Written by : Siska Friestiani
LoCC : 2014
Re-publish Web Novel : 3 November 2020
*siskahaling*
Dua orang ini begitu canggung. Tidak ada yang berani membuka suara. Alyssa memilih diam karena itu lebih bagus untuk hatinya saat ini, bahkan Alyssa menunduk tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menata wajah Jonathan saat ini. Dan Jonathan sendiri diam karena bingung ucapan apa yang pantas untuk memulai pembicaraannya dengan wanita yang dulu pernah ia sakiti.
"Aku minta maaf" akhirnya setelah setengah jam dengan keheningan yang mencekam, kata itu yang keluar dari Jonathan.
"Aku tahu aku salah, aku tahu aku brengsek, aku tahu aku tidak pantas mendapat maaf dari mu, Al" Jonathan menghirup nafasnya. Dadanya terasa sesak dengan suara yang terdengar serak.
"Saat itu, aku bingung apa yang harus aku lakukan" Jonatahan melanjutkan. Alyssa tak sedikit pun menyela penjelasan Jonathan.
"Saat itu aku harus menuruti kemauan papa untuk mengambil alih cabang di Indonesia. Karena beliau bilang aku lah satu-satunya yang bisa di andalkan untuk melanjutkan Jonathan Group nanti"
"Dan saat itu lah aku memutuskan untuk pergi meninggalkanmu tanpa kabar, karena akan sangat sulit jika aku pergi dengan raut kecewa mu nantinya"
Alyssa mengepalkan tangannya tidak terima mendengar penjelasan Jonathan. Sepengecut itu kah pria yang dulu ia cintai ini? Jika pria itu pergi dengan menceritakan semuanya, bukan kah ia dulu akan memahaminya?
Tidak tahukah seberapa menderitanya ia dulu ketika pria itu menghilang tanpa kabar. Seberapa besar usaha Alyssa untuk bangkit dari keterpurukan karena pria itu, bahkan ia harus kembali melewati masa yang lebih sulit saat Ferdy meninggal. Dan itu semua, karena Jonathan. Seharusnya disaat sulit itu Jonathan ada disisi nya, mengungatkannya, memberikannya sandaran. Namun nyatanya pria itu pergi begitu saja. Demi Tuhan, ia menjadi menyesal dulu pernah mencintai pria pengecut dihadapannya ini.
"Kau ternyata lebih pengecut dari pada yang aku bayangkan selama ini" sinis Alyssa menatap Jonatahan dengan tatapan jijik. Mengingat Ferdy, membuat emosi Alyssa kembali naik.
"Yah, aku memang pria pengecut, Al" lirih Jonathan putus asa tak segan mengakui keberengsekannya.
"Dan saat ini, pria pengecut ini ingin meminta maaf pada mu. Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan maaf dari mu. Jika kau ingin aku sujud di hadapanmu sekarang aku akan dengan senang hati melakukannya. tapi aku mohon maafkan aku" Jonathan menatap Alyssa dengan tatapan tersiksa, putus asa dan tatapan bersalah.
Alyssa tercenung melihat Jonathan saat ini. Pria ini benar-benar tulus meminta maaf padanya. Lagi pula apa yang harus ia dendam kan dari masa lalunya itu. Bukankah sekarang sudah ada Mario yang selalu menemani hari-harinya.
Alyssa memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan hatinya dan memantapkan keputusannya untuk memaafkan Jonathan. Lagi pula dengan kejadian masa lalunya itu berhasil membuat dirinya menjadi wanita tangguh dan mandiri. Banyak pelajaran hidup yang memang Alyssa dapatkan.
"Aku memaafkan mu" ucap Alyssa pelan dan langsung membuat Jonathan mengangkat kepalanya dengan tatapan tidak percaya. Benarkah yang ia dengar barusan? Alyssa memafkannya?
"Katakan sekali lagi, Al. Please!" pinta Jonathan yang ingin kembali mendengar apa yang baru saja ia dengar.
"Aku memaafkan mu" ulang Alyssa kali ini dengan senyum manis yang mengembang di bibirnya.
"Sungguh, Al? Demi Tuhan kau sudah memaafkan ku?" Tanya Jonathan sekali lagi.
Alyssa mengangguk sebagai jawaban.
"Terima kasih Tuhan!" pria itu memejamkan matanya. Seakan segala beban di tubuhnya terangkat begitu saja setelah mendengar perkataan maaf dari Alyssa.
"Kau bisa menghubungi ku kapan saja jika kau membutuhkan bantuan ku. aku berjanji akan membantumu sebagai ucapan terima kasih ku karena kau telah memaafkan ku"
"Kau yakin? Jika begitu aku mau kau segera memperkenalkan siapa wanita yang nantinya akan kau ajak ke altar" Alyssa mengedipkan matanya menggoda Jonathan. Jonathan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
"Sebenarnya aku belum memiliki calon yang akan aku ajak ke altar" jawab Jonathan dengan cengiran khasnya.
"Terlalu fokus mencari cara untuk mendapat maaf mu tentu saja, Al" tambah Jonathan dalam hati.
"Kalau begitu, kita sahabat?" tanya Jonathan dengan senyum di bibirnya
"Ya, kita sahabat" jawab Alyssa yang semakin membuat senyum Jonathan mengembang.
"Bisa aku memelukmu untuk terakhir kalinya? Anggap saja sebagai pelukan persahabatan" pinta Jonathan.
"Tentu saja"
*siskahaling*
Mario menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Baru saja ia menyelesaikan rapat dengan pemilik Nuraga Group dan setelah ini ia harus kembali memimpin rapat dengan para kepala direksi perusahaannya. Benar-benar hari yang melelahkan.
"Maaf Tuan, ada baiknya ada istirahat dan makan dahulu sebelum nanti memimpin rapat dengan para kepala direksi. Anda juga sudah melewatkan jam makan siang anda Tuan" ucap Louis mengingatkan.
Hahh, apa ia harus makan? Jika ia makan ia akan memuntahkannya kembali dan membuat tubuhnya lemas seharian. Tapi, tidak ada salahnya juga jika ia mencoba mengisi perutnya. Baiklah, setidaknya ia bisa makan dengan makanan lain selain nasi.
"Sup jagung?" Mario membayangkan jika sup jagung yang ia inginkan Margareth yang membuatnya.
"Aku hanya ingin makan itu saat ini" tambah Mario dan dijawab anggukan sopan oleh Louis.
"Suruh Margareth yang membuatnya" pinta Mario lagi-lagi Louis mengangguk mengerti.
"Baiklah Tuan, anda bisa menunggu sup jagung anda disini."
"Dan beritahu Monik untuk mengantarkan kopi ku" tambah Mario lalu Louis keluar setelah mendapat perintah dari Tuan-nya.
Mario memilih memeriksa berkas yang akan dirapatkan nanti selagi menunggu kopi dan sup jagungnya datang. Namun belum lima menit pintu ruang kerjanya di ketuk dari luar.
"Masuk"
Pintu terbuka setelah mendapat izin dari sang pemilik ruangan. Di balik pintu tampak Agni yang membawa amplop berwarna cokelat di tangannya.
"Permisi, Sir" ucap Agni yang membuat Mario mengalihkan diri sejenak dari berkasnya.
"Ada apa?" tanya Mario dengan alis terangkat. Dan Agni ingin meleleh rasanya mendapat tatapan tersebut dari boss-nya. Ayolah, yang sedang berbicara dengannya saat ini adalah Mario Calvert. Tolong jangan menganggap Agni lebay saat ini. Walaupun ia sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu, tetap saja rasanya sama seperti pertama kali ia rasakan.
"Ada kiriman untuk anda, Sir"
Agni menyerahkan amplop cokelat tersebut kepada Mario
Mario membolak-balik amplop tersebut, mencari sesuatu.
"Tidak ada nama pengirimnya?" tanya Mario. Agni menggeleng dengan raut wajah menyesal.
"Maaf, Sir, sudah saya coba cari tau. Tapi memang tidak ada identitas pengirim" jelas Agni kemudian.
"Baiklah, terima kasih. Kau boleh kembali keruangan mu" Agni mengangguk lalu permisi mengundurkan diri.
Mario kembali membolak-balik amplop tersebut dengan kening berkerut. Siapa pula yang mengirimkannya. Kenapa pula tidak mencantumkan nama. Benar-benar aneh.
Mario membuka amplop tersebut, lalu menggeram marah ketika melihat isi amplop cokelat tersebut. Tangannya dengan kasar melihat beberapa foto yang ada di tangannya. Dan saat ini ia benar-benar ingin membunuh seseorang untuk melampiaskan emosinya.
Mario menghempaskan foto-foto itu ke meja kerjanya dengan kasar sebelum ia memutar kursi yang tengah ia duduki saat ini hingga ia bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di depannya melalui dinding kaca di belakanganya
Mario mengusap wajahnya kasar seolah dengan begitu ia dapat menghilangkan amarah di dalam dirinya yang tentu saja tidak akan hilang semudah itu.
"Brengsekkk!!!" pekik Mario sebelum akhirnya ia keluar dari ruang kerjanya dengan bantingan pintu yang memekakkan telinga.
***
Hahhhhh, masalahlagi. Wkwkwkw....
Waktu dan tempat di persilahkan untuk semua komentarnya. Wkwkwk