App herunterladen
27.58% Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu / Chapter 8: Bos Sumbu Pendek

Kapitel 8: Bos Sumbu Pendek

Al Kahfi Land, Depok, 2004

Manusia adalah makhluk pelupa. Sangat pelupa.

Cahaya matahari mengintip perlahan dari lereng bukit hutan pinus, walau masih malu-malu, tetapi sinarnya telah menyelip di antara dahan-dahan dan daun pohon yang rimbun, mengusir kabut yang masih menyelimuti sebagian bukit. Burung-burung berkicau merdu seolah menyambut segelintir pekerja yang telah datang.

Pagi di Al Kahfi Land terasa damai dan tenteram, tetapi tiba-tiba sebuah sedan mewah melaju kencang dan berhenti mendadak di depan lobi hingga mendecit. Sepertinya suasana ini akan segera berubah.

Petugas keamanan bernama Pak Jajat terkejut, terlebih lagi ia melihat mobil itu dikendarai sendiri oleh pemiliknya. Dengan sigap Pak Jajat membuka pintu mobil sambil menyapa Erlangga, walau ia tahu tidak akan disahuti, kemudian ia langsung menuju bagasi mobil untuk mengambil barang-barang yang biasa dibawa Erlangga sambil bertanya di dalam hati, biasanya kalo Pak Didi lagi enggak bisa nyupirin, Pak Bos enggak masalah. Kenape sekarang muke die keliatan kaya abis ngunyah cabe sekilo?

Wajah Erlangga memang terlihat lebih garang dari biasanya, ia bagai membawa dinamit yang sumbunya telah tersulut dan perjalanan titik baranya semakin mendekati sumber ledak.

Mata Erlangga menantang mata semua orang, seperti penembak jitu yang membidik sasaran. Beberapa karyawan yang tanggap situasi segera menunduk atau menyingkir sebelum berpapasan. Sungguh sayang, masih ada saja karyawan tak pandai membaca bahasa tubuh, ia malah menjilat di saat tak tepat.

"Wah, bapak. Semangat pagi, Pak Erlangga Yusuf. Mungkin ada yang bisa saya bantu?"

"Minggir! Enggak usah cengengesan aja kaya orang goblok!" maki Erlangga.

Karyawan kurang beruntung itu segera menyingkir, padahal sepertinya dia berharap mendapat pelukan hangat. Beberapa karyawan lain yang seolah sedang tiarap pun tertawa terpingkal-pingkal tanpa suara.

Biasanya Erlangga langsung menuju lift eksekutif menuju ruangannya di lantai paling atas, pagi ini ia malah berjalan menuju area kerja karyawannya.Para karyawan yang melihatnya langsung berdiri.

"Ini meja siapa aja, kenapa masih banyak yang kosong? Siapa yang bisa jelasin ke saya?" tanya Erlangga.

Nah! Ini baru saat yang tepat untuk menjilat. Satu! Dua! Ti .... Dor! Trio gosip berebut menjawab, mereka sangat lihai menyebut nama-nama, bahkan mengadukan kekurangan teman-temannya sendiri yang tidak ditanyakan.

Erlangga semakin gusar. "Kasih tahu ke manusia-manusia sampah itu, kalau udah enggak mau kerja, suruh keluar aja! Mana HRD? Panggil Santoso, Cepat!"

Priiit! Balap mencari Santoso dimulai!

Erlangga tidak suka menunggu, ia malah pergi mencari sasaran tembak di area kerja lain saat trio gosip memburu Santoso.

Satu korban terjaring di tempat lain, Erlangga menemukan pemandangan yang tidak disukainya, yaitu tempat kerja berantakan. Erlangga melempar kertas-kertas di meja karyawan malang itu.

"Lu tahu kerja di mana? Kakus kantor ini aja lebih bersih dari mejalu. Cari kantor lain!" bentak Erlangga.

Si pemilik meja membungkuk-bungkuk minta maaf, lalu tergopoh-gopoh merapikan mejanya.

Erlangga terus berpindah ke area-area kerja lain sambil menghujani telur busuk ke manusia-manusia tidak berdaya.

Baiklah, ada apa dengan Erlangga? Bukankah tadi malam ia seolah mendapat hidayah?

Ternyata memang ada sebabnya. Pak Didi mengambil izin cuti mendadak karena istrinya melahirkan. Erlangga pun memilih menyetir mobilnya sendiri karena ia tidak suka diantar oleh supir kantor lain. Memang bukan itu penyebab kemarahannya.

Di tengah kemacetan lalu-lintas, Erlangga tetap sibuk dengan PDA-nya, sehingga ia membuat seorang pengendara sepeda motor terjungkal. Pemilik motor itu mengamuk, tetapi Erlangga mana mau kalah. Sialnya, sikap arogan Erlangga mengundang solidaritas kaum roda dua lain. Erlangga terpaksa mengalah. Masalah bisa selesai dengan uang kaget, tetapi dendamnya belum usai. Kalah dari orang-orang kecil di luar, membuat Erlangga harus kembali jadi pemenang. Di mana lagi kalau bukan ditempatnya berkuasa?

Kini Erlangga telah berada di koridor lantai tiga, di area ruang kerja para arsitek. Erlangga mengistimewakan para arsitek dengan memberi jatah satu ruang kerja besar untuk setiap arsitek, karena ia masih menempatkan dirinya sebagai arsitek.

Di sini masih sepi, belum ada yang datang, kecuali seorang arsitek yang menempati ruang di ujung koridor. Erlangga segera menuju ke sana.

Erlangga teringat sesuatu, Itu bukannya ruangan orang yang suka sholat?

Ruangan Widi mendadak sakral bagi Erlangga, sehingga ia tidak sampai hati membombardir penghuninya, ia malah menjaga jarak aman untuk mengamati.

Posisi meja Widi tidak sama dengan meja di ruangan lainnya, arsitek lain rela melewatkan pemandangan danau agar monitornya tidak terlihat oleh orang yang melewati ruangannya, sementara Widi memilih memunggungi koridor agar konsentrasinya tidak terganggu oleh lalu-lintas orang dan bisa menikmati pemandangan danau di depannya.

Widi sangat fokus pada pekerjaan di layar komputernya sehingga tidak menyadari kehadiran Erlangga, apalagi ia juga menggunakan headphone untuk mendengar musik.

Erlangga memandangi ruangan Widi dengan kagum. Walaupun sikapnya menyebalkan, tetapi ia tetap seorang arsitek sejati yang tidak mampu menolak keindahan geometris.

Ruangan Widi memang menarik, ia memanfaatkan sampel material dan furnitur dari vendor untuk mempermanis ruangan, sekaligus menunjukkan miniatur desain dari proyek yang sedang ia garap. Widi juga memisahkan sampel yang belum dibutuhkan pada rak-rak berdasar masing-masing kategori, mirip perpustakaan, sangat rapi.

Erlangga terpana memandangi sketsa gambar-gambar bangunan hasil karya Widi yang berjejer di dinding. Ternyata Widi adalah arsitek yang karya-karyanya sangat dikagumi Erlangga.

Kini Erlangga memperhatikan Widi, alisnya jadi terangkat karena heran. Ini beneran yang punya ruangan? Buset penampilannya!

Percayalah, kali ini Erlangga tidak berlebihan. Apa alasan Widi mempertahankan jaket motornya yang gombrong dan lusuh? Bahkan ia masih memakainya juga di ruang kerja yang indah ini. Bukankah sobekan lebar di bagian lengan, sebentar lagi akan membuat jaket itu buntung sebelah? Belum lagi, renda-renda sisa benang yang menjuntai, itu tentu sangat menyakitkan mata siapa saja yang melihat, bukan hanya Erlangga.

Walau batin Erlangga terluka oleh keberadaan jaket itu, ternyata ia tidak marah. Mungkin jaket itu punya nilai sejarah yang kuat.

Aura positif Widi tampaknya menular pada Erlangga. Tiba-tiba Erlangga kembali tercengang, bahkan mulutnya ternganga. Widi memakai sandal jepit. Maaf, ini juga bukan sekedar soal pakai sandal jepit di kantor. Lagi-lagi kita harus berpihak pada Erlangga. Alas pijakan sandal jepit bertali hijau itu pasti pernah berwarna putih, kini bukan hanya agak abu-abu, tetapi juga agak hijau karena sebagian besar alas pijakannya sudah terkelupas

Ya Tuhan, teganya. Okelah, lu rajin sholat, mungkin biar gampang wudhu, tapi kan banyak sendal jepit yang bagus. Masak sendal ini punya nilai sejarah juga? komentar Erlangga di dalam hati.

Erlangga tetap memaafkan Widi. Menurutnya kantor ini sangat butuh orang seperti Widi, tetapi ia punya catatan khusus tentang beberapa benda butut yang melekat pada perempuan ini.

Tiba-tiba Widi melepas headphonenya, lalu berdiri cepat sehingga kursi berodanya terdorong mundur ke belakang. Erlangga langsung mengembangkan senyum untuk Widi, tetapi ternyata Widi hanya sedikit menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari karet.

Sialan dicuekin! Erlangga tertawa dongkol di dalam hati sambil memperhatikan wajah Widi. Hmm ... padahal tampangnya lumayan.

Widi kembali memunggungi Erlangga sambil membuntal rambut sekenanya, lalu pensil yang semula terselip di salah satu telinganya beralih fungsi menjadi pengait rambut. Kini Erlangga dapat melihat tulisan di belakang jaket Widi.

'Apa Liat-Liat? Udah Lunas!'

Rusak! Rusak udah pamor kantor gue! Tulisan norak itu pasti udah sering dibaca sama tamu-tamu kantor.

Erlangga semakin patah hati pada Widi. Ia tidak menyangka kalimat konyol yang biasanya tertulis pada stiker angkot atau buntut motor, ternyata juga ada di punggung arsitek terbaik kantor bonafide ini. Pamor Al Kahfi Land bisa langsung terjungkal akibat tulisan itu.

"Yaaah!" Widi terpekik. Erlangga pun terkejut.

Rupanya layar monitor kompute Widi mendadak bluescreen, ini bisa membuat file pekerjaannya rusak.

Widi sangat kesal, ia menghempaskan badannya ke kursi yang tidak disadari posisinya telah berubah dari tempat semula, ia pun jatuh ke lantai.

Gedubrak!

Erlangga kembali terkejut, lagi-lagi ia menyaksikan peristiwa tak terduga. Ia hampir mau menolong, tetapi tidak jadi karena gengsi. Ia malah berputar memunggungi seolah tidak melihat.

Widi bangkit sambil melihat Erlangga. Hah! Siapa tuh?

Erlangga ikut-ikutan jadi konyol, ia seolah sedang sibuk dengan PDA-nya.

Widi menarik nafas lega. Untung dia enggak lihat.

Widi memanggil Erlangga, "Mas! Mas!"

Erlangga mendadak kaku. Sialan! Mati gaya deh gue! Harusnya gue cabut aja tadi.

Setelah yakin Erlangga tidak punya keperluan dengannya, Widi membenahi kursi, lalu duduk sambil mengenakan headphonenya lagi.

Erlangga pelan-pelan memutar badannya lagi, ia melihat Widi. membidik pajangan origami di atas lemari dengan pensil di jarinya.

Konyol banget ya nih anak. Mau ngapain lagi tuh orang?

Widi pun melontarkan pensil sehingga pajangan origaminya berserakan.

"Percuma kantor keren kalo komputernya butut! Dasar Si Ucup, jadi owner, nuntut aja bisanya! Cup, Ucup!" omel Widi. Karena menggunakan headphone, Ia tidak sadar suaranya terdengar keras.

Erlangga melongo mendengar makian Widi. Ucup?

"Sekali-kali lihat dong kebutuhan orang yang niat kerja. Ngamuk-ngamuk terus, enggak sehat lho, Cup! Hihihi, kaya pernah ketemu aja. Desmond aja udah serem, apalagi Si Ucup, jangan sampe deh!"

Widi memandangi layar monitornya sambil merenung.

"Padahal udah berusaha selalu ngasih hasil terbaik, tapi kenapa sih Desmond masih terus aja cari cara buat ngeluarin aku dari kantor ini?"

Erlangga hampir membuka pintu ruangan Widi, tetapi kemunculan Santoso di ujung koridor membuatnya menunda keinginannya untuk bicara dengan Widi. Erlangga menghampiri Santoso dan mengajaknya bicara di rumah Segi Empat.

*****


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C8
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen