'Hah... lagi-lagi dia hanya melihat bulan...' Ujar Dinand dalam hatinya ketika melihat Athanasia yang duduk di bawah sebuah pohon besar dekat penginapan, menengadahkan wajahnya ke arah langit malam.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Tegur Dinand menghentikan keheningan yang dimiliki oleh Athanasia.
Tanpa melihat Dinand, Athanasia berkata: "Apa kau tahu betapa kesepiannya bulan?" Tanya Athanasia dalam keheningan.
"Pffttt..." Dinand sedikit tertawa meledek. Dia tak menyangka bahwa Athanasia memiliki pemikiran seperti itu.
Sontak mendengar Dinand yang tertawa seperti meledeknya, Athanasia berbalik dan melihatnya. Sorot matanya yang tajam mengintimidasi, menghentikan tawa Dinand.
"Ok... baiklah, aku mengerti...."
"Apa yang kau mengerti?" Tanya Athanasia.
Dinand mencoba mengamati bulan yang bersinar terang waktu itu, "Hmt... kalo menurut ku bulan tidak kesepian. Dia memiliki bintang-bintang yang bersinar dengannya di malam hari! Hanya saja... sang mentarilah yang terlihat sangat kesepian, karena ia menyinari bumi saat manusia sibuk dengan aktivitasnya. Tidak akan ada yang memandanginya di saat siang, karena sinarnya dapat menyakiti mata..." Ujar Dinand mengemukakan pendapatnya.
'Dan kau terlihat seperti matahari itu...' Gumam Dinand lagi.
"Mungkin kau benar..." Athanasia lalu beranjak dari kursinya dan menuju ke dalam penginapan, meninggalkan Dinand sendirian.
Dinand lalu menghela nafasnya, ia menengadah ke langit dan menyadari bahwa mungkin Athanasia adalah putri Duke yang kesepian. Dari awal ia telah mencari informasi mengenai gadis yang ia lihat di jembatan tua itu. Dan ia memutuskan untuk menjadikan Athanasia sebagai takdirnya...
"Kenapa kau melamun begitu?" Terlihat Emely yang sedang melangkah menuju ke arah Dinand. Tampaknya ia sedang keluar untuk membeli sesuatu.
Dinand menggelengkan kepalanya. "Aku hanya..."
Belum selesai Dinand dengan kata-katanya, Emely dengan cepat mengambil tangan Dinand yang terluka. Mata Dinand terbuka lebar karena terkejut dengan sikap Emely yang tiba-tiba seperti itu. Karena biasanya Emelylah yang paling tidak peduli dengan Dinand.
"Tanganmu harus di obati... Jika luka yang kau dapatkan tambah parah gimana!" Emely meletakkan salep yang telah ditumbuk halus dari dedaunan yang ampuh untuk mengobati luka terbuka. Ia mendapatkan resep dedaunan itu dari toko obat yang ada di kota tersebut.
Dinand lalu mencoba menarik tangannya dari tangan Emely. Namun Emely memegangi tangannya erat. "Jangan coba-coba untuk tidak mengobati tanganmu."
Emely menatap ke arah mata Dinand dengan lembut. Ia lalu meletakkan salep itu di atas tangan Dinand yang tak terluka! "Jangan salah paham, aku melakukannya karena Nasia." Ujar Emely lalu pergi berlalu dari hadapan Dinand.
Dari wajah Emely terukir senyuman yang sudah lama tak pernah ia perlihatkan lagi. Jelas itu adalah senyuman seorang wanita yang sedang berdebar-debar karena seorang pria!
**
Disisi lain Beti tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan anak laki-laki yang dibiarkan Athanasia untuk berada bersama-sama dengan mereka. Ia hanya mondar-mandir dihadapan anak itu, tanpa tahu harus berkata-kata seperti apa.
Saat itu Athanasia pun kembali... "Ah.. Nona, apa yang harus kita lakukan dengan anak laki-laki itu?" Tanya Beti yang bingung harus berbuat apa.
Anak itu hanya duduk diam tak bergerak di atas kursinya menunggu perintah tuannya. Ia juga takut untuk bertingkah atau melakukan sesuatu tanpa perintah langsung dari tuan barunya.
"Ada apa Beti?" Tanya Athanasia kepada Beti yang terlihat sangat khawatir.
"Itu... anak itu tak mau beranjak dari kursinya dan hanya duduk terus tanpa bergerak seperti itu dari tadi!" Ujar Beti kepada Athanasia.
Athanasia melirik anak itu, lalu ia datang dan mendekatinya. "Apa yang membuatmu hanya duduk dan melamun seperti ini?"
Anak laki-laki itu terkejut dengan kedatangan Athanasia yang tiba-tiba. Ia lalu bangkit berdiri dan dengan segera membungkuk sampai ke tanah di hadapan Athanasia.
Athanasia terperanjat. "Apa yang kau lakukan? Berdirilah..." Athanasia lalu membantu anak itu untuk berdiri tegak dihadapannya. "Aku bukanlah tuanmu. Kau tak perlu lagi melakukan hal yang melelahkan seperti itu!" Ujar Athanasia dengan senyuman di wajahnya.
"Siapa namamu?"
"Tiga... nama ku adalah tiga!" Ujar anak laki-laki itu dengan canggung.
Athanasia lagi-lagi tercengang mendengar satu per satu kenyataan yang dikatakan oleh anak laki-laki itu. Ia jongkok setinggi anak itu, lalu ia memegang ujung bahu anak itu dengan lembut. "Mulai sekarang nama mu adalah Bao-yu yang artinya adalah permata yang berharga. Apa kau menyukainya?"
"Bao... yu..." Anak itu mengulangi nama yang diberikan oleh Athanasia. Setelah itu ia melihat ke arah Athanasia dan menganggukkan kepalanya. Ekspresi senang yang tampak di wajahnya membuat kekhawatiran Athanasia sirna. Ia takut jika anak itu tidak akan menyukai namanya. Namun sekarang dia menjadi legah karena anak itu menerima nama yang ia berikan.
"Baiklah Bao-yu, mulai sekarang kau akan mendapatkan didikan dari Emely, dan ku harap kau akan mendengarkan kata-kata yang disampaikan Beti. Anggap saja kami seperti saudara perempuanmu sendiri..." Athanasia memperlihatkan sisi lembutnya di hadapan anak yang berusia 7 tahun tersebut.
"Baik, tuan..." Jawab Bao-yu dengan tenang. Namun setelah melihat ekspresi Athanasia yang menunggu jawaban yang lain, ia dengan cepat mengoreksi kata-katanya. "Baik, saya mengerti kak..." Ujar Bao Yu lagi.
Athanasia lalu menyerahkan sisanya pada Beti. Beti lalu menyerahkan beberapa pakaian yang telah ia beli di pasar kepada Bao Yu dan mengantarkannya ke kamar Dinand untuk beristirahat.
**
Tanpa ada yang menyadari, malam itu Athanasia telah menghilang dari ranjangnya. Dimalam sebelum mereka akan berangkat ke kota Sameru untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Semuanya tampak gelap dan dingin. Dan tercium ada aroma besi di mana-mana! Athanasia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di atas kasurnya. Jelas bahwa kedua tangan dan kakinya diikat, mulutnya di dekap dan matanya tertutup oleh kain.
"Kau sudah bangun rupanya!" Suara itu terdengar familiar di telinga Athanasia.
"Ini akibatnya jika kau berani-beraninya melawanku di wilayah kekuasaan ku sendiri!" Ujar Pria tua itu lagi.
(Count Manel!) Athanasia kini mengetahui siapa yang telah menculiknya.
kekekekeke... "Kau akan membusuk di tempat ini tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa kau terkurung di dalamnya! Sebab tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya aku seorang yang mengetahuinya."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Count Manel menutup kembali pintu itu dan meninggalkan Athanasia di temani kegelapan malam.
'Aku akan baik-baik saja... Emely akan menemukan ku! Yah... aku percaya mereka akan menemukanku segera...'
Athanasia meyakinkan dirinya sendiri untuk hal itu. Namun, sebenarnya mentalnya tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa harus menghadapi ketakutan yang sama ketika dia menghadapi Duchess Riani.
Udaranya sangat dingin, merasuk sampai ke tulang-tulangnya. Ia bahkan hanya mengenakan pakaian tidur yang tipis, bagaimana ia bisa melewati malam yang dingin saat ia tidur di atas lantai yang sedingin es?
Air matanya keluar jatuh dari membasahi wajahnya. Hari itu ia kembali mengingat betapa hangatnya pelukkan ibunya.
"Ibunda... Nasia merindukkan mu!"
***
Terimakasih karena telah memasukkan cerita ini ke dalam perpustakaan teman-teman.
Saya menggantikan judul cerita novel ini. Awalnya novel ini berjudul "Mengejar Mimpi Athanasia" sekarang saya menggantinya dengan "Athanasia dan Pangeran Jayden"
Di dalam novel ini akan banyak di bahas mengenai tumbuhan tanaman yang berkhasiat obat, jadi penulis perlu melakukan riset mengenai tanaman obat. Sehingga update tidak akan setiap hari.
Terimakasih.