa memang begitu kok, sama anak sendiri pun sama. Banyak diamnya, tapi begitu kami bikin ulah, habis!" Bara menutup map-map itu lalu menyerahkannya kembali pada Hanifa.

"Bapak pun sepertinya juga banyak diamnya ya?" tanya Hanifa yang bergegas merapikan map-map itu.

"Berapa umurmu?" tanya Bara sambil menatap Hanifa.

"Saya dua puluh empat tahun, Pak." jawab Hanifa yang merasa gugup mendapat tatapan itu.

"Kalau diluar kantor jangan panggil Bapak bisa? Umur kita cuma selisih empat tahun. Saya belum setua itu kan sampai dimana pun kau panggil Bapak?" Bara terkekeh, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Baik, Pak. Eh ... Mas." Hanifa tampak kikuk dengan panggilan itu. Rasanya kurang sopan memanggil anak bosnya dengan panggilan itu.

"Nah itu lebih bagus. Kalau dikantor bolehlah panggil Bapak." Bara mengangguk, ia bangkit lalu melangkah ke dapur.

Bara memijit keningnya, kenapa di saat ia sedang seperti ini ada gadis muncul dan datang ke apartemennya? Rasanya tubuh Bara makin panas! Akal sehat Bara mulai hilang, ia bisa saja menyeret gadis itu ke kamarnya, menuntaskan semua gejolaknya itu, tapi ahh ... bukan gadis itu yang Bara inginkan! Tapi Kirana! Ia hanya ingin Kirana-nya!

Bara menggelengkan kepalanya, lalu meraih dua kaleng cola. Ia melangkah dengan perasaan berkecamuk dalam dirinya.

"Nih minum, kamu bahkan belum ganti baju ya!" Hanifa masih pakai rok dan kemeja warna tosca nya itu.

"Terimakasih, Pak ... eh ... Mas!" Hanifa masih cukup gugup berhadapan dengan anak bosnya yang begitu mempesona.

Bara hanya mengangguk pelan, ia kembali duduk di sofanya, kepala Bara makin pening. Harus bagaimana ia sekarang? Ia terus memijit keningnya, berharap semua gejolak yang menyiksanya itu segera sirna.

"Bapak sakit?" tanya sedikit panik melihat Bara yang berulangkali memijit ke keningnya itu.

"Bapak lagi kau panggil aku?" protes Bara kesal.

"Maaf Mas, mas kenapa? Ada yang bisa saya bantu?"

Bara mendengus, ada yang bisa dia bantu katanya? Memangnya dia mau kalau Bara minta bantuan untuk menuntaskan hasratnya itu? Bara menggelengkan kepalanya, karena sekali lagi ia hanya ingin Kirana! Bukan Hanifa atau siapapun!

"Kalau begitu saya pamit, Mas. Permisi!" Hanifa bangkit, dan entah dari mana datanganya dorongan itu, Bara ikut bangkit.

Ia menarik tangan Hanifa mendorongnya ke tembok. Hembusan nafas Hanifa bahkan mampu Bara rasakan karena jarak mereka yang begitu dekat itu. Tampak sorot takut di mata gadis itu, membuat Bara kembali pada ingatannya ketika sore itu, saat ia pertama kali mencicipi tubuh wanita, tubuh Kirana.

Bara makin mendekatkan wajahnya, lalu mengulum bibir itu. Hanifa yang membeku tanpa perlawanan itu membuat Bara makin beringas melumat bibir itu. Darahnya makin mendidih, gejolak itu makin luar biasa menyiksa Bara, minta dilampiaskan saat itu juga.

Bara sudah tidak tahan lagi, ia melepaskan pelukannya mendorong tubuh itu di sofa, lalu kembali melumat bibir itu. Sudah tiga bulan, tiga bulan ia tidak mendapatkan pelampiasan seperti ini. Terakhir ia melakukannya juga di sini, bersama gadis itu setelah ia menyematkan cincin itu. Dan sekarang ia malah menikahi laki-laki lain?

Bara benar-benar tidak terima! Dan kini gadis itu lah yang ia jadikan pelampiasan! Dengan sekali tarikan Bara merobek kemeja itu, Bara benar-benar sudah tidak tahan!


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C6
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen