App herunterladen
59.09% Pekerjaanku [End] / Chapter 13: Seperti Hilang Arah

Kapitel 13: Seperti Hilang Arah

Kami semua sibuk. Mengurusi Mr. Narendra, mengurusi prosesi pemakaman, mengurusi pekerjaan dan banyak hal lagi. Suasana sudah lebih kondusif daripada beberapa jam yang lalu. Sebentar lagi subuh menjelang.

Aku pikir baru saja akan merasakan ketenangan, tapi ternyata tidak. Jeritan Mrs. Aini terdengar sangat kencang. Kami yang sedang sibuk langsung menuju ruangan yang digunakan kedua wanita Narendra itu untuk beristirahat.

"What's wrong?" Mr. Bima adalah orang pertama yang menghampiri Mrs. Aini.

"Bunda." hanya itu yang dikatakan oleh Mrs. Aini, sembari berlinang air mata.

Nyonya Clara tertidur dengan lelap. Seolah tidak terganggu dengan teriakan Mrs. Aini. Yakin cuma tidur aja? Atau?

Mr. Arrael langsung menghampiri Nyonya Clara dan memeriksa. Entah apa dan bagaimana memeriksanya. Selesai memeriksa, Mr. Arrael menangis. Disusul tangisan para anak Narendra yang lain. Ada apa?

Rossie langsung datang bersama beberapa dokter. Para dokter melakukan pemeriksaan terhadap Nyonya Clara. Sama seperti ketika Mr. Arrael selesai memeriksa, para dokter hanya tertunduk dan memasang wajah sedih.

Ini seriusan? Apa artinya Nyonya Clara juga dinyatakan meninggal?

Ya Tuhan, sandiwara macam apa ini? Kenapa ini semua harus terjadi dalam waktu yang singkat? Kenapa nggak ada pemberitahuan lebih dulu kalau keempat anak lelaki itu akan menjadi yatim piatu dalam waktu bersamaan?

Rasanya memalukan banget menangis dihadapan banyak orang, tapi aku nggak peduli. Aku hanya ingin menangis, meluapkan semua rasa sesak di dadaku. Padahal aku bukan siapa-siapa bagi mereka kan?

Tepat pukul 6 pagi, iringan ambulance dan mobil berjalan menuju rumah utama keluarga Narendra. Di rumah sudah ada yang mengurusi, karena Rossie meminta bantuan Budhe dan Pakdhe untuk mengurusi semua hal yang di rumah.

Mereka bukan bagian dari keluarga Narendra. Akan tetapi, karena kedekatan Mr. dan Mrs. Narendra dengan keduanya, mereka serasa keluarga. Apalagi tidak ada orang yang dekat dengan keluarga ini selain Pakdhe dan Budhe.

Aku masih syok dan sedih. Berulang kali aku harus menghapus air mata yang turun. Aku berusaha untuk fokus mengendarai mobil, karena ada Bos Kecil yang masih diam saja di mobil bersamaku.

[Do, tolong bawain baju gantiku ya. Aku tunggu di rumah utama. Cepet.]

Bahkan aku nggak mampu menelepon Edo sekedar untuk memintanya membawakan baju ganti. Rasanya berat, juga malu kalau ketahuan Edo aku menangis.

Edo sampai di rumah utama hampir jam 8 pagi. Dia sedikit kaget dengan apa yang terjadi di dalam rumah. Satpam yang membawa Edo masuk menemuiku.

Aku malu banget ketemu Edo dalam keadaan kacau kayak gini. Nggak tidur semalaman, muka sembab, mata merah karena kebanyakan nangis. Beruntungnya Edo diam aja. Dia cuma menepuk pundakku beberapa kali. Aku terenyuh banget diperlakukan Edo seperti itu. Jadinya aku nangis dipundak Edo. Mungkin ini pertama kalinya aku memperlihatkan sisi lemahku ke Edo.

"Aku kudu ngapain?" tanya Edo, ketika aku sudah bisa menguasai diri.

"Bawa mobilnya, jemput Ibu sama Bapak. Juga Fara." jawabku.

"Jam berapa dimakamin?"

"Jam 2 kayaknya. Nunggu keluarga dari Kalimantan."

Setelah Edo pulang, aku mandi dan ganti baju. Rasanya laper banget, tapi nggak selera sama makanan. Padahal ada banyak makanan yang dimasak.

Kalo nggak melihat lebih dekat, ini bukan seperti acara pemakaman, tapi lebih ke pesta. Ada banyak masakan yang dimasak oleh chef terkenal. Semua makanan di sajikan di meja prasmanan macam acara nikahan. Aku bertanya-tanya, ini beneran acara untuk pemakaman kan? Bukan pesta atau semacamnya kan?

Lupakan acara ya.

Setelah merasa segar, aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Bos Kecil. Nggak ada dimana-mana. Kemungkinan besar ada di kamarnya. Hanya dia seorang yang nggak nampak di bawah. Padahal ketiga kakaknya udah berpakaian rapi dan menyalami para pelayat yang datang.

"Jangan diganggu. Angga sedang berusaha berdamai dengan keadaan sekarang." itu ucapan Mr. Ilham yang nggak ada nada jahilnya sama sekali.

***

Mr. Ilham bilang nggak usah dicari kan? Sayangnya aku nggak tenang. Bawaannya pengen mengetuk pintu kamar Bos. Kalau perlu didobrak aja sekalian.

Akhirnya aku memutuskan untuk naik ke kamar Bos Kecil. Kalau memang nggak ada respon, aku bakal beneran dobrak pintu. Nggak peduli di bawah lagi ada apaan juga.

Sayangnya aku terlambat. Ada yang udah lebih dulu masuk ke kamar Bos Kecil. Itu Kaluna, anak dari sahabat Nyonya Clara yang tinggal di Bali, Stephanie Springfield.

Bukan mau mengintip, aku cuma mau tahu gimana keadaan Bos Kecil aja. Untung semua kamar di rumah ini dipasang kedap suara, jadi mau teriak di dalam kamar juga nggak bakal kedengeran dari luar kamar. Jadi, aku nggak bisa kepo gimana kondisi Bos Kecil sekarang.

Jam 12 siang, barulah Bos Kecil menampakkan diri. Dia mengenakan setelan jas berwarna marun yang apik banget. Disampingnya berdiri sosok gadis cantik berambut coklat, itu Kaluna. Bos Kecil terlihat mengenggam tangan Miss Kaluna dengan erat. Seolah genggaman itu tidak mau melepas ataupun terlepas.

Iya, nggak salah baca kok. Bos Kecil memang pakai jas warna marun. Nggak cuma Bos Kecil aja yang pake pakaian berwarna selain hitam. Mr. Arrael beserta istri serasi dalam balutan pakaian berwarna hijau zamrud. Mr. Bima mengenakan jas warna cream dan Mr. Ilham mengenakan jas warna putih.

Ada apa ini? Tak lain dan tak bukan karena itu adalah permintaan Nyonya Clara.

Aku denger sendiri kalau Nyonya meminta para anaknya untuk nggak menggunakan pakaian warna hitam ketika beliau meninggal. Dan sekarang keinginan beliau terkabul.

Balik ke Bos Kecil. Wajahnya kembali datar. Rasanya memang nggak ada ekspresi yang pas selain itu. Aku nggak terbiasa melihat ekspresi di wajah Bos Kecil. Pernah melihat dia tersenyum dan tertawa. Pernah juga melihat dia marah dan cemberut. Tapi memang, wajahnya sudah dipatenkan datar. Kalau ada ekspresi lain di wajah Bos Kecil, rasanya menarik banget. Seperti sesuatu yang sangat ditunggu.

Banyak yang datang melayat. Kebanyakan memang orang-orang yang dekat dan berhubungan denga Mr. Narendra. Semacam teman bisnis dan juga relasi di kampus. Mereka yang mengenal Nyonya Clara hanya beberapa saja, tapi cukup banyak juga sih.

Teman-teman Bos Kecil banyak yang datang juga. Mungkin semuanya pada denger karena seorang Mr. Narendra adalah dosen besar di kampus itu. The one and only friend Bos juga datang. Jona. Yang sekarang datang bareng sama Galih. Iya, Galih yang itu.

"Turut belasungkawa, Ang." ucap Jona, ketika mereka berhadapan.

Dari sekian banyak teman kampus, cuma Jona dan Galih doang yang mendekat dan menyalami Bos Kecil. Mungkin mereka takut ditolak sama Bos Kecil. Atau yang lebih parahnya lagi, nggak dianggap.

Prosesi pemakaman Mr. dan Mrs. Narendra berjalan lancar. Kita semua benar-benar merasa kehilangan sekarang. Apalagi yang biasanya berhubungan sama keduanya, kayak Kairo dan Rossie.

Dan juga, kayaknya sekarang rumah utama akan terasa sangat berbeda.

"Ros, Budhe pulang dulu. Nanti malam kesini lagi." beliau adalah Budhe Dukuh, budhe yang aku sebutkan tadi. Aku nggak tahu siapa nama asli beliau, tapi beliau terkenal dengan panggilan itu. Embel-embel 'Dukuh' didapat karena beliau adalah istri Kepala Dukuh.

"Terima kasih, Budhe."

Budhe Dukuh lah yang banyak membantu keberlangsungan acara pemakaman hari ini. Beliau yang mengurusi banyak hal di rumah hari ini. Meski lama tinggal disini, tapi aku yakin keluarga ini nggak cukup familiar dengan adat dan kebiasaan di kampung.

Malam ini aku memutuskan untuk nggak pulang lagi. Selain karena acara kelar diatas jam 10 malam, aku rasanya juga nggak kuat melek lagi. Duduk aja mata langsung otomatis merem. Bahaya banget kalau aku nekat nyetir pulang kan.

Nggak cuma aku yang udah nggak kuat melek. Rossie juga langsung pamit untuk istirahat ketika semua sudah selesai. Kairo undur diri ketika tengah malam menjelang. Tinggal para anak Narendra yang masih setia berkumpul di ruang keluarga ini.

Apa yang terjadi selanjutnya? Ini lebih mengerikan ketimbang patah hati. Suasana rumah menjadi sepi. Apalagi 7 hari setelahnya. Mereka hanya melakukan aktifitas agar dianggap normal. Sisanya? Mereka lebih banyak berdiam diri atau mengurung diri di kamar.

Apa yang lebih mengerikan?

Aku pikir ada hantu yang bermunculan di rumah utama, karena aku mendengar ada suara tangisan setiap malam. Ternyata bukan. Itu suara tangisan Mrs. Aini. Hampir setiap malam beliau menangis di balkon kamarnya.

Itu aja? Tentu tidak, Fernandez!

Masih ingat dengan Neona Stephenson? Yang dulu rajin datang ke rumah ketika tragedi Bos Kecil di kampus? Sekarang beliau datang ke rumah utama. Bukan untuk bertemu denganku, tapi bertemu dengan anggota keluarga lainnya.

Keempat anak Narendra hampir tidak bisa memejamkan mata meski mereka ingin. Setiap malam, mereka harus mengkonsumsi obat tidur agar bisa terlelap. Kehidupan mereka nggak akan pernah sama lagi. Bahkan goncangan itu mempengaruhi banyak hal dalam hidup mereka.

Kalau kata Ibu, apa yang terjadi pada keluarga itu bisa dibilang wajar. Kehilangan orangtua adalah bagian hidup yang menyakitkan. Sama ketika Ibu kehilangan ayah dan ibunya bertahun-tahun yang lalu. Apalagi mereka ditinggal secara bersamaan.

Mereka yang awalnya memiliki kapten yang siap memandu arah hidup mereka, seketika kehilangan. Bahkan ko-kapten mereka juga pergi. Mereka seperti kehilangan arah hidup.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C13
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen