“Ngapa lu kepo namanya?”
Dita tersentak ketika kalimat itu berbisik ditelinganya, ia pun segera membalikkan tubuhnya. “Tai ayam!” teriaknya kaget ketika mendapati wajah Radit apalagi dua lubang hidungnya yang menganga sangat dekat dengan wajah Dita.
Radit memundurkan tubuhnya dengan wajah kesal. “Enak aja tai ayam! Bokong kebo lu!” umpatnya bergantian.
“Elu sih, ngapain juga ngagetin gua? Nggak ada kerjaan? Mati aja sono!” Dita sudah berjalan meninggalkan laki-laki itu.
Radit menatap langkah Dita, bisa-bisanya meninggalkan dirinya mematung di tengah koridor. “Lu mau ke mana Dit?” teriaknya yang masih di berada di posisi awal.
“Lab!” jawab Dita yang terus melangkahkan kakinya tanpa menoleh, ia hanya mengangkat tangan kanannya.
“Ikut!!!” teriak Radit yang sudah berlari mengejar Dita bak anak ayam ditinggal induknya, eh tapi.. Radit kan tai ayam? Aish, skip.
Sesampainya mereka di lab bahasa, Radit segera mendudukkan tubuhnya di kursi sedangkan Dita sibuk dengan beberapa kertas di tangannya. Ruangan sepi saat itu dan hanya mereka berdua, so sweet kan ya.
“Dit, lu lagi ngapain sih?” tanya Radit mendekat ke arah Dita yang masih sibuk memilah memilih kertas-kertas yang ada di atas meja. Ditatapnya wajah Dita dan kertas tersebut bergantian, cantik, batinnya.
“Eek,” jawab Dita cuek.
Dahi Radit mengernyit. “Pala lu eek—”
“Eits.. pala gua nggak bisa eek, bokong Dit bisanya,” potong Dita cepat sembari menatap Radit hingga menghadapkan tubuhnya.
“Lu udah sembuh ya?” Radit meletakan telapak tangannya pada kening gadis itu, mengerutkan keningnya seakan tengah berpikir pasal ujian hidup. Bola matanya sesekali menatap netra perempuan itu serius sambil sesekali melirik ke samping.
“Radit, lu—” ucapan Dita terpotong ketika telapak yang tadi di keningnya berpindah ke bokong laki-laki itu. “Belatung! Coeg! Sialan lu!” semprot Dita sembari memukul-mukul lengan Radit.
Radit malah tertawa terbahak-bahak sembari mengaduh. Tenaga perempuan itu bisa lebih kuat dari laki-laki bayangkan ketika sudah nge-fly malah dihempaskan begitu saja. Sakit mak! Kan malah curhat.
“Udah ah! Gua mau balik!” sungut Dita yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan tersebut.
“Eh.. Dit! Jangan ngambek dong!” teriak Radit yang ikut mengejarnya.
●
“Lu bawa tisu nggak?” tanya Dita pada sahabatnya yang tengah berjalan bersamanya itu. Keduanya baru saja keluar kelas karena waktu pulang sudah tiba.
“Elu kan tadi bawa tisu?” Nona malah balik bertanya.
“Abis Nyong. Huah pilek!” geram Dita sembari sibuk memegangi hidungnya, langkahnya ia sentak-sentak akibat flu yang mengganggunya seharian.
“Dit, yok balik!” dua perempuan itu menoleh ketika mendengarnya, dilihatnya Radit dan Ajik tengah berjalan mendekat.
“Non, gua bisa ngomong sebentar kan sama lu?” terlontarlah sebuah pertanyaan dari mulut Ajik setelah mereka sampai di dekat dua perempuan itu.
“Nggak bisa! Gua mau balik!” tolak Nona mentah-mentah, kalo mateng-mateng enak kalik ya.
Radit dan Dita saling lirik, mencari jawaban dari mimik wajah. “Elah, lu pada ngapa? Berantem ya? Jadian aja belom udah berantem,” celetuk Dita mendadak dapat ide.
“Eh.. somplak! Yang namanya berantem itu kan so sweet, tapi kok lu pada berantem kagak pukul-pukulan?” Radit ikut-ikut mencairkan suasana yang sepertinya mencekam di antara Ajik dan Nona.
“Eh somplak-somplak! Berantemnya kan pukul-pukul manjahhh...” ucap Dita menjijikkan sembari memukul lengan Radit manja, bayangin deh.. iuh banget sumpah.
“Ya udah ayok!” Nona enggan menanggapi ejekan sahabatnya dan Radit, ia pun segera berlalu meninggalkan ketiganya.
Ajik tersenyum lebar, melirik ‘Radita’ sembari menaikkan kedua alisnya bersamaan dengan menjentikkan jarinya, ia pun berlalu mengikuti Nona.
Radit dan Dita pun mengepalkan salah satu tangannya dan dibenturkan bersamaan. “Mak comblang!” ucap mereka dan di akhiri dengan tawa. “Ya udah yok balik!” Radit segera merangkul Dita dan berjalan menuju parkiran dan yang dirangkul tidak protes sama sekali.
“Emang mereka udah jadian belom sih?” tanya Dita.
“Tanya dong lu ama Nyongna.”
“Namanya Nona, Dit!”
“Lah, elu manggilnya Nyong.. ya gua ikut-ikutanlah.”
●
Sore menjelang sore, elah gimana dah intinya sore-sore mangan pete. Skip.
Dita yang tengah boring itu pun berniat main ke rumah Radit. “Radit!” teriaknya setelah masuk ke dalam rumah laki-laki itu. Nggak sopan emang dasar tuh anak.
“Di atas tuh Dit,” jawab ibunda Radit dari dapur.
“Di atas?” gumam Dita sembari meletakkan kedua tangannya di atas kepala, pelan-pelan ia mendongakkan kepalanya.
“Elu ngapain bocah?!”
“Sontoloyo!” teriak Dita sampai melompat ketika ada seseorang menepuk bahunya. “Elah, Bang Liam ngagetin gua aja!” sungutnya setelah tahu siapa orang yang mengagetkannya.
“Lagian elu ngapain coba? Cantik-cantik kok bego!” ucap Liam mak jleb, sakit.
“Gua cantik ya Bang?” tanya Dita sembari menaikturunkan alisnya.
“Kagak!” semprot Liam dan berlalu.
“Ye.. daripada elu ganteng-ganteng jelek!” teriak Dita kesal. “Eh.. ganteng-ganteng jelek? Kayak judul lagu.. tungdangdut.. tungdangdut..” ia pun sudah bergoyang-goyang dengan gila. Ya Tuhan, anaknya siapa sih ini?!
“Dita? Ngapain masih di sini?” Sia, ibunda Radit menghampiri anak kurang waras itu. Ciah.. ibunda, bahasa gua sok iye dah.. emaknya gitu ngapa.
Mendadak aksi gila Dita berhenti begitu saja, ditatapnya Sia serius. “Mah, Radit mana?”
“Kan tadi Mamah udah bilang di atas,” ucap Sia sembari mengelus rambut Dita.
Dita segera mendongakkan kepalanya pelan-pelan. “Noh kan? Kagak ada Mah!” ucapnya sembari menunjuk langit-langit ruangan tersebut. Sia berdecap sebentar. Dita langsung tersenyum manis bak air mineral yang ada manis-manisnya. “Dita ke atas ya,” lanjutnya dan berlalu.
“Anak itu,” gumam Sia sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sesampainya di depan pintu kamar Radit, Dita menempelkan telinganya pada pintu tersebut eh tapi nempelinnya nggak pake lem ya. “Kok rame sih?” gumamnya. “Hoh?! Jangan-jangan!” ia segera membuka pintu tersebut.
“HUAAAAA!!!!” teriak mereka bersamaan.
“Sumveh! Sumveh! Lu berdua pada ngapain?!” teriak Dita sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mesum, anjir! Homo! Homo! Ma—”
Teriakan histerisnya tenggelam ketika sebuah bantal besar nan empuk mengenai wajahnya. “Berisik banget lu bangke!” geram Radit.
Dita segera membuka kedua matanya melihat pemandangan di depannya, kelopak matanya ia sipitkan karena tidak berani melihat apa yang sebenarnya terjadi. “Lu berdua ngapain?!” sergap Dita sembari menunjuk dua laki-laki tak memakai sehelai pakaian pun di badan, di badannya saja ya, celana mah pakek.
“Menurut lu ngapain?” ucap Gilbran yang masih sibuk dengan stik PS-nya.
Ya, dua laki-laki yang dipergoki Dita di dalam kamar tanpa memakai baju tersebut adalah Radit dan adiknya si Gilbran. Dua anak itu memang sering main bareng apalagi kalau main games.
“Cumbu-cumbu ya?” tebak Dita sambil menunjuk keduanya bersamaan.
“Pala lu!” semprot Radit dan Gilbran berbarengan.
“Ini pada ngapain sih?” jengjreng.. datanglah Liam. “Buset, pada ngapain lu?” tanyanya melihat Radit dan Gilbran tak menggunakan baju.
“Cumbu-cumbu Bang, tau kagak lu? Ena-ena gitu deh,” celetuk Dita.
“Ya ampun Dit, bahasa lu! Lu jangan di sini deh, ke kamar gua aja,” ucap Liam sembari menarik lengan Dita.
“Ee... enak banget lu!” Radit dan Gilbran segera menarik lengan Dita yang satunya.
“Daripada ama elu berdua, mesum anjir!”
“Emang elu nggak mesum Bang?!” ucap Radit.
Dita cengo, pandangannya kosong. Sesaat ditatapnya dua kubu yang sedang memperebutkan dirinya. “Elah, gua lagi direbutin nih ceritanya?” tanyanya yang berdiri di antara tiga laki-laki itu.
Ketiganya pun saling pandang dan beralih pada tangan mereka yang memegang lengan Dita. “Idih! PD amat lu!” ucap mereka sembari melepas genggamannya.
“Sialan lu pada!” sungut Dita.
Akhirnya mereka berempat berkumpul di dalam kamar Radit. Kini giliran Liam dan Gilbran yang bermain PS setelah tadi Radit kalah melawan Gilbran.
Radit ikut tidur tengkurap di atas kasur bersebelahan dengan Dita. “Payah lu kalah!” ucap Dita sembari menjitak kepala Radit.
“Gua emang nggak bisa ngalahin Gilbran tapi kalo lawan gua Bang Liam mah udah kao si Abang,” ucap Radit bangga.
Liam yang tengah fokus pada permainannya pun mendadak hilang fokus sehingga ia kalah dibabak pertama. Liam segera membalikkan badannya menatap adiknya di atas kasur.
Tuk! Stik PS mengenai kepala Radit.
“Anjir lu Bang!” sungut Radit sembari menjambak rambut Liam yang tengah duduk di bawah.
“Anjir lu Dit! Diem bego! Kalah lagi nanti gua!” sungut Liam ketika fokusnya kembali terganggu.
Dita menatap Radit yang sepertinya asyik menjambak rambut Liam. “Gua ikut! Gua ikut!” dan pada akhirnya ia pun ikut menjambak rambut Gilbran yang tengah duduk di depannya.
“Anjir lu Kak! Lepas bego! Tai lu!” umpat Gilbran menggila. Jangan ditiru ya.
Radit segera menjitak kepala Gilbran dahsyat. “Anak kecil bahasanya sok iye lu!” ucapnya.
“Gua udah nggak anak kecil lagi kalik! Pacar aja udah punya, lu punya belom Bang?” kalimat itu membuat tiga orang yang mendengarnya menghentikan pergerakan mereka, menatap Gilbran dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Yes, menang!” sorak-sorak gembira keluar dari mulut Gilbran. Ia menatap ketiga kakaknya saat tak mendapat respons. “Lu pada kenapa?”
“GILBRAN!!!” teriak ketiganya dan segera menyerang Gilbran hingga anak itu menjatuhkan tubuhnya di lantai.
“Aduduh.. berhenti ngapa?! Gua salah apa sama elu pada?! Woy, berhenti woy!” berbagai macam Gilbran memohon berhenti namun ketiganya terus mencabik-cabik rambut, celana, hingga kulitnya.
“Jadi elu udah ada cewek?!” tanya Dita setelah aksinya diakhiri. Liam dan Radit pun telah mengakhirinya, napasnya bahkan memburu.
“Iri ya lu,” ucap Gilbran sombong.
“Oo.. mau kita hajar lagi lu?!” geram Radit yang sudah bersiap-siap.
“Eh.. ampun Bang! Bercanda gua bercanda.” Gilbran kembali meletakkan kedua tangannya di atas kepala untuk melindungi dirinya dari serangan ketiga kakaknya.
“Bercanda apanya?” tanya Dita tajam, setajam silet. Wedehh.
“Cewek gua cuman dua kok—”
“WHAT?!”
“Elu sama Mama elah,” jawab Gilbran malas.
Ketiganya kembali membisu, saling melirik satu sama lain dan detik berikutnya mereka segera berhambur memeluk Gilbran. “Aa.. so sweet,” ucap mereka sok manis.
“Najis sumpah!” umpat Gilbran lirih.