Dariel POV
Aku menutup teleponku dengan segera lalu kembali sibuk berkutat dengan komputerku untuk menyelesaikan laporan yang sedang Pak Dikta Tunggu. Sejak seminggu yang lalu ini ketiga kalinya aku lembur karena jujur aku tak enak dengan pak Dikta, aku terkesan mengulur waktu laporanku untuknya. Sebenarnya bukan tanpa alasan juga aku terlambat, belakangan Arabella anak dari Pak Kenan yang sudah aktif bekerja sering bertanya padaku untung saja setelah melewati 3 bulan dia tak lagi memanggil-manggil namaku untuk keruangannya.
"Arabella." Aku malah menyebutkan namanya saat sedang mengetik. Loh kenapa aku begini?. Engga-engga dia itu anak owner. Aku menyadarkan diriku sendiri tentang siapa Ara sementara aku, Aku adalah pria mandiri yang hidup seorang diri dirumah yang Alhamdulillah aku bangun dengan uang hasil kerjaku. Aku bukan orang kaya, aku hanya seorang anak yang ditinggal orang tuanya pergi. kisahku memang cukup menyedihkan dan aku sendiri kadang berpikir aku cukup hebat juga sudah sampai di titik ini.
Dulu aku tinggal dengan kedua orang tuaku dan 2 adikku. Aku tinggal dirumah yang cukup besar karena kebetulan ayahku adalah seorang arsitektur terkenal. Aku tak bisa menyebutkan namanya atau bahkan aku lupa. Ada sesuatu yang berbeda yang aku sadari saat aku beranjak naik ke kelas 3 SD. Adik laki-laki ku bernama Jian dan adik perempuanku bernama Nayla. Aku belum mengerti waktu itu tapi aku dan Jian beda 2 tahun sementara dengan Nayla 4 tahun. Aku merasa aneh karena hanya aku anak yang tak diperbolehkan memanggil Ayah dirumah, aku memanggil ayahku dengan sebutan bapak seperti yang selalu Bi Nani lakukan. Ibuku tak pernah berbicara padaku sedikit pun dan jujur sampai di hari terakhir aku melihat wajahnya pun dia tak berbicara padaku hanya bi Nani yang mengurus segala sesuatu tentangku saat itu. Aku tidur di sebuah gudang yang disulap jadi kamar. Ruangan itu berada di dekat dapur bahkan tak jarang kalau hujan datang air merembes keluar dari atap membuat aku tak bisa tidur karena tetesannya tepat mengarah ke tempat tidurku. Setiap sarapan awalnya aku diperbolehkan untuk ikut duduk di meja makan tapi lama kelamaan bapak menyuruhku untuk makan bersama bi Nani. Bi Nani sendiri adalah wanita tua yang begitu baik, dia merawatku, membantuku mengejutkan PR yang mungkin dia sendiri tak mengerti dengan persoalannya apalagi untuk menjawabnya tapi aku cukup senang dengan dia duduk disampingku saja.
Aku bersekolah ditempat yang sama dulu dengan Jian dan Nayla tapi tak ada seorang pun yang tahu jika aku ini kakak mereka yang jelas orang-orang hanya tahu Jian dan Nayla bersaudara. Aku juga selalu pergi dan pulang dengan berjalan kaki hingga sepatuku berlubang dan oleh karenanya aku harus menjahit lubang itu agar kakiku tertutupi hingga aku memenangkan hadiah sepeda atas prestasiku di sekolah dan lagi-lagi Bi Nani yang datang mewakili sebagai orang tuaku. Aku dulu tak sadar sampai aku paham arti orang tua, arti kakak, arti adik dan apa itu keluarga. Aku seperti terasing. Jelas ini bukan keluarga. Lalu kenapa?kenapa mereka memperlakukan aku seperti itu. Itulah pertanyaan yang tak bisa aku jawab dulu. Aku ingat saat aku sedang membereskan ruang tv dirumah, aku melihat bapak dan ibu tampak senang bercanda tawa bersama Jian dan Nayla sementara aku dikucilkan begitu saja. Aku ingin bertanya tapi aku takut. Aku takut bapak marah dan mengusirku. Setiap kali pembagian rapot tiba bapak tak pernah datang apalagi ibu hanya bi Nani yang datang namun hal itu tak berlangsung lama karena ketika aku masuk SMA Bi Nani meninggal dunia.
Sejak bi Nani pergi semua pekerjaan rumah aku yang kerjakan. Mulai dari mencuci, mengepel, membereskan rumah, membenarkan atap, memasak dan yang lainnya dan tak jarang bapak marah karena aku terlambat menyajikan makan malam. Kadang aku berharap bapak dan yang lain akan menyisakan makanan untukku tapi mereka tak pernah melakukannya. Mereka hanya menyisakan nasi untuk aku makan dengan kerupuk atau garam. Saat saudara kami datang aku selalu kewalahan untuk menyiapkan segala macam yang mereka butuhkan bahkan aku pernah telat bangun karena kecapean membersihkan rumah tapi ada satu pria tua yang baik menyapaku waktu itu.
"Dariel..."
"Iya, apa ada yang bisa saya bantu?"
"Duduk.." Pria tua itu memerintahkanku aku pun duduk di bawah rerumputan.
"Kenapa duduk disitu? disini ada kursi."
"Nanti kursinya kotor, saya sedang bersih-bersih."
"Kamu tahu siapa saya?"
"Hm...orang tuanya bapak." aku mengingat-ingat.
"Kalo gitu harusnya kamu panggil saya kakek."
"Kakek?" Aku bingung karena bapak tak pernah menyuruhku seperti itu.
"Iya kakek." Pria tua itu ngotot dan aku hanya membalas dengan senyuman.
"Kenapa kamu ga pergi darisini?"
"Hah?pergi?kenapa?"
"Kamu nyaman diperlakukan seperti ini?kamu ini anak bapak dan ibu juga kan?sama seperti Nayla dan Jian."
"Saya ga papa, bi Nani bilang karena saya kakak jadi harus melindungi adik saya lagian kalo saya pergi saya ga tahu harus kemana. Saya ga punya uang."
"Kamu anak baik." Pria tua itu mengusap rambutku.
"Pah, ngapain sih disini?" Bapak datang melihat keakraban kami.
"Duduk aja, cari tempat tenang."
"Udah disana aja ngapain sih, Dariel siapin makan malem."
"Iya pak.." Aku segera pergi ke dapur. Saat itu jujur aku terus terngiang perkataan kakek yang menyuruhku untuk pergi tapi aku belum cukup berani melakukannya dan itu terus berlanjut selama berbulan-bulan. Selama bersekolah aku tak punya teman dan aku tak tahu kenapa bahkan beberapa orang selalu mengejekku anak miskin karena pakaian dan sepatuku yang lusuh.
"Pak..boleh aku minta sepatu baru?"
"Sepatu baru?enak aja. Nih pake yang ini aja." Bapak mengambil sepatu di rak dan melemparnya ke arahku. Semakin dewasa perlakuan bapak memang semakin kejam bahkan aku pernah terkena cambuk dipunggungku beberapa kali dan sampai saat ini masih ada bekasnya namun yang membuat aku tambah heran kenapa ibu hanya melihat kejadian itu tanpa berkomentar apapun. Aku tak pernah marah bahkan membencinya bagiku dia tetap ibuku dan setiap kali dia berulang tahun aku akan menulis surat ucapan selamat untuknya yang kemudian aku simpan dibawah bantal tidurnya. Entah dia membaca atau tidak yang jelas hal itu aku lakukan selama bertahun-tahun agar dia merasa senang sementara Jian dan Nayla biasanya memberikan kejutan di malam hari. Aku pernah sekali melihat senyum ibu saat dia sedang berbicara dengan Nayla dan itu sangat cantik. Kebenaran terungkap saat suatu malam Nayla datang ke kamarku.
"Apa aku mengganggu?"
"Engga, kamu ngapain kesini?nanti bapak marah. cepet balik lagi ke kamar." Aku mengusirnya takut bapak terbangun dan melihat Nayla di kamarku.
"Ini..." Dia memberikan 2 buah celengan kepadaku.
****To be continue
Jangan lupa vote :)