Happy reading
...
Cuaca tengah bersahabat. Dan aku memutuskan lari pagi di jalan sekitaran rumah. Tak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit. Setelah itu, aku beristirahat di bawah pohon sambil meminum air.
Orang-orang tampak hilir mudik di depan mata. Mereka tengah sibuk mencari pundi-pundi rupiah. Ada pula yang hanya berjalan biasa seperti yang aku lakukan tadi. Keadaan Bogor hari ini tampak menyenangkan.
Aku termenung di sini. Menikmati angin yang semakin membelai mataku. Ku raih ponsel, dan melihat ada 20 panggilan tak terjawab di sini. Aku berdecak kesal sambil memasang earphone ke telingaku lalu menyimpan ponsel kembali. Kulihat jam, masih pukul 08.00. Tapi mataku rasanya berat sekali. Perlahan ku tutup mata untuk beberapa menit. Namun, tak lama kemudian di seberang sana aku mendengar ada seseorang yang berteriak begitu keras.
Awalnya aku berusaha tak peduli dengan suara itu. Namun lama kelamaan, teriakan itu semakin mendekat dan memekakkan telinga. Bahkan aku mendengar ada orang-orang yang ribut dan berusaha melerai teriakan itu dengan teriakan lagi. Ketika suaranya semakin mendekat, aku membuka mata lalu membuka earphoneku. Dan pemandangan tak sedap sudah kulihat pagi ini, pas sekali di depan mata kurang lebih sekitar 10 meter.
Aku melihat ada seorang perempuan yang tengah disiksa oleh seorang pria. Aku langsung terperanjat berdiri melihat itu. Mataku melotot, ketika seorang wanita dianiaya oleh seorang pria di depan umum. Wanita itu hanya menangis sambil meminta ampun yang ternyata lelaki itu adalah suaminya. Sungguh bejad. Aku segera menemui kerumunan itu dan mencoba menghentikannya dengan memeluk si wanita yang sudah lemas dan penuh lebam, apalagi di area tangan.
Aku menenangkannya. Tapi lelaki itu lantas mendorongku hingga tubuhku terjatuh dan tanganku berdarah. Yang kulakukan saat ini adalah berdiri, menemuinya dan menghadapnya persis, 30 cm dari tubuhku berdiri.
Dia marah dan akan mendorongku lagi. Namun aku menahan tangannya lalu memutarnya hingga dia meringis kesakitan. "Cukup!" Ujarku sambil menatapnya marah, "tidakkah kau punya rasa malu terhadap istrimu?"
Aku melihat ada dua orang anak yang menangis lalu menghampiri wanita itu dan segera memeluknya. Lelaki itu hanya diam tak berkutik, namun wajahnya merah padam seperti ingin menerkamku hingga habis. Sementara orang-orang hanya menyaksikan duel kami, padahal mereka sama-sama jantan namun sepertinya tak punya nyali.
Lelaki itu lantas berteriak persis di depan wajahku. "Hei! Siapa kau yang berani-beraninya mengusikku?"
Dasar lelaki tak punya adab, batinku terus saja mencerca dirinya.
Aku berusaha tenang dan tidak ikut tersulut emosinya, walau sebenarnya ingin, tapi aku tahan.
"Memangnya kau siapa?" Tanyaku balik.
Orang-orang di sekitar tampak takut dan memberiku isyarat untuk menjauhinya. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berusaha memisahkanku sambil terus meminta maaf kepada lelaki itu. Aku enggan dan tidak menggubris perintah itu. Di sini aku harus membela kebenaran. Apalagi jika ini menyangkut wanita, aku harus berbuat apa yang menurutku baik.
Lelaki itu melotot. Tangan kirinya akan menampar pipiku, namun aku menahannya lagi lalu memutarnya seperti apa yang kulakukan pada tangan kanannya. "Kalau kau berani bersikap rendah pada wanita, aku akan mematahkan tanganmu."
Dia tertawa jahat sambil sesekali meringis. "Hahaha! Dasar bocah! Memang aku akan takut pada ancamanmu?"
Sang istri menghampiriku sambil menangis. "Tak apa, neng. Biarkan saya dan suami saya yang menyelesaikannya." Dia memeluk kedua anaknya yang masih kecil.
"Ini bukan cara menyelesaikan masalah, bu. Ini adalah penyiksaan. Dan mana mungkin saya akan membiarkan seorang wanita disiksa di hadapan saya sendiri?"
"Dan kau?" Aku memelototi lelaki itu. "Punya apa kau di sini hingga sikapmu begitu angkuh?"
Matanya menatapku tajam.
"Kau tak ada apa-apanya jika dibandingkan seluruh alam ini."
"Tahu apa kau? Berani-beraninya menceramahiku!" Dia menyentakku.
"Sedikitnya saya tahu dan paham bagaimana cara bersikap pada orang yang lebih tua, atau wanita. Karena saya sadar saya tak akan terlahir di sini tanpa seorang wanita."
Napasnya begitu berat. Matanya terus saja memelototiku.
"Kau bersikap kasar pada seorang wanita, padahal kau juga terlahir dari seorang wanita."
Suasana tiba-tiba hening. Semua mata memerhatikanku.
"Memang istrimu tidak melahirkanmu. Tapi lihatlah," aku menghampiri kedua anaknya, "mereka terlahir dari rahim istrimu. Semua ini tak akan terjadi kalau tanpamu. Bagaimana kamu bisa menghargai ibumu sendiri yang telah mengandung, menyusui dan yang merawatmu sampai kamu mandiri? Kalau kamu saja tidak menghargai istrimu?"
Dia terdiam.
"Saya masih baru di sini. Belum seminggu saya datang. Dan ketika melihat kejadian ini, hati saya begitu teriris. Mereka menganggap wanita itu rendah, tak pantas dijaga atau dicintai. Padahal mereka sendiri yang sudah menampakkan dirinya begitu rendah. Karena mereka tak ingat kalau wanita sangat berperan penting dalam kehidupannya." Aku menghampirinya. "Ada masalah apa sebenarnya pak? Bisa tidak menyelesaikan sebuah permasalahan rumah tangga dengan baik baik dan di rumah saja?"
"Lihatlah!" Aku menunjuk orang-orang, "apa kau tak punya rasa malu diperlihatkan seperti ini? Dan istrimu, tidakkah kau memiliki rasa kasihan sedikit saja padanya? Apalagi perdebatan ini seperti sirkus yang tengah dipertontonkan. Sungguh tidak memiliki adab!" Kataku tegas.
Pria itu masih saja terpaku mendengar semua ucapanku.
"Istighfar pak. Minta ampun pada Allah dan istrimu. Saya yakin hidup bapak tak akan tenang kalau pekerjaan bapak seperti ini setiap hari. Dan oh!" Aku sadar sesuatu, "maafkan saya karena tadi saya bersikap keras pada bapak bahkan menyebut kamu."
"Semua, semua terjadi begitu cepat. Saya begitu takut melihat orang-orang seperti bapak yang terlambat menyadari kesalahannya sendiri. Yaa saya juga memiliki kesalahan. Tapi bukankah seorang muslim diharuskan sama-sama untuk saling memperbaiki dan mengingatkan kesalahan saudaranya?"
Aku melihat ada butiran air yang jatuh dari matanya.
"Seharusnya bapak bangga dengan keadaan bapak yang sempurna seperti ini. Ada istri, dua bidadari kecil, bahkan bapak sendiri terlihat sempurna sebagai seorang pemimpin dan ayah dalam keluarga. Coba lihat orang-orang diluar sana. Para pemimpin yang memiliki keterbatasan fisik, tapi mereka tak pernah mengeluh untuk mencari sesuap kebahagiaan untuk keluarganya."
"Tapi bapak-," aku menjeda ucapanku. "Hanya mempergunakan kesempurnaan bapak untuk main fisik terhadap wanita. Apakah itu sebuah kebanggaan tersendiri ketika bapak melakukannya?"
Aku melihatnya terduduk lemas lalu menangis. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "tidak, tidak!"
Aku menghampiri sang istri kemudian memeluknya. "Apa ibu tidak apa-apa? Sepertinya ibu harus pergi ke dokter."
Tapi ibu itu mencegahku. "Tidak nak, tidak usah." dia kemudian memegang tanganku, "dengan perlakuanmu yang seperti ini, saya sudah banyak berterima kasih padamu. Suami saya berhati keras dan batu. Tapi ketika kamu menasihatinya, dia mampu luluh. Saya baru kali ini melihatnya menangis."
Aku terharu mendengar ucapannya.
"Siapa yang mengajarimu menjadi wanita tangguh seperti ini?"
Aku langsung terdiam. Wajah sosok itu lantas berseliweran di kepalaku. Dialah orang yang banyak memberiku pelajaran dalam hidup. Andai saja kamu ada di sini, mungkin kamu bahagia melihatku seperti ini.
"Nak," ibu itu menyadarkanku. "Apa ada masalah?"
"Oh t-tidak Bu. Sebenarnya, teman saya yang sudah mengajarkan saya seperti ini."
"Kalau begitu, sampaikan salam ibu padanya, ya."
Mataku kian memanas. "Iya, Bu. Nanti akan saya sampaikan kalau kami sudah bertemu."
Ibu itu merasa aneh. "Emang temennya kemana?"
Aku tersenyum kecil. "Saya juga tak tahu dia pergi ke mana, bu. Dia seakan serpihan kertas yang tiba-tiba menghilang tak tahu kabar ada di mana atau bersama siapa."
Ibu itu langsung mengusap punggungku. "Sabar, nak. Semua ini adalah cobaan. Ibu yakin kamu akan segera menemuinya, akan ibu doakan. Yang terpenting, kamu harus sabar. Lihatlah," dia menunjuk suaminya, "saya kira suami saya tak akan berubah. Tapi saya berusaha tabah, sabar dan kuat. Ternyata Allah mengabulkan apa yang saya minta. Asal jangan lupa pada Allah, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan."
"Aamiin." Aku memeluknya sambil terisak, "terima kasih, bu. Telah menguatkan saya."
Pria itu kemudian datang menghampiri kami, dan tanpa ada yang menyangka, dia langsung berlutut pada istrinya yang tengah berdiri. Dia menangis. Sangat menangis. Bahkan orang-orang di sekitar pun sama-sama ikut menangis.
"Maafkan aku." Katanya histeris. "Aku belum bisa menjadi suami yang becus dalam segala hal. Aku selalu menyakitimu, memaksamu untuk terus bekerja mencari uang, menyiksamu ketika daganganmu tak habis. Sementara itu, aku hanya berfoya-foya, berjudi, menghabiskan semua uang jeri payahmu."
Istrinya ikut menangis sambil mengangkat suaminya berdiri. "Tidak mas, kamu tak harus melakukan ini. Aku sudah memaafkanmu."
"Aku malu padamu dan wanita ini," dia melihat ke arahku, "dia yang telah menyadarkan semua kesalahan yang sempat membatu lama dalam diriku. Kumohon maafkan aku atas perilakuku yang kasar tadi terhadapmu. Kumohon maafkan aku."
Aku tersenyum. "Minta maaflah pada Allah, pak."
"Aku tak yakin kalau Allah akan mengampuniku."
"Bapak jangan berkata seperti itu. Allah Maha Pengampun. Selagi masih ada waktu, bapak bisa meminta ampunan pada-Nya dan jangan mengulangi kesalahan yang sama lagi."
"Terima kasih." Pria itu menyeka air matanya. Lalu memegang tangan istrinya. "Hari ini aku berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab padamu dan anak-anak kita. Aku akan mencari kerja, aku tak akan lagi berjudi." Katanya mantap.
Istrinya mengangguk lalu memeluknya. Sementara itu, setelah semuanya telah selesai, aku meminta pamit dari mereka untuk pulang. Mereka tersenyum dan terus berterima kasih padaku. Orang-orang di sekitar pun banyak yang memujiku sesaat sebelum mereka bubar.
Aku berjalan pulang. Rasanya aku bahagia sekali bisa menyatukan keluarga yang sempat hancur ini. Bibirku terus mengucapkan kalimat tayyibah pada Allah. Dan meminta-Nya agar terus menjaga Alif di manapun ia berada. Karena setidaknya, dialah orang yang mampu mengubah pribadiku menjadi seperti ini. Walau memang sudah tertulis dalam takdir, tapi aku yakin dialah perantaraku dalam melakukan semua perubahan.
Aku baru merasakan sekarang tanganku perih. Darahnya sudah mengering, tapi luka lecetnya masih tetap ada. Aku memutuskan untuk membeli obat merah dan perban di daerah sini. Karena nanti kalau di rumah, bibi pasti menanyaiku.
Tapi aku mendengar seperti ada suara yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah, memastikan apa yang kudengar benar atau tidak. Dan benar, suara itu kian mendekat lalu sepertinya sudah ada di belakangku. Aku rasa suara ini tidaklah asing, seperti pernah mendengarnya.
Ketika aku membalikkan badan,
oh tidak!
Lelaki itu!
"Kak hamzah?" Bibirku sontak mengucap namanya.
Dia menyunggingkan senyum. "Ini," dia memberiku ponsel. Ya Allah! Sepertinya tadi aku lupa membawa ini.
Aku sedikit ragu mengambil ponselku. "Terima kasih, kak."
"Sama-sama."
Dia kemudian melihat tanganku. "Eh tanganmu berdarah?" Katanya.
Aku gugup.
"Mari, aku obati." Dia mengajakku bertepi di bawah pohon. Awalnya aku menolaknya, tapi dia memaksaku dengan berkata, "nanti kalau tidak diobati dengan cepat, ini bisa-bisa infeksi."
Ya sudah, mau tidak mau aku harus menuruti apa kata dokter.
"Aduh." Aku sedikit meringis ketika dia memberi alkohol pada lukaku.
"Maaf," dia melakukannya dengan hati-hati, "aku tadi melihatmu adu mulut dengan seorang lelaki."
Aku terperanjat. "Dari mana kakak tahu?"
Dia terkekeh. "Tak usah memanggilku kakak. Nama saja. Hamzah."
"Mana mungkin, kamu kan kakak temanku."
"Tapi kita masih seumur." Katanya.
Aku heran. "Benarkah?"
Dia tersenyum. "Nanti Ayssa akan bercerita kepadamu."
Luka di tangan sudah ia perban dengan rapi. Ia mengobatiku tanpa sekali pun menyentuh tanganku. Aku berterima kasih padanya karena telah melakukan ini semua. Dia mengangguk, lalu membawa sesuatu dari tasnya. Sebuah bekal kecil.
Dia membukanya dan memberikan kepadaku satu.
"Ini," katanya.
Aku sedikit tersenyum. "Tidak, terima kasih."
"Kenapa? Tak suka?"
Aku menggeleng. "Tidak."
"Lantas?"
Rasanya aku tak mau menjawab lebih banyak ucapannya. Namun, karena tadi dia sudah mengobatiku, setidaknya aku jangan terlalu dingin pada lelaki ini.
"Aku sudah berjanji tak akan memakan roti keju."
Dia terkejut dan menghentikan kunyahannya. "Berjanji? Maksudnya? Kamu berjanji pada roti ini agar tidak memakannya?"
"Bukan seperti itu." Aku menghela napas, "aku berjanji tak akan memakannya sebelum temanku datang."
Dia terdiam. Lalu melanjutkan lagi kunyahannya. "Oh, baiklah."
"Ya sudah, aku pulang. Terima kasih untuk semuanya." Kataku sambil pergi.
Dia mengejarku. "Hei! Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Yang mana?" Jawabku.
"Kamu adu mulut kan sama pria itu?"
"Iya."
"Wah. Argumenmu aku suka. Padahal menurut orang-orang yang aku dengar tadi, dia seorang pria galak yang selalu mengkudeta setiap orang. Apalagi is-"
Aku memotong pembicaraannya. "Tapi Alhamdulillah dia sekarang sudah sadar."
"Yap, semuanya berkatmu."
"Tidak, bukan aku."
"Lalu?"
Aku menghentikan langkah, lalu membalik badan. "Kita baru kenal, dan kamu selalu saja ingin tahu tentangku."
"Itu manusiawi." Katanya.
"Tapi aku tak suka."
"Ya siapa suruh kamu menyukaiku?"
Aku memutar kedua bola mata. Kesal. Laki-laki ini ternyata menyebalkan. Aku langsung berlari meninggalkannya tanpa lagi menghiraukannya.
"Hei tunggu?!"
Aku tak menggubris.
"Hei!"
Aku melanjutkan langkahku.
"Aduh!" Aku mendengar ada suara terjatuh. Aku sempat menghentikan langkah, lalu menolehnya.
"Hamzah!" Aku segera berlari menghampirinya.
Ternyata kakinya keseleo saat mengejarku tadi. "Kamu ini menyebalkan, Hamzah. Sudah kubilang jangan mengikutiku."
"Eh, sejak kapan kamu bilang?" Dia sedikit meringis.
"Aku tadi sudah lari. Itu artinya aku tak mau kamu mengikutiku. Kenapa kamu tak paham?"
"Oh, kukira kamu akan mengajakku lomba lari."
Aku diam. Rasanya beradu mulut dengan orang ini lebih sulit dibanding pria tadi. Aku membawa salep dalam tasku. Untung saja tadi sebelum berolahraga aku membawanya, berjaga-jaga.
"Ini," aku berikan salep itu padanya, "kamu saja yang mengoles."
Dia membawa salep itu.
"Kamu kan seorang dokter, mengobati orang lain pasti bisa. Jadi, mengobati diri sendiri tentunya juga bisa."
Dia tertawa. "Benar juga. Tapi aku tahu itu bukan alasan utamamu."
"Tidak usah menebak, aku tak mau dengar jawabannya."
"Oke baiklah." Dia mengoles salep itu pada kakinya.
"Hati-hati." Kataku.
Dia tersenyum sambil mengangguk.
Aku tiba-tiba teringat ucapan Ayssa. Dia baru kembali ke Indonesia setelah 7 tahun. Dengan penasaran, aku mencoba bertanya apa alasannya. Awalnya ia tak mau memberitahu, namun aku sedikit memaksanya.
"Aku menangani seorang pasien," katanya, "tapi pasien ini berbeda."
"Maksudnya?"
"Dia sudah sakit selama lima tahun. Dan aku yang menanganinya sendiri."
"Apa dia baik-baik saja sekarang?"
"Alhamdulillah. Bahkan dia sudah pulang ke Indonesia. Maka dari itu aku juga pulang."
"Ohh. Memangnya penyakit apa yang pasienmu derita?"
"Hmm." Dia nampak berpikir. "Penyakitnya tergolong langka. Sulit sekali diobati. Ketika sudah sembuh pun, kemungkinan besar akan menyerangnya kembali." Dia tak berani menatapku, entah apa alasannya. "Ini, salepnya. Terima kasih."
Aku mengambilnya. Lalu dia berdiri dan meminta pamit. "Sepertinya aku harus pergi dulu. Terima kasih bantuannya. Assalamualaikum." Dia pergi berlalu dengan kaki yang sedikit pincang.
"Waalaikumussalam." Aku menatap punggungnya yang semakin berlalu. Rasanya orang ini mirip sekali dengan Alif yang saat itu masih agak gugup kepadaku. Dia selalu adu mulut denganku, tapi bukan berkelahi. Kami hanya saling menyampaikan pendapatnya masing-masing. Itu bagiku terasa lucu. Dan ketika melihat hamzah, sifat dan makanan kesukaannya sedikit sama dengan Alif. Hanya saja Alif terlalu berbeda untukku. Dia terbaik dari apapun yang terbaik.
....
Assalamualaikum, gimana kabarnya?
Semoga sehat ya.
Jangan lupa beri vote + commentnya
+++#stayathome oke.
ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^
Phir Milenge
Salam