App herunterladen
50% The Pink Sanctum / Chapter 4: 3. Takdir Tahanan Baru

Kapitel 4: 3. Takdir Tahanan Baru

8 jam sebelumnya.

Tidak seperti 12 hari ke belakang, kali ini Herman dan kedua kawan kamar huninya—Ateng dan Yusuf tidak lagi meledekku. Secara kebetulan kami berada pada satu blok yang sama dengan sel bersebelahan, jadi tidak jarang mereka bertindak usil dengan berkata banyak hal untuk membuatku nangis, merengek, meminta pulang demi menjalankan taruhan mereka.

Tentu saja, sekalipun hal itu belum pernah mereka dapatkan, dan pasti tidak akan mereka peroleh. Lagi pula, aku tidak secengeng dan segoblok yang mereka pikir. Sekarang, aku harap mereka sudah menyerah menggangguku, meski pada kenyataannya ada keyakinan lain kalau mereka bertiga bakal mengerjai tahanan baru terutama yang berada di seberang blok kami.

Dalam posisi telentang, setelah lelah mengakali petugas untuk menyembunyikan buku dan alat tulis dari pengecekan kamar huni dadakan, aku mendengar perbincangan di ruang sebelah.

"Jadi, apa kau mau taruhan lagi malam ini?" tanya Yusuf.

"Taruhan buat bocah sebelah?" Ateng balik bertanya. "Ah, aku sudah bosan. Mungkin Si Brengsek itu benar-benar bisu."

"Goblok!" Herman menyaut. "Mari bertaruh buat orang yang baru pindah. Kita harus menyambutnya kawan. Ha ha ha...."

"Hei Bos, jangan lupa, kau masih utang lima batang rokok untuk taruhan kemarin." Yusuf menimpali.

"Tch! Lagakmu persis debt collector!"

"Ha ha ha.... utang tetap utang, Bos. Makin menumpuk kalau tidak dicicil."

"Tidak usah menggurui Si Bos," Ateng menyambung. "dia tau cara bertindak seorang pria."

"Kau berkata begitu hanya mau sesuatu dariku, bukan?" Herman menebak.

"He he he, tentu saja Bos! Tidak ada yang gratis di sini."

"Berani juga kau sekarang?!"

"Tentu saja! Kami berdua ini adalah orang yang paling setia padamu. Sudah sepatutnya kami minta imbalan lebih, bukan? He he he...."

"Apa maumu kera botak?"

"Aku mau dengar teriakan, dan juga.... tangisan!" Ateng berseru.

"Sepertinya itu bakal sangat menghibur!" Yusuf menanggapi. "Bagaimana, Bos?"

"Aku bertaruh sebungkus rokok buat bocah gendut di sana." ucap Herman, tanda kalau dia sudah menerima perjudian itu.

"Hmmm...." gumam Yusuf. "aku pilih ... sembilan-dua belas!"

"Bocah cungkring itu?" Ateng memastikan.

"Ya! Si Gendut lebih terlihat mengerikan daripada dia. Lagian, sekarang bulan dua tahun dua ribu sembilan belas. Nomornya sangat pas!"

"Ha ha ha.... kau memilih dia seperti nomor togel saja." ujar Ateng. "Bagaimana Bos? Kau mau ganti kandidat?"

"Tidak."

"Oke, kalau kau Yusuf?"

"Aku masih sama."

"Baik, deal!" Ateng berseru seolah-olah dia adalah wasit yang baru saja memulai pertandingan.

Malam pertama adalah malam yang terberat bagi setiap napi baru, itu tidak diragukan lagi. Aku sudah merasakannya sendiri, dan tak perlu kujelaskan secara detail bagaimana malam pertamaku di penjara. Kalian sudah membacanya di buku sebelumnya. "The Missing Lovers".

Pagi tadi petugas membariskan para tahanan baru. Mereka tak ada yang berani mengucapkan "Ah," sekalipun. Kalau ada yang berani bicara, siap-siap sepatu lars mendarat ke perut. Sepatu yang dibeli oleh uang rakyat. Sayangnya digunakan untuk menggampar rakyat itu sendiri.

Para serdadu memasukkan napi anyar ke dalam sel dan ketika jeruji besi terbanting menutup saat itulah kau tahu kenyataan yang kami hadapi. Kehidupan lama terhempas dalam sekejap mata. Tidak ada yang tersisa selain waktu untuk mengenangnya. Kebanyakan penghuni baru nyaris gila pada malam pertamanya. Selalu ada yang menangis.

Jadi keputusan Ateng untuk mendengar sebuah teriakan dan tangisan adalah tepat. Tapi … siapa yang akan menangis malam ini? Dan siapa yang bakal memenangkan pertaruhan itu?

"Matikan lampu!" seru salah seorang petugas.

Seketika yang terlihat hanyalah gelap, bayanganpun lindap bahkan tidak terlihat tatkala cuaca mendung, membuat nyala bulan dan bintang di langit yang suram gagal menyinari tempat yang jauh lebih mengenaskan.

Kuingat malam pertamaku di sini, baru berlangsung 311 jam, tapi rasanya sudah lama sekali. Waktu itu aku berhasil melewati malam dengan dercak air mata mengingat bahwa aku tidak dapat menemukan Lutfi, mengingat bahwa kerjaanku berantakan, mengingat bahwa teman-teman telah salah paham padaku yang menganggap aku sudah berselingkuh, tapi justru tidak mengingat tentang orang tuaku.

Selama ini, jika orang lain membahas pasal orang tua, atau membuat renungan tentang Ibu dan Ayah yang meninggal dunia, aku tidak merasakan apa pun kecuali bosan. Sekalipun muncul pertanyaan atau pikiran, selalu begini: "Memang apa masalahnya jika mereka mati? Lagi pula, aku yakin kedua orang tuaku berumur panjang. Dan kalau benar Mamah dan Bapakku mati, aku harus tau penyebab yang buat mereka mati."

Kalian boleh men-judge aku tidak punya hati atau empati, tapi walau begini aku masih peduli akan orang tuaku. Setiap apa pun yang mereka perintahkan kepadaku semuanya kupenuhi langsung, kecuali kalau urusan makan dan mandi, soal dua hal itu sering kutunda. Dan ketika ada orang lain yang menghina orang tuaku, aku pasti langsung memukulinya tanpa mau berdiskusi lebih dulu.

"Hai bocah baru," Suara dari balik jeruji besi seberang. "bocah baru!"

Tidak ada tanggapan.

"Apa kau takut gelap? Apa kau rindu Ibu dan Ayahmu?" Suara itu kembali terdengar.

Masih tidak ada jawaban.

"Hai Gendut!" Dia berteriak. "Jawab aku," pintanya.

Para napi memang suka usil mengerjai tahanan baru, dan tidak akan berhenti sebelum mereka benar-benar puas. Dan kalau betul yang sedang mereka kerjai adalah bocah gendut dengan tampang sangar, tentunya bakal membuat Herman menang taruhan.

"Aku tau kau sedang menangis di sana. Jangan dengarkan orang-orang brengsek itu, oke? Tempat ini tidak begitu buruk. Banyak yang menganggap ini adalah surga dunia."

"Tidak! Ini neraka bagiku!" Suara Si Gendut pecah. Perlakuan bodoh dengan menanggapi obrolan dari tahanan lain. Bagiku, agak-agaknya dia sudah termakan ledekan mereka.

"Begini saja...." kata suara sebelumnya. "aku akan membuatmu betah."

"Bagaimana bisa?" tanya Si Gendut.

"Aku bakal mengenalkanmu dengan orang yang menyenangkan. Dan aku kenal satu, dua orang homo di sini. Mereka pasti senang bertemu denganmu. Terutama bokongmu yang besar, putih, dan lentur itu."

"Ah, dibilang juga tujuan dia sebenarnya." ucap batinku.

"Ya Tuhan!" Si Gendut mulai berteriak. "Tempatku bukan di sini! Aku tidak mau berada di sini! Penjaga.... keluarkan aku! Tolooong.... keluarkan aku dari sini! Penjagaaa...." rengeknya membuat seruan dan sorakan napi bergemuruh ke tiap sudut penjara.

"Kita punya juaranya!" Ateng mendadak berseru, mengumandangkan kemenangan Herman setelah kalah taruhan 3 kali berturut-turut.

"Aku mau pulang!" Si Gendut masih merengek tanpa ada seorang pun yang peduli kepadanya.

"Cengeng!" gerutu Yusuf. "Dasar Si Gendut kampret! Kau membuatku utang sebungkus rokok pada Bos!"

"Ha ha ha, itulah hasilnya.... kau tetap harus membayar!" timpal Herman.

"Tch!"

"Si Gendut! Si Gendut! Si Gendut!" sorai-sorai napi bergemuruh bak supporter sepak bola atau bocah remaja yang tengah nonton konser. Seirama dan senada.

Si Gendut bertambah histeris. Isak tangisnya mengisi ruang hampa di rutan ini, makin meramaikan acara malam pertama tahanan baru. "Tempatku bukan di sini! Aku ingin pulaaang....!!!"

Seketika lampu kembali menyala, kemudian aku melihat para petugas mulai masuk. Denging besi yang dipentung tonfa menggema dan masuk ke lubang telingaku.

"Diam!" bentak suara petugas menggelegar bak petir membelah langit. Melenyapkan semua suara seketika dan hanya si Gendut yang masih berteriak ingin pulang.

"Apa masalahmu, Gendut?!" geram petugas dengan gigi gemeletuk.

"Aku mohon.... aku tidak semestinya di sini." rengeknya meminta belas kasih.

"Aku tidak akan menghitung sampai tiga, apalagi satu. Dan kau mesti diam sekarang juga! Apa kau mau tengkorangmu retak, brengsek?!" ancam petugas.

"Tidak, tidak.... aku mohon ... aku tidak salah. Aku tidak sepantasnya di sini. Mereka menipuku. Aku mohon!" Si Gendut masih memelas, tapi aku yakin hal itu tidak bakal berpengaruh apa pun kepada petugas terlebih Kepala Petugas yang kini telah menghadapnya. Dia, adalah orang paling sadis di sini, lebih kejam dari penjahat itu sendiri.

"Diamlah, Bung!" bisik pria yang satu tahanan dengannya.

"Tidak! Aku mohon.... kau mesti percaya padaku!" Dia masih saja menawar.

"Buka segelnya!" Kepala Petugas berseru memerintah.

Dengan sigap petugas lain datang dan membuat gembok kembali beradu bersama kunci. Kemudian, tangan Kepala Petugas menyambar tangan Si Gendut cepat, menariknya keluar kamar huni.

"Aku tidak akan memberimu kesempatan kedua!" Kepala Penjaga masih berteriak-teriak.

Tahanan itu meronta dan memelas. Wajahnya dipenuhi air yang keluar dari mata, hidung, dan mulut pucatnya. Bersujud, memohon ampun sekaligus pertolongan kepada petugas supaya membebaskan dia segera, dan menangkap penjahat sebenarnya, yang siang tadi hadir dalam sidang Paripurna DPR RI di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

"Dia.... orang itu berlagak seperti orang penting dengan menyombong diri bakal membantu Bamsoet membuat RUU kerjasama eksradisi dengan Iran. Cuih! Bullshit! Kerjasama dalam negeri saja tidak becus, hanya terus menguntungkan China!" anggap Si Gendut sebelum akhirnya kepala dia dihantam oleh Kepala Petugas menggunakan pemukul satpam dengan sangat keras. Saking kerasnya membuat pria itu terkapar mencium lantai yang entah kapan terakhir kali disapu dan dipel. Kemudian, darah mengalir dari kulit kepalanya yang sobek.

"Apa yang mau kau lakukan sekarang, Bos?" Ateng menyaut di tengah-tengah kebisingan.

"Aku bertaruh dia pasti mati," jawab Herman.

"Dasar brengsek! Dia masih menyempatkan momen itu untuk berjudi." hatiku mengumpat. Sangat kesal dengan sikapnya yang tidak manusiawi. Melebihi perlakuan Kepala Petugas kepada napi anyar itu. Tapi, aku sendiri, tak bisa berbuat banyak. Aku sangat tidak ingin bermasalah dengan sok-sokan melawan petugas sehingga jatah hukumanku diperpanjang, membuatku hanya menghabiskan waktu percuma berada di sini. Sudah lebih pasti, keluar sesegara mungkin dari tempat ini untuk mencari Lutfi, lagi, adalah prioritasku.

"Bawa Si Gendut ke klinik!" sabda Kepala Petugas kepada bawahannya. "Jika ada yang berisik lagi malam ini, sumpah demi Tuhan ... aku bakal mengirim kalian semua ke klinik!" teriaknya membuat nyali kami menciut, makin tidak berani memberikan perlawanan kepadanya.

Seketika lampu kembali padam setelah para petugas menyeret Si Gendut menuju klinik dan membiarkan darah segarnya menggenang di sana. Makin memberikan parfum menjijikkan untuk ruangan ini. Bercampur bersama bau kotoran manusia, tikus, kecoak, dan ketidakberdayaan.

"Dia pasti mati," bisik Herman.

"Jadi kau masih mau taruhan, Bos?" Ateng menanggapi.

"Ha ha ha.... sudah pasti dia tidak bakal selamat dari luka sedalam itu." Yusuf menanggapi. "Aku juga bertaruh kalau dia pasti mati. Atau mungkin saja.... dia hampir selamat tapi akhirnya mati juga karena homo yang bertugas malam ini bakal mencabuli Si Gendut. Ha ha ha...."

"Pelankan suaramu, brengsek!" gertak Herman. "Aku tidak mau berurusan dengan brewok negara itu."

"Maaf Bos," kata Yusuf.

"Jadi, tinggal aku?" Ateng bertanya dengan nada yang sama lirihnya. "Tentu saja aku bertaruh kalau dia hidup.... hidup di neraka maksudku. He he he...."

"Wah, sepertinya untuk hal ini kita tidak bisa bertaruh, Bos." ujar Yusuf.

"Mau bagaimana lagi? Sudahlah, waktunya tidur. Kita mesti bangun gasik besok. Atau brewok negara itu bakal ngirim kita ke klinik." ucap Herman mengomando anak buahnya.

"Siap, Bos!" jawab kedua anak buahnya kompak.

"Jangan lupa utangmu Yusuf!" kata Herman. "Ha ha ha.... akhirnya aku menang malam ini."

"Sayangnya sudah terpotong sepuluh batang buat bayar utangmu, Bos. He he he...." ledek Yusuf.

"Dasar, Brengsek!"

"Ha ha ha...."

Semua kembali seperti semula, seakan kejadian mengenaskan itu tidak pernah terjadi. Dan memang demikianlah takdir dari para tahanan baru seperti Si Gendut tadi. Aku berdoa untuknya sekaligus untuk diriku: "Semoga Allah menyelamatkan nyawa yang pantas diselamatkan, dan semoga Allah memberi balasan kepada mereka yang perlu diberi pelajaran. Aamiin."

Aku balik ke ranjangku. Mencoba mengingat kembali tujuan utamaku. "Aku harus bertahan hidup di sini, supaya bisa cepat keluar demi mencari Lutfi, lagi. Aku harus berusaha. Tunggu aku sayang." Memejam mata. Aku mencoba tidur.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C4
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen