App herunterladen
86.66% Janji Suci Yang Ternoda / Chapter 13: Bab 13

Kapitel 13: Bab 13

Mobil BMW i8 berwarna putih milik Devian melaju dengan kecepatan tinggi, tujuannya adalah ke rumah orang tua Nadine. Meski jaraknya jauh, tetapi itu tidak menjadi alasan. Devian harus bisa membawa sang istri pulang, ia tidak bisa membayangkan jika tidak ada Nadine. Rumah pasti akan terasa sepi dan juga sunyi, Devian benar-benar merasa kehilangan.

Setelah menempuh waktu kurang lebih dua jam, kini mobil Devian sudah berhenti di pelataran rumah milik mertuanya. Dengan segera Devian keluar dari mobilnya, pria berkemeja putih itu melangkahkan kakinya menuju teras rumah. Devian mengetuk pintu rumah orang tua Nadine, tak lupa ia juga mengucapkan salam. Namun hampir setengah jam pintu belum juga dibuka.

"Assalamualaikum." Devian kembali mengucap salam seraya mengetuk pintu tersebut.

"Wa'alaikumsalam." Pintu terbuka seraya terdengar sahutan dari dalam.

"Malam, Bunda." Devian tersenyum berharap bisa membuat mood mertuanya baik.

"Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Widya dengan nada judes.

"Saya ingin bertemu dan Nadine, dan jika diizinkan saya ingin membawa Nadine pulang," ungkap Devian penuh harap.

Widya menyunggingkan senyumnya. "Kamu jangan pernah bermimpi untuk bisa bertemu lagi dengan Nadine. Karena saya tidak akan pernah memberi izin kamu untuk menemui putriku lagi."

"Bunda tolong beri saya kesempatan untuk .... "

"Lebih baik kamu pergi sekarang dari sini, kamu harus ingat bagaimana kamu telah menyia-nyiakan Nadine. Dan sekarang dengan mudahnya kamu ingin membawa Nadine kembali. Saya tidak akan memberi kesempatan itu lagi, karena kamu sudah menyia-nyiakannya." Widya memotong ucapan Devian, bahkan perempuan itu menunjuk dengan tangannya agar Devian segera pergi.

Devian terdiam, ia tahu jika dirinya memang bersalah. Namun apa salahnya jika dirinya ingin memperbaikinya. Terasa sakit saat harus berpisah dengan orang yang telah lama mendampingi kita, selama ini dengan setia berada setiap saat kita membutuhkannya. Devian tidak pernah berpikir jika ia akan mengalami masalah seperti sekarang ini.

"Saya memang bersalah, tapi apa salahnya jika saya ingin memperbaiki kesalahan yang sudah saya perbuat." Devian menatap wajah perencanaan yang kini masih berdiri di hadapannya.

"Saya bisa memaafkan kesalahanmu, tapi saya tidak bisa membiarkan Nadine ikut dan hidup bersama denganmu. Saya ingin putri saya menemukan kebahagiaannya. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini." Widya kembali mengusir Devian agar segera pergi dari rumahnya.

"Saya tidak akan pergi, sebelum saya bertemu dengan Nadine," ucap Devian dengan mantap.

"Terserah." Widya menutup pintu rumahnya dengan kasar.

Devian mengusap wajahnya dengan kasar, mertuanya benar-benar sudah membencinya.

Pria berkemeja putih itu berjalan menuju pelataran, ia menatap ke atas di mana kamar Nadine berada. Devian berharap jika sang istri itu masih mau menemuinya, hanya itu harapan satu-satunya. Sementara itu, di dalam kamar Nadine berdiri di dekat jendela dengan terus memandang ke bawah di mana Devian tengah berdiri.

Nadine mendengar semua apa yang bundanya katakan pada Devian. Ia tidak menyangka jika bundanya benar-benar menginginkan dirinya berpisah. Nadine tahu jika Devian memang bersalah, tetapi salahkah jika memberinya kesempatan kedua. Nadine juga ingin di akhir hidupnya bisa bersama dengan pria yang ia cintai. Pria yang telah menghalalkannya.

Hampir satu jam Devian berdiri, pria itu benar-benar tidak ingin beranjak dari tempatnya. Ia ingin membuktikan jika dirinya sungguh-sungguh dengan ucapannya. Devian ingin Nadine kembali, ia ingin memperbaiki kesalahannya. Semakin lama malam semakin larut, bahkan hal tak terduga terjadi. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, langit seakan ikut merasakan kesedihan yang kini Devian rasakan.

"Aku tidak bisa membiarkan, mas Devian seperti ini. Bagaimanapun juga dia masih suamiku." Nadine berjalan mondar-mandir di kamarnya.

Nadine membuka tirai jendela di kamarnya, ia melihat jika Devian masih setia berdiri dengan guyuran air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Selang beberapa menit, Nadine melihat jika tubuh suaminya menggigil, bahkan tiba-tiba tubuh Devian ambruk. Wanita berjilbab itu terkejut saat melihat suaminya tergeletak tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang Nadine keluar dari kamarnya.

Dengan sedikit berlari Nadine menuruni anak tangga, setibanya di bawah ia bergegas menuju pintu utama. Dan saat hendak membuka pintu tersebut, tiba-tiba suara ayahnya terdengar begitu jelas. Dengan terpaksa Nadine menghentikan langkahnya, ia menoleh ke arah belakang. Terlihat jika ayah dan bundanya sudah berdiri di belakangnya.

"Sekarang kamu kembali ke kamar," titah Irawan.

"Nadine mohon, ayah. Izinkan Nadine untuk .... "

"Untuk apa kamu masih memikirkan pria yang selama ini tidak pernah menganggapmu ada. Lebih baik sekarang kamu kembali ke kamar." Irawan memotong ucapan putrinya.

Nadine menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ayah. Bagaimanapun juga, mas Devian statusnya masih suamiku. Maaf jika sekarang aku menentang kalian."

Tanpa memperdulikan ucapan kedua orang tuanya, Nadine membuka pintu rumahnya. Ia berlari menghampiri Devian yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Nadine menjatuhkan dirinya tepat di samping suaminya, lalu ia mengangkat kepala Devian dan meletakkan di pangkuannya. Nadine dapat merasakan jika tubuh suaminya sangat dingin, ia mencoba untuk menyadarkannya.

"Bangun, Mas. Mas Devian, bangun." Nadine menepuk-nepuk pipi Devian, berharap suaminya akan terbangun. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi.

Nadine terus berusaha untuk menyadarkan sang suami, tetapi usahanya gagal. Setelah itu ia meminta bantuan pada satpam di rumahnya untuk membawa Devian masuk ke dalam. Awalnya Widya dan Irawan melarang, tetapi Nadine tetap bersikeras untuk membawa suaminya masuk. Bagaimanapun juga Devian masih suaminya, akan berdosa jika Nadine membiarkannya.

Setibanya di kamar, Nadine langsung mengganti pakaian Devian. Tanpa rasa malu dan canggung Nadine melepas pakaian yang basah yang melekat pada tubuh suaminya. Selepas itu ia mengganti dengan yang kering, tak lupa Nadine membalurkan minyak kayu putih di sekujur tubuh Devian agar terasa lebih hangat. Setelah selesai Nadine menyelimuti tubuh Devian.

"Maafkan aku, mas. Aku sangat mencintaimu, aku ingin di akhir hidupku bisa berada di sampingmu." Nadine mencium benda kenyal milik suaminya, ini untuk pertama kalinya Nadine melakukan itu.

***

Adzan subuh berkumandang, perlahan Devian membuka matanya. Pria beralis tebal itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, Devian sedikit terkejut saat mendapati sang istri tidur di sampingnya. Tangan mungil Nadine masih menggenggam erat tangan besar suaminya. Devian tersenyum, ia tahu jika sang istri masih peduli terhadapnya.

Devian memegang pipi mulus Nadine dengan tangan kirinya, ia mengusap jejak air mata yang masih membekas. Merasa terusik, Nadine mengerjapkan matanya, ia tersenyum saat melihat suaminya sudah bangun. Nadine hendak bangkit tetapi Devian menahannya. Pria beralis tebal itu menahan istrinya untuk bangun. Ia menarik tubuh Nadine dan memeluknya dengan erat.

"Maafkan aku, Nadine. Kamu boleh menghukumku atas semua kesalahanku. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, tolong jangan pergi dari hidupku, tetaplah di sampingku." Devian semakin erat memeluk tubuh istrinya.

"Aku sudah memaafkan semua kesalahan, Mas. Aku juga minta maaf karena pergi tanpa seizin, Mas Devian." Nadine menenggelamkan wajahnya di dada bidang Devian.

Devian melepas pelukannya, ia menatap wajah cantik sang istri. "Aku ingin kamu kembali lagi ke rumah kita."

"Aku juga ingin seperti itu. Tapi, Mas harus bisa meyakinkan kedua orang tuaku, kalau .... "

"Pasti, aku akan melakukan apapun agar kita tetap bisa bersama." Devian memotong ucapan Nadine, setelah itu ia kembali memeluk tubuh mungil sang istri.

Waktu telah berlalu, pukul tujuh pagi Nadine berniat untuk mengajak Devian sarapan pagi. Namun niatnya terhenti saat orang tua Devian tiba-tiba datang. Entah siapa yang memberitahu jika Devian berada di rumah orang tua Nadine. Wanita berjilbab biru muda itu bergegas ke kamar untuk menemui dan memberitahu suaminya jika kedua orang tuanya datang.

"Mas, di bawah mama sama papa sudah menunggu," ucap Nadine. Ia duduk di sebelah suaminya yang tengah duduk di ranjang.

"Mau apa mereka ke sini?" tanya Devian, ia merasa heran kenapa orang tuanya tiba-tiba datang.

"Aku tidak tahu, Mas. Lebih baik kita turun dan temui mereka,"

Devian menghembuskan napasnya, setelah itu ia memutuskan untuk menemui kedua orang tuanya tentunya bersama dengan Nadine. Devian berjalan beriringan dengan Nadine, kini keduanya sudah berada di ruang tamu. Terlihat jika kedua orang tua mereka sudah berkumpul, Devian dan Nadine segera menghampiri mereka dan ikut duduk di sofa. Namun sebelum itu, Nadine mencium punggung tangan kedua mertuanya itu.

"Mama sama papa sudah lama?" tanya Nadine. Kini ia duduk di sebelah Devian.

"Belum, kami baru saja sampai. Bagaimana kabar kamu, sudah sehat kan?" tanya Gunawan.

"Alhamdulillah sudah, Pa," jawab Nadine.

"Sudah tidak usah drama, kedatangan kita ke sini mau menjemput, Devian." Sarah menyela ucapan Gunawan. Ia merasa kesal dengan sikap suaminya yang sangat perhatian dengan Nadine.

Devian yang awalnya diam, kini ia mendongak dan menatap ke arah ibunya. "Maksud, Mama."

Sarah nampak menghela napas. "Dev, apa kamu lupa kalau mereka ingin kalian bercerai. Jadi untuk apa lagi kamu ada di sini, lagi pula mama sudah mengurusnya. Jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Dev nggak mau, Ma. Kami saling mencintai dan kami ingin mempertahankan pernikahan ini." Devian menggenggam jemari Nadine, ia ingin istrinya tahu jika dirinya sungguh-sungguh.

"Sekarang kamu bilang cinta, dulu kemana saja. Jangan harap kami akan memberimu kesempatan kedua, mengerti." Widya kembali mengungkap kekesalannya.

"Bunda, Nadine mohon jangan .... "

"Diam, lebih baik kamu diam karena ini urusan ayah sama bunda dan mereka." Widya memotong ucapan putrinya.

Nadine memilih untuk diam, ia akan memasrahkan semuanya pada yang di atas. Jika mereka memang jodog, maka sekuat apapun cobaan yang menimpa. Pasti mereka akan bersatu kembali. Dan sebaliknya, jika mereka tidak berjodoh. Sekuat apapun mereka mempertahankannya pasti akan berlisah jua. Sementara Devian terlihat begitu bingung, ia tidak menyangka jika ibunya akan menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan rencananya.

"Maaf, sebelumnya saya sebagai ayah Devian ingin meminta .... "

"Sudah, Papa diam saja. Mama setuju kalau mereka bercerai, dengan begitu kita bisa menikahkan Devian dengan Amara. Amara lebih baik dari pada dia." Sarah memotong ucapan suaminya.

"Ma .... "

"Diam, kamu turuti saja apa yang mau, mengerti." Sarah memotong ucapan Devian.

"Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan, lebih baik kamu bawa anakmu itu pulang. Masih untung kami berbaik hati mengizinkannya untuk bermalam di sini. Jika tidak mungkin dia akan mati kedinginan di luar," ungkap Widya. Hal itu membuat Sarah semakin geram dengan ucapannya yang cukup pedas.

"Baru begitu saja sudah belagu. Lagi pula saya juga tidak mau lama-lama di sini, hawanya panas. Ayo, Dev kita pulang." Sarah membalas ucapan Widya tak kalah pedas.

"Ma, Dev tidak .... "

"Sudah, Dev. Kita pulang dulu, nanti kita bicarakan lagi di rumah." Gunawan menyela ucapan Devian.

Devian terdiam sejenak. "Baik, Pa."

Mereka pun bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Nadine dan Devian. Gunawan dan Sarah segera berpamitan dengan Widya dan Irawan. Sementara Devian terlihat tengah meyakinkan Nadine jika dirinya tidak akan tinggal diam. Devian tidak akan membiarkan mereka memisahkan dirinya dengan sang istri. Ia akan meyakinkan mereka jika dirinya sungguh-sungguh ingin mempertahankan pernikahannya.

"Nadine, kamu jangan khawatir. Aku pasti akan kembali untuk menjemputmu dan membawamu kembali ke rumah kit. Aku akan meyakinkan mereka jika aku sungguh-sungguh ingin memperbaiki kesalahanku dan akan mempertahankan pernikahan kita." Devian menangkup wajah sang istri.

"Iya, Mas. Aku percaya, kamu pasti bisa." Nadine menganggukan kepalanya.

"Aku pulang dulu ya." Devian mencium kening istrinya dengan sangat lembut. Ia juga mencium benda kenyal milik Nadine. Lalu memeluknya untuk sejenak.

"Devian, ayo cepat." Sarah menarik tangan putranya untuk bergegas pulang.

"Sayang, aku pulang. Assalamualaikum." Devian mencium pipi Nadine, lalu berjalan mengikuti langkah ibunya.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Mas." Nadine mencium punggung tangan suaminya, ia tersenyum meski dalam hatinya berat jika harus berpisah dengan suaminya.

"Nadine, kami pulang dulu ya. Jaga kesehatanmu baik-baik," ucap Gunawan berpamitan dengan menantunya.

"Iya, Pa." Nadine mencium punggung tangan Gunawan.

"Kami permisi, assalamualaikum." Gunawan berpamitan kepada kedua orang tua Nadine, sementara Widya dan Irawan hanya menganggukkan kepalanya.

Nadine mengantar mertua dan suaminya sampai di teras depan. Sejujurnya ia berat melepas Devian, tetapi ia yakin jika mereka berjodoh. Suatu saat nanti mereka akan dipertemukan kembali. Perlahan mobil yang Devian dan orang tuanya naiki melaju keluar melintasi pintu gerbang. Setelah mobil menghilang dari pandangan mata Nadine kembali masuk ke dalam rumah.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C13
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen