App herunterladen
50% Pekerjaanku [End] / Chapter 11: Thank God

Kapitel 11: Thank God

Tepat seminggu setelah kejadian itu. Nggak ada yang memberiku kabar tentang keadaan Bos Kecil. Kairo yang katanya mau ngabarin aja sampai detik ini nggak ada kabar sama sekali. Aku jadi berpikir kalau aku akan dipecat setelah ini. Ya bisa aja kan. Mungkin mereka menganggap aku lalai dalam menjaga anak bungsu kesayangan, jadi ada harga yang harus aku bayar.

Aku udah merasa baikan setelah ngobrol beberapa kali dengan Miss Stephenson. Jadinya aku merasa udah bisa membaur dengan keluargaku. Mulai ikut ngumpul pas sarapan, mulai bantuin Ibu di kebun lagi, juga ikut nonton tv pas malemnya. Aku beranggapan bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada mimpi buruk lagi ataupun perasaan bersalah.

Jam 8 malam, pas lagi asyik-asyiknya nonton tv sama Edo dan Fara, ponselku berbunyi. Itu telepon. Dari Bos Kecil!

Langsung aja aku suruh Edo buat matiin tv biar suasana hening dan aku bisa mendengar suara yang aku rindukan itu. Yah, meski menyebalkan sih kalo lagi ngadepin.

"I'll pick you up at 10 am. Be prepare." cuma gitu doang. Tanpa sal dan tanpa penutup. Langsung diputus gitu aja teleponnya.

Tapi rasanya tuh lega banget. Ada banyak hal yang harus disyukuri dari sebuah telepon singkat itu.

Aku langsung senyum girang dan memeluk kedua adikku. Bahkan Edo sampai protes karena dia kegencet banget.

"Apaan? Nggak jadi dipecat?" sumpah, kadang aku pengen masukin cabai ke mulutnya Edo. Biar kalo ngomong tuh nggak sepedes itu.

Dan gegara ucapan Edo barusan, aku jadi mikir. Iya juga sih, aku belum pasti masih lanjut kerja disana apa nggak. Thanks to Edo!

Bodo amat deh masih lanjut kerja apa dipecat. Satu hal yang jelas aku tahu adalah Bos Kecil baik-baik saja. Itu artinya dia nggak mengalami masalah serius pasca kejadian itu. Sungguh, itu adalah kelegaan tersendiri untuk saat ini. Terima kasih Tuhan.

***

Hari yang ditunggu. Semua anggota keluargaku nggak kemana-mana khusus menyambut kedatangan para bos. Pada tegang gitu bawaannya. Harap-harap cemas.

Belum ada jam 10 sih, tapi akhirnya tamu yang ditunggu datang. Ada 2 mobil yang berhenti di depan rumah kami. Beruntung aja sih cuma 2 mobil, tapi itu aja udah menarik perhatian orang-orang sekitar. Secara, mobilnya bagus dan mewah.

Orang yang pertama turun adalah Kairo dan Rossie. Mereka lalu membukakan pintu untuk Mr. dan Mrs. Narendra. Dibelakang mereka, ada Mrs. Aini dan juga Bos Kecil.

Bos Kecil jalan dibantu pake tongkat. Nggak tahu apa yang terjadi sama dia selama berada di rumah sakit, kok tiba-tiba jalan aja kudu pake tongkat. Melihat wajah Bos Kecil yang nggak sepucat mayat aja aku udah seneng banget.

Di mobil kedua ada Mr. Arrael, Mr. Bima dan Mr. Ilham. Nggak tahu kapan mereka balik ke Indonesia, karena memang nggak ada agenda mereka untuk kembali ke Indonesia dalam waktu dekat ini.

"Hallo, Deano, how are you?" sapa Mr. Narendra ketika sudah berhadapan dengan aku dan keluargaku.

"I'm good, thank you." jawabku. Tanpa membuang waktu, aku mempersilahkan mereka masuk kedalam rumah.

Agak minder juga menyuruh mereka masuk ke dalam rumah, soalnya rumahku jelek. Nggak kayak rumah mereka yang kelihatan rapi, bersih dan juga apik. Tapi kalau nggak disuruh masuk, kan nggak enak juga. Tamu jauh nan istimewa nih.

"Senang bertemu denganmu lagi, Deano." ucap Rossie, ketika kami berpapasan. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.

Semua anggota keluargaku tuh pada kagum sama penampilan keluarga Narendra. Ya gimana nggak sih ya, soalnya mereka memang berbeda banget sih. Meski mereka berdandan biasa aja, tetap aja terlihat mewah. Orang kaya mah emang beda.

Entah saking banyaknya orang yang ada di ruang tamu atau memang ruang tamu rumahku tuh sempit, rasanya jadi sesak gitu. Bahkan Fara sama Edo sampai harus duduk di ruang tengah karena sudah nggak dapet tempat. Well, dengan rendah hatinya, Mrs. Aini juga ikut duduk bareng sama Fara dan Edo. Dengan Mr. Arrael Narendra yang menempeli tentunya.

Setelah saling bertanya kabar dan juga berbasa basi tentang hal remeh, suasana jadi serius karena pada diam. Nggak ada yang berani memecah keheningan.

"Deano, saya minta maaf karena sudah melakukan hal buruk ke kamu. Saya sadar akan kesalahan itu. I'm so sorry." Mrs. Narendra berkata dengan sungguh-sungguh.

Aku hanya menganggukkan kepala. Ya habis mau gimana? Kan dia bosnya.

Mr. Narendra menjelaskan alasan dibalik tindakan istrinya itu. Dan memang begitulah beliau kalau ada anaknya yang sakit. Apalagi Bos Kecil yang memang memiliki kondisi khusus dalam alergi. Berbeda dengan Mr. Bima yang hanya akan ruam dan mual muntah kalau terpapar alergen.

Setelah perbincangan panjang lebar yang normal dilakukan oleh orang Indonesia, akhirnya suasana kembali serius.

"Deano, kami sekeluarga ingin berterima kasih kepadamu. Kalau tidak ada kamu dan tindakan cepatmu, mungkin Angga tidak akan berada disini saat ini. Aku yakin, ucapan terima kasih saja tidak akan cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami. Jadi, kami akan mengabulkan apapun yang kamu minta." jelas Mr. Narendra panjang lebar.

"Maaf, tapi saya belum paham dengan maksud Anda." apa coba maksudnya? Memangnya mereka mau memberikan setengah hartanya untukku?

"Rumah, mobil, liburan atau apapun itu." tambah Mrs. Narendra.

Aku tahu mereka kaya, jadi mengabulkan permintaanku yang berhubungan dengan materi itu bukan hal yang sulit. Tapi aku melakukan semua itu karena memang itu tugasku. Dan aku juga tidak mau disalahkan kalau aku lalai dalam bertugas. Gimana kalau kita anggap impas aja?

"If I were you, I would ask for a company. So I don't need to work anymore." ucapan Mr. Bima memang masuk akal. Tapi tentu aku tidak akan meminta hal itu. Karena bagiku, itu terlalu berlebihan.

"Pikirkan baik-baik, Deano."

Kalau boleh meminta, aku ingin rumah baru, mobil mewah, tanah yang bisa digunakan untuk usaha, perusahaan, biaya kuliah untuk kedua adikku, biaya untuk memberangkatkan kedua orangtuaku untuk berhaji. Apalagi ya? Banyak banget.

Tapi masa iya aku akan meminta hal sebanyak itu? Sedangkan berada disisi Mr. Angga Narendra adalah tugasku. Rasanya itu tidak adil.

"Boleh saya meminta biaya kuliah untuk kedua adik saya?" akhirnya aku memutuskan.

"Ada yang lain?" Mr. Ilham sepertinya kurang puas dengan jawabanku.

"Bolehkah kedua orangtua saya berangkat haji?" aku mengucapkannya dengan ragu-ragu. Biarin dibilang rakus, soalnya Mr. Ilham malah nawarin sih.

Hening beberapa detik, lalu Mr. Narendra tersenyum. "Hanya itu saja?"

Eh, ini serius boleh minta lagi?

Aku memandangi Bapak dan Ibu yang sedari tadi diam saja. Meski wajahnya dipenuhi oleh keterkejutan, tapi mereka menutupinya dengan sangat baik. Bapak dan Ibu diam, lalu menggelengkan kepalanya. Tanda bahwa itu semua sudah cukup.

"Itu saja. Terima kasih."

"Oke, Rossie, persiapkan semua yang dibutuhkan untuk memberangkatkan haji kedua orang tua Deano. Juga schoolarship untuk kedua adik Deano." Mrs. Narendra langsung memerintahkan Rossie. "Apa tidak masalah berangkat tahun depan?"

"Ah, tidak masalah. Kami tahu antrian haji itu lama." ucap Bapak. Aku tahu bapak kaget, secara tidak percaya kalau tahun depan beliau akan berangkat haji bersama Ibu.

"Mungkin bisa ditambah dengan umrah sekeluarga. Itu ucapan terima kasihku ke Deano." Mrs. Aini dengan suara lembutnya berkata.

"Itu terlalu berlebihan, Maam." kataku.

Iya, aku nggak mau dianggap aji mumpung atau apapun. Karena aku tahu batasanku. Untuk saat ini, prioritasku adalah pendidikan kedua adikku, setelah itu baru memberangkatkan haji Bapak dan Ibu. Meski aku tidak tahu kapan impian itu akan terwujud, yang jelas usaha dulu.

***

Banyak hal yang harus aku syukuri.

Bos Kecil yang mulai bisa berjalan setelah beberapa kali menjalani terapi patut disyukuri. Itu adalah hal luar biasa yang terjadi dalam hidupku, setelah berjuang untuk mengambil tindakan yang mungkin akan aku sesali. Dan aku berharap agar kejadian itu nggak pernah terjadi lagi.

Sudah mulai lancar berbahasa asing lain juga hal luar biasa yang nggak pernah aku bayangkan. Dari seorang anak yang hanya lulusan SMA, lalu 7 tahun bekerja menjadi satpam. Kini, aku sudah bisa menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris? bisa dibilang bahasa sehari-hari. Bahasa Korea Selatan? Itu sudah diluar kepala. Dan sekarang aku sedang belajar bahasa Jerman.

Biaya kuliah Edo dan Fara? Bersyukur karena ada bantuan dari keluarga Narendra, aku tidak perlu memikirkannya lagi. Sampai mereka lulus, aku tidak akan dipusingkan dengan biaya pendidikan mereka.

Rasanya sekarang aku bisa menikmati hidup. Beban yang dulu aku pikul sudah lebih ringan dari sebelumnya. Tinggal mikir gimana caranya agar aku lebih mahir lagi menjadi seorang asisten pribadi.

Kalau ditanya apa aku akan memikirkan tentang pernikahan? Aku akan bilang belum. Targetku masih belum terpenuhi. Banyak hal yang harus aku kuasai terlebih dahulu, agar aku bisa menjadi suami dan ayah yang berkualitas untuk keluargaku.

Sekali lagi, keluarga Narendra adalah panutanku.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C11
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen