22.00
Aku, Ayssa, paman dan para polisi sudah berada di hutan. Kami tak memencar, hanya mengikuti arahan polisi agar penyergapannya nanti berjalan dengan baik.
Sementara itu, kami memerhatikan dari jauh apakah para penjahat itu sedang ada di sana ataukah tidak.
Tak berselang lama, tiga pria keluar dari rumah kosong dengan menenteng botol kaca yang sepertinya mereka sedang mabuk. Jalannya terhuyung-huyung dengan iringan tawa yang menggelegar.
Kami tak langsung menyergapnya, hanya memperhatikan dulu apa yang akan mereka lakukan.
Ketiga penjahat itu menuju gubuk tua, aku beserta yang lain berjalan mengendap tak jauh dari mereka.
Brakkk!!!
Pintu itu mereka tendang dengan keras. Kami bisa melihat ada beberapa korban di sana yang diikat dan mulutnya ditutupi lakban.
Dengan tawanya yang mengerikan, mereka kembali memukuli para korban itu. Aku tak tahu jumlah pastinya ada berapa. Tapi aku bisa melihat kondisi mereka yang sudah lemah tak berdaya.
Lalu setelah mereka memukul orang-orang itu, botol kaca yang mereka pegang dipecahkan pada tembok.
Polisi seketika siap siaga karena tahu apa yang akan mereka lancarkan pada korbannya menggunakan pecahan kaca itu.
Benar saja. Mereka mendekat lalu akan menusukkan pecahan botol kaca itu pada perut korban. Tapi untungnya, para polisi dengan sigap berkata lantang untuk memberhentikan ulah bejad mereka.
Ketiga penjahat itu terkejut ketika melihat sudah ada polisi di hadapannya.
Bukannya takut, mereka justru memberontak dan berusaha melawan. Bahkan, salah satu dari pria itu akan memukul polisi dengan balok kayu. Untungnya polisi segera mengambil tindakan dengan menembak betisnya.
Bukannya menyerah. Lagi-lagi kedua pria itu murka ketika melihat temannya jatuh tersungkur sambil mengerang kesakitan. Mereka akan memukul polisi itu lagi. Tapi naas, kondisi mereka berdua sama seperti temannya tadi. Ditembak di bagian betis karena berusaha melawan.
Sementara itu, ketika polisi sedang meringkusnya dan memasangkan borgol pada masing-masing tangan dari para penjahat itu, aku segera berlari menuju para korban untuk menolongnya. Membuka ikatan tali dan lakban yang menempel sangat di mulutnya.
Aku melihat Ayssa menyusuri setiap ruangan dengan keadaan yang teramat cemas. Dia kelimpungan ke sana ke mari untuk mencari.
"Ayssa? Kakak mana?" Aku baru sadar ternyata yang Ayssa cari adalah Hamzah. Dan dua pria yang aku tolong ini, adalah kedua temannya yang sudah lemah tak berdaya.
"Pak," aku memanggil satu polisi, "masih ada satu orang yang belum ditemukan."
"Siapa?" Tanya polisi itu.
"Kakakku, Hamzah." Sahut Ayssa.
Tanpa ba-bi-bu, polisi itu segera menghampiri para pelaku yang mengerang kesakitan.
"Mana Hamzah?" Ujar polisi itu dengan galak.
Mereka diam, tak bergeming.
"Mana Hamzah?" Gertaknya lagi dengan nada yang semakin meninggi.
Salah satu dari pria itu yang kemudian adalah bosnya, tertawa dengan sangat menyeramkan.
"Kamu jangan main-main!"
Dengan kondisi yang tak lagi seperti tadi, para penjahat itu masih tak merespon apa pun.
"Katakan! Di mana kalian menyembunyikan Hamzah?!"
"Saya tak akan pernah memberi tahu semua itu!" Jawabnya diiringi gelak tawa oleh kedua temannya.
Aku dan Ayssa saling bertatapan sesaat.
"Kamu jangan pernah main-main dengan polisi. Katakan di mana mereka?" Wajah polisi itu merah padam. Dia merasa ketiga pria itu tengah mempermainkannya.
"Sampai kami matipun, kami tak akan pernah memberi tahu di mana Hamzah," matanya merah lalu menatapku, "dia telah mati!"
"Tidak. Itu tidak mungkin!"
"Sangat mungkin!" Pria itu menatap tangannya sendiri, "tak akan ada yang pernah bisa lepas dari cengkeraman tanganku. Hahaha!" Lagi-lagi dia tertawa, "jika aku ingin dia mati? Kenapa semua itu tak mungkin?"
Segera para polisi itu membawa mereka ke mobil untuk segera diadili karena tindak kejahatannya. Tak lupa dua temannya tadipun dibawa untuk dirawat di rumah sakit. Sementara itu, para polisi tetap meminta kami untuk tenang karena mereka akan membantu mencarikan Hamzah setelah para pelaku ini dibawa ke pihak berwenang. Aku dan Ayssa mengiyakannya. Walau setelah mereka pergi, aku masih mencari keberadaan Hamzah.
Tak berselang lama, suara ponsel paman bergetar. Katanya, dia suruh oleh ayah Ayssa untuk ikut ke sana sebagai saksi.
Awalnya paman bingung karena meninggalkan kami berdua di sini. Tapi aku dan Ayssa berusaha meyakinkan paman bahwa kami akan baik-baik saja. Dengan sedikit keraguan, paman akhirnya menyetujui alasanku dengan satu syarat, jika terjadi hal yang janggal, segera hubungi dia.
Aku dan Ayssa lantas mengangguk bersamaan.
Kami menyusuri setiap tempat untuk mencari Hamzah. Di rumah kosong, di gubuk tua, aku mencarinya ke segala penjuru bersama Ayssa.
Tapi aneh, keberadaan nya sama sekali tak aku ketahui.
Setelah sekian lama, aku memutuskan beristirahat dulu di rumah kosong itu bersama Ayssa sembari berpikir dengan logis kira-kira di mana mereka menyembunyikannya. Karena aku yakin, dia pasti masih ada di sekitar sini.
Lagi pula tempat ini memang tempat favorit para pelaku itu untuk menculik dan menyiksa seseorang.
Aku dan Ayssa saling membisu dalam pikirannya masing-masing. Hingga tak berselang lama, aku merasakan ada getaran pada ponselku yang ku simpan di dalam tas kecil.
Segera kubuka ponselnya, dan ternyata nama Alif yang tertera dibalik layar ponselku.
Aku mengangkat panggilannya.
"Assalamu'alaikum." Alif membuka suara.
Aku menjawabnya, "wa'alaikumussalam."
"Bagaimana? Apa kamu, Ayssa dan paman baik-baik saja?"
"Alhamdulillah. Kami di sini baik. Kamu jangan khawatir. Para penjahat itupun telah diringkus oleh para polisi."
"Alhamdulillah," ucapnya lega. "Aku turut senang mendengar kabar itu. Lalu kapan kamu pulang?"
"Entahlah."
"Lho kenapa? Memangnya kamu di mana sekarang?"
"Masih di hutan." Jawabku.
Aku mendengar nada suaranya sedikit meninggi, "di hutan? Untuk apa?"
"Mencari Hamzah."
Keadaan telepon tiba-tiba hening. Alif tak menjawab apa pun setelah aku mengatakan itu.
"Halo?" Aku memastikannya lagi, barang kali sambungan teleponnya sudah terputus.
"Iya?" Selang beberapa detik Alif menjawab di seberang sana.
"Tadi yang kami temukan di gubuk tua, hanya ada temannya itu berdua. Hamzah tidak ada di sana."
"Lalu apa kamu tak menanyakan keberadaan Hamzah pada mereka?"
"Sudah. Bahkan berkali-kali disentak oleh polisi. Tapi mereka tak mau memberi tahu di mana Hamzah sekarang."
"Sudah kuduga." Ujarnya kemudian.
"Aku juga bingung mau mencarinya di mana lagi. Ingin pulang, tapi aku tak mau pulang dengan tangan kosong."
"Sebentar," dari logatnya, aku merasa Alif seperti tengah berpikir. Hingga tak berselang lama, dia memanggil namaku juga.
"Iya?" Jawabku.
"Kamu sudah mencari di daerah mana saja?"
"Hanya di sekitar sini. Aku dan Ayssa mencarinya di gubuk tua dan rumah kosong saja. Tapi di dekat tempat-tempat itupun, kami sudah menelusurinya."
"Apa kamu dan Ayssa sudah mencarinya di dekat jurang di ujung hutan?"
Ayssa seketika menatapku heran.
"T-tidak. Memangnya kenapa?"
"Bagaimana kalau kamu coba cari dia di sana? Karena aku pernah mendengar samar-samar, bahwa salah satu dari kami akan disembunyikan di sana. Mungkin saja itu benar."
"Iya. Aku setuju dengan Alif," sahut Ayssa, "lebih baik kita periksa ke sana terlebih dahulu untuk memastikan."
Tanpa banyak berpikir lagi, aku meminta izin pada Alif untuk mematikan telepon dan segera ke sana.
Aku menghidupkan senter pada ponselku dan Ayssa menyalakan senter biasa di tangannya. Kami menyusuri tempat yang telah Alif arahkan pada kami sebelumnya.
Hingga tak lama kemudian, kami menemukan tempat itu juga.
Ayssa segera meneriaki nama Hamzah dan aku pula melakukan hal yang sama. Kami saling memencar untuk mencarinya tapi tak terlalu jauh.
Aku berjalan menuruti apa kata kaki. Tak tahu arah, tak tahu tujuan. Cahaya di ponselku pun aku arahkan ke sana kemari sambil terus memanggil nama Hamzah.
"Argh!" Seketika aku terpaku ketika mendengar sebuah suara yang sepertinya sedang merintih.
Aku diam. Memasang telinga dengan jeli apakah suara tadi memanglah sebuah suara, ataukah hanya halusinasi ku saja.
"Argh!" Aku mendengar lagi suara itu yang terletak kurang lebih sepuluh meter dari tempatku berdiri.
Aku menghampiri suara itu dengan pelan. Sebenarnya ada rasa takut juga karena bisa jadi suara rintihan itu berasal dari para penjahat baru yang menyamar.
Aku sudah berada di depannya. Suara itu berada dibalik semak yang rimbun dan tinggi. Dengan perasaan yang kalut dan deg-degan yang luar biasa, aku menyibakkan semak itu dengan kondisi tangan yang gemetar.
Hampir saja kujatuhkan ponselku tatkala orang yang di depanku ini, adalah orang yang sangat dinanti oleh kami dan keluarga Ayssa.
"Hamzah?!" Aku melihat kondisinya yang begitu buruk lebih dari kondisi Alif ketika pertama kali ditemukan. Kondisi tangannya diikat di sebuah pohon. Pipinya dipenuhi darah kering yang berasal dari pelipisnya.
Dan benar, kedua pundak nya mengeluarkan darah juga. Pipi dan lengannya begitu lebam. Aku segera membuat Hamzah tersadar sembari melepaskan ikatannya itu.
"Hamzah, apa kamu mendengarku?"
Dia mendongakkan kepalanya sedikit dan kami seketika saling bertatapan. Sungguh! Dari matanya itu tampak sekali penderitaan dan luka yang tengah ia hadapi saat ini.
Tanganku pun penuh dengan darahnya yang berasal dari pergelangan tangannya. Para penjahat itu benar-benar tak boleh diampuni! Saking kuat ikatan tali pada kedua tangan Hamzah, membuat tangannya meninggalkan bekas merah dan luka.
"Bertahanlah, Hamzah. Kamu harus kuat. Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Tiba-tiba ia tersungkur lemas di pangkuanku. Aku begitu terkejut dan secara tak sengaja menepuk-nepuk pipinya pelan. Tangan kananku meraba sesuatu yang basah dari dekat telinganya. Ketika kulihat, ternyata darah segar masih keluar dari pelipisnya itu.
Aku tak bisa lagi menahan tangis. Napasnya masih teratur namun lemah. Aku berusaha membuatnya sadar, tapi sepertinya dia benar-benar butuh pengobatan lebih lanjut.
"Kakak?!" Aku melihat Ayssa tiba-tiba datang menghampiri kami. Air matanya tak bisa lagi dibendung.
"Kapan kamu menemukan kakak?"
"Baru saja tadi. Dia telah mengeluarkan banyak darah. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit."
Tanpa berpikir panjang, aku dan Ayssa segera membopong Hamzah yang sudah tak sadarkan diri menuju mobil untuk dibawa ke rumah sakit.