"Berry udah pernah ikut proyek-proyek untuk design?" setelah mereka makan malam, Ayah Cherry mengajak ngobrol laki-laki yang dikenalkan putrinya itu sebagai temannya. Pemuda itu memang terlihat sekali tak banyak bicara, tapi percayalah, obrolan yang dilontarkan oleh ayah Cherry selalu nyambung dengannya.
Karena orang cerdas yang diam adalah cara dia menyembunyikan kemampuannya. Pun dengan Berry. lelaki itu terlihat biasa saja, tapi wibawa yang terlihat dari auranya tak bisa diabaikan begitu saja.
"Ada beberapa proyek kecil yang pernah saya ikuti, Om. Paling hanya stand-stand minuman yang ada di mall-mall gitu. Lumayan buat tambahan uang jajan." Katanya.
"Iya, dong. Selagi masih muda, kreatifitas masih tinggi. Dan saya yakin sejalan waktu, kamu akan mendapatkan proyek yang besar." Berbicara berdua seperti ini membuat Berry berpikir, seandainya ayahnya juga melakukan hal yang sama seperti ayah Cherry ini, mungkin dia sekarang akan lebih merasa beruntung.
"Kalau memang Om ada proyek pembangunan, boleh menghubungi saya agar bisa ikut serta."
"Tentu saja!" lelaki paruh baya itu terlihat antusias, "Om pasti akan mengikutsertakan kamu. Om suka dengan pemuda-pemuda cerdas seperti kamu ini." Obrolan mereka terlalu seru bakan Cherry yang tak jauh dari sana juga hanya bisa melihat dalam diam. Dia tahu, dia memang belum terlalu akrab dengan lelaki itu, hanya saja melihat Berry dan ayahnya yang akur membuat perasaan senang tersendiri di dalam hatinya.
Tak lama, Berry pamit pulang dengan Cherry yang mengantarkan sampai di depan pintu rumahnya.
"Makasih ya, udah diantar pulang." Masih terlihat agak canggung satu sama lain. Hanya saja kecanggungan itu tak sekental beberapa minggu lalu. Mereka sudah sering bertemu, mengobrol, dan itu menimbulkan hal yang biasa bagi keduanya.
"Sama-sama. Terima kasih juga makan malamnya."
"Bukan masalah." Berry tak kunjung beranjak dari tempatnya dan menatap Cherry agak lama. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki itu. Bahkan Cherry pun tak tahu apa yang mengganggu pikiran Berry saat ini. Ya, tentu saja. Toh Cherry bukanlah seorang cenayang.
"Ada sesuatu lagi?" Cherry berinisiatif untuk berbicara dan itu menyadarkan lelaki yang ada di depannya.
"Nggak ada. Maaf, aku sedang banyak pikiran." Berry memang sejak awal kemunculannya memiliki kesan yang misterius. Jadi Cherry pun tak ingin terlalu masuk ke dalam kehidupan Berry, jika bukan lelaki itu yang menariknya. Nyali Cherry tak sekuat itu.
"Aku pulang dulu." Giliran Cherry yang bengong sampai suara Berry masuk ke dalam gendang telinganya. Gadis itu mengangguk. Dia masih setia berdiri di sana sampai Berry tak lagi terlihat.
---
Dress selutut, sepatu berhak sekitar 5cm, tas hitam, dengan rambut tergerai indah tertiup angin. Itu adalah gambaran dari seorang gadis asing yang sekarang ini sedang berdiri di depan Fakultas Teknik dan menjadi pusat perhatian banyak orang. Gadis itu pun sedari tadi hanya berdiri dan memainkan ponselnya. Dia tak bertanya kepada salah satu mahasiswa di sana siapa yang dicarinya.
Wajahnya terlihat tenang, dan sama sekali tak terganggu dengan lalu lalang para mahasiswa. Tapi entah dari mana dia bisa menyadari seseorang yang dicari sudah mendekat, dia mendongak dan ada senyum kecil yang terlihat.
"Berry!" panggilnya kepada Berry yang sama sekali tidak tahu dia ditunggu oleh seorang gadis cantik. Berry tak banyak bereaksi dan dia menatap gadis itu dengan kening mengernyit.
"Clara?" suaranya terlalu rendah dan itu terdengar berat dan merdu di waktu yang bersamaan. Gadis itu terlihat memberikan senyum tulus dan itu membuat Berry memiliki firasat yang kurang baik atau justru sebaliknya?
"Kamu nunggu aku?" tak ada basa-basi sama sekali yang diberikan oleh Berry untuk gadis itu. Karena di dalam pikirannya, dia pun tak memiliki urusan dengan gadis itu.
"Iya. Kamu ada waktu? Aku hanya ingin mengobrol sebentar." Mereka tak memiliki interaksi yang berarti sebelumnya dan bahkan tak ada kata perkenalan. Tapi Clara sepertinya memang ingin mendekatkan dirinya kepada Darel.
"Aku hanya punya waktu sebentar. Aku rasa kamu bisa mengatakan semua hal yang ingin kamu katakan."
"Terima kasih." Ada sebuah senyum mengembang yang lagi-lagi terlihat dan itu sangat manis. Setidaknya itu adalah pemikiran orang lain.
Dan Berry, adalah lelaki yang tak pernah berinteraksi dengan gadis lain yang seintens sekarang. Meskipun itu terlihat biasa saja, tapi untuk orang lain, itu sudah luar biasa. Semua orang di fakultas ini tahu siapa Berry. Lelaki dingin yang terlihat selalu mengesankan.
"Sepertinya ini tempat yang nyaman." Gadis itu memulai percakapannya, "kamu sering datang ke tempat ini?"
"Lumayan." Berry menjawab dengan ringan. Suasana di dalam kafe di depan kampus selalu ramai. Banyak sekali mahasiswa yang datang bahkan hanya sekedar untuk mengobrol. Hanya membeli minuman seharga sepuluh ribu, mereka bisa duduk berjam-jam di sana. Jika dihitung-hitung, mungkin pemiliknya tak terlalu memiliki banyak keuntungan dari kafe tersebut. Tapi entahlah, itu bukan topic yang harus dibicarakan sekarang.
"Aku mau meminta sedikit bantuan kepada kamu." Clara mengatakan tujuannya yang sesungguhnya, "aku mau membuka gerai butik kecil. Aku mau minta tolong kamu buat membuatkan design interiornya agar terlihat indah dan rapi. Kamu bisa melakukannya?" ucapan Clara terdengar santun dan tidak mendesak. Tak ada hal yang dikeluarkan dan membuat yang mendengarkan menjadi kesal kepadanya.
Berry terlihat berpikir. Dia masih menimbang apakah dia akan menerima di tengah-tengah kesibukannya. Tapi dia tak mungkin untuk menolaknya. Bagaimanapun ini adalah sebuah kesempatan baik.
"Apa kamu meminta aku semua untuk menanganinya?" akhirnya setelah berpikir, dia bertanya.
"Iya. Aku menyerahkan semua ke kamu." Kesempatan sekecil apapun, bagi Berry sangat berarti. Ini adalah waktunya dia belajar untuk memahami semua permintaan klien. Maka dia menyetujuinya.
"Oke." katanya bersedia. Dan itu membuat Clara terlihat sangat lega.
"Terima kasih. Aku pikir, kamu nggak akan bersedia membantu aku."
"Kenapa berpikir begitu?"
"Mungkin kamu nggak suka sama aku?"
"Kenapa aku harus nggak suka sama kamu?"
"Karena bahkan ketika kita berada di satu tempat dan mengobrol bersama dengan Om, kamu sama sekali tak merespon." Berry tak langsung menjawab. Semua orang yang bertemu dengan Berry untuk pertama kalinya pasti akan mengatakan hal yang sama. Dan itu sudah sangat biasa. Berry tak terlalu menganggapnya berlebihan.
Dan dia juga tak menanggapi apa yang dikatakan oleh Clara kepadanya. Waktu yang dia berikan untuk Clara habis dan dia harus segera melanjutkan jadwalnya selanjutnya.
"Aku masih ada urusan. Apa nggak papa kalau aku pergi lebih dulu?"
Terlihat jika sebenarnya Clara keberatan akan itu. Tapi dia tak menunjukkannya. Maka dia hanya mengangguk jika dia tak mempermasalahkan hal tersebut.
"Nggak papa. Terima kasih, karena kamu mau bersedia membantu aku." Clara adalah juga masih satu tingkatan dengan Berry. Tapi dia memang memang sedikit aktif dibandingkan dengan gadis-gadis sebayanya, karena itu tanda-tanda kesuksesannya sudah mulai terlihat.
*.*