Emma menatap Kathy yang seketika menunduk dan terlihat sangat terkejut atas ucapan jahat pria berengsek itu.
"Kenapa merepotkan sekali? Padahal ingin berbuat baik. Pikiran para gadis memang sulit dimengerti. Yah.. setidaknya harus disesuaikan dengan wajahnya juga." Ucap Lary, ikut berdiri.
"Aku benar-benar tidak tau. Kenapa kalian malah menuduhku?" Tambah Brian dengan wajah sok polos. Memancing Emma untuk berkeinginan menampar wajahnya.
Ketiga pria itu sudah berdiri dan hendak pergi. Menggeser kursi besi mereka dengan tidak sopan hingga jadi berantakan.
"Hei..!"
"Jangan Emma." Kathy menahan pergelangan tangan Emma ketika gadis itu hendak berdiri untuk menghadapi ketiga pria kurang ajar itu. "Mereka benar. Aku terlalu banyak bicara. Aku tidak mau kau terlibat masalah karena diriku." Lanjutnya.
Mereka hanya dua orang gadis penari balet. Jangan sampai jadi terluka karena ketiga pria bertubuh besar itu. Tidak akan ada yang bisa melindungi mereka. Jadi, setidaknya merekalah yang harus menjauh dari masalah.
Poppy masih duduk dengan kepala menunduk. Kedua tangannya meremas roknya karena takut. Namun hal yang ia takutkan itu akhirnya terjadi. Donny memanggilnya.
"Poppy! Kenapa kau masih duduk di sana? Ayo pergi!" Donny menghentikan langkah untuk berbalik menatap pacarnya.
Poppy masih duduk mematung. Kedua matanya bergetar dan ia semakin meremas roknya sendiri.
Emma dan Kathy menatap Poppy dengan penuh tanya. "Poppy.." gumam Emma.
"Poppy!" Seru Donny lagi. Hingga membuat gadis itu langsung bangkit berdiri dan terburu-buru membereskan semua barangnya. Ia melangkah tergesa menghampiri sang kekasih. Mengekori langkah ketiga pria itu.
Emma dan Kathy sampai ternganga melihat kejadian mengenaskan tersebut. Mereka masih memperhatikan Poppy yang kini sudah berada di dalam rangkulan lengan Donny setelah mereka meletakkan sisa makanan di bilik cucian.
"Ini tidak benar. Kenapa Poppy bisa berpacaran dengan pria seperti dia?" Ucap Kathy nanar.
"Dia terlihat takut padanya." Gumam Emma.
"Apakah Poppy akan marah jika aku menyarankannya untuk putus? Pria itu benar-benar menghawatirkan." Lanjut Kathy lagi. Namun ia menghela gusar. "Tapi aku tidak sedekat itu dengannya..."
Emma masih menatap keempat orang yang tengah berjalan menuju pintu keluar kafeteria. Di saat itu ia menyadari bahwa Troy dan kawan-kawannya tengah berada di dalam ruangan yang sama.
Donny berdehem dan memalingkan wajah saat kedua matanya bersinggungan dengan milik Troy Roner yang terus memperhatikannya dengan terang-terangan. Ketiga pria itu harus melewati dua meja penuh dengan anggota Jita Kyoei atau bisa disebut juga sebagai anak-anak kelas Judo.
Semua pria itu terus menatap ketiga pria yang terlihat seperti tengah menawan seorang gadis bertubuh kurus mungil di tengah-tengah mereka. Kegaduhan yang mereka buat barusan juga membuat Troy dan rekan-rekannya merasa geram.
Hingga akhirnya Donny dan kedua anak buahnya berlalu dan menghilang dari balik pintu kaca dengan kepala mereka yang terus menunduk. Tentu saja mereka tau siapa pemilik wajah-wajah di dua meja besar itu. Dan mereka tidak memiliki secuil pun nyali untuk hanya sekedar menatap balik tatapan-tatapan yang diberikan kedua belas orang tersebut.
"Bedebah pengecut!" Gumam Martin.
"Tidakkah kita harus memperingati Emma tentang tiga orang itu? Mungkin ia akan terkena masalah jika bergaul dengan mereka." Ucap Nico dengan wajah khawatir.
Sebagai satu-satunya anak laki-laki dengan tiga orang adik perempuan, Nico menjadi sangat perhatian kepada kaum hawa yang memang harus selalu dilindungi. Ia paling tidak tahan jika melihat ada perempuan disakiti oleh laki-laki. Ia akan langsung mengajar laki-laki itu tanpa ampun.
Troy menggeleng sebelum lanjut melahap steak sapinya "Itu bukan urusan kita. Kita tidak boleh ikut campur."
Ian mengangguk "Kita tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Emma. Mungkin dia akan merasa risih jika kita tiba-tiba muncul untuk menguliahinya. Sebaiknya kita urus saja urusan kita sendiri."
***
Benar saja, setelah kejadian di kafeteria tadi, Poppy jadi tidak muncul di kelas balet. Tadinya Emma ingin mengatakan sesuatu pada Ms. Diana, namun sayangnya wanita itu sedang absen sehingga digantikan oleh pelatih lain.
Kelas hari itu terasa seperti angin yang hanya berhembus melewati rambut Emma. Ia tidak bisa berkonsentrasi mau pun menikmati kelas yang selalu ia nantikan. Emma menyadari bahwa Kathy juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Namun gadis itu terlihat lebih terganggu pada kalimat jahat Donny yang menjatuhkan harga dirinya di depan umum.
"Emma.. Apa hari ini kau sibuk?" Tanya Kathy saat mereka tengah berberes setelah kelas selesai.
Emma menggeleng "Tidak. Apa kau ingin aku melakukan sesuatu?"
Kathy menggusap-usap lengannya dengan tidak nyaman "Apa kau mau minum denganku? Aku sedang merasa.. agak.. gundah?" ia terlihat bingung.
"Boleh. Aku akan menemani kau minum. Tapi hari ini aku tidak bawa mobil, jadi mungkin kita harus naik bus." Jawab Emma cepat. Ia bisa melihat wajah Kathy dari tadi terlihat sangat sedih. Dan tentu saja ia akan menolong jika gadis ramah itu membutuhkan pundak untuk bersandar.
Kathy tersenyum senang lalu menggeleng "Tidak apa-apa. Kita naik bus saja."
Emma mengangguk dengan senyuman lembut "Baiklah."
***
Sebuah tangan berotot dengan tali-tali urat yang menyembul-nyembul keluar sedang memoles badan motor berwarna merah hingga mengkilap. Rupa wajahnya terpantul pada tangki bensin motor sport itu. Ia tersenyum hingga memamerkan jajaran gigi putihnya di sana.
"Trimakasih banyak. Kau sangat hebat. Aku akan menjadi pelanggan setia di sini." Ucap Calvin, lalu berdehem. "Tentunya dengan diskon pelajar.." tambahnya dengan suara mengecil.
Troy meliriknya sinis sambil mendengus. Senyuman lebar tadi seketika menghilang dari wajah kerasnya. Ia melangkah ke meja kasir yang dijaga oleh seorang wanita paruh baya yang tangannya nampak sudah sangat cekatan di pekerjaannya. Wanita tersebut memberikan secarik nota pada anak pemilik bengkel tempatnya bekerja selama lima belas tahun ini.
"Ini tagihanmu." Troy memberikan kertas berwarna merah muda tersebut kepada Calvin.
"Astaga.. Aku akan bangkrut.." Gumam pria itu dengan wajah sedih. Lalu ia mengeluarkan dompet lusuhnya dari dalam kantung celana dan mengeluarkan sebuah kartu. "Apa kau menerima kartu kredit?"
Troy menatap kartu berwarna hitam tersebut dengan wajah dongkol. Persetan dengan bangkrut. Itu adalah kartu kredit dengan limit besar yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Sebenarnya Calvin Lee itu manusia seperti apa, sih?
"Bayar di kasir." Troy mengarahkan dagunya pada meja kasir.
"Oke." Angguk Calvin dan melakukan apa yang diperintahkan Troy.
Matahari sudah tenggelam. Namun cahayanya masih menyisahkan warna jingga dan ungu pada langit. Seakan ada seorang seniman yang sedang menyapukan kuasnya di atas kanvas tanpa ujung tersebut.
Calvin selesai melakukan pembayaran dengan perasaan ingin menangisi tagihan kartu kreditnya nanti. Meski bukan dirinya nanti yang secara langsung membayar, melainkan omnya, namun bagi Calvin uang-uang itu adalah milik orang tuanya dan harus ia gunakan dengan sangat bijak. Tapi apa yang bisa ia lakukan jika keadaan terus memaksanya mengucurkan uang.
Begitu ia hendak menyalakan mesin motornya, ia menyadari bahwa Troy tengah berdiri di belakangnya dari kaca spion. Calvin menoleh dan menatap pria itu dengan tanya. "Apa kau mau mengatakan sesuatu padaku?"
"Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Apa kau punya waktu?" Tanya Troy.
Mereka berakhir di sebuah kedai tenda pinggir jalan di dekat bengkel Troy. Pria bertubuh besar dan kekar itu memesan beberapa makanan cemilan yang cocok diminum dengan arak putih yang menghangatkan tubuh mereka di tengah salju yang sedang turun.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Calvin setelah semua makanan sudah diantar ke meja mereka.
"Mereka memboyong anak-anak sanggar judo. Kejadian ini bagai sebuah wabah yang menyebar dengan sangat cepat. Aku sudah mendata ada tiga sanggar yang sudah tutup dalam empat bulan terakhir. Entah mengapa ada beberapa kelompok yang sepertinya memiliki sebuah tujuan yang sama. Mereka semua sedang gencar memperbesar kelompok masing-masing. Merekrut banyak anggota yang berupa anak-anak hebat dengan iming-iming uang berjumlah besar." Jelas Troy.
Belum juga Calvin menjawab, terdengar suara deru kenalpot motor sport yang berhenti di depan pintu tenda kedai. Kemudian dua orang pria masuk menghampiri meja mereka.