App herunterladen
0.86% Wanita Sang Boss / Chapter 9: Ciuman yang Panas

Kapitel 9: Ciuman yang Panas

Lagi Meta terhuyung, pandangannya terasa kabur, kepalanya terasa berat. Tak sengaja ia terjatuh ke tubuh Yoga, tapi bosnya buru-buru mendorong Meta nyaris jatuh. Tubuh Meta langsung terbentur pada sisi kiri lift.

Merasa tak terima, Meta pun memeluk Yoga, rasa marah, kesal, dan jengkel meletup-letup di hatinya. Dia menempel ketat pada tubuh Yoga, seolah tak membiarkan Yoga barang sedikit pun bisa kabur begitu saja. Kemarahannya sudah benar-benar tidak bisa dibendung lagi sekarang.

"Kenapa, Pak? Saya bukan kucing rabies, lho. Tapi Bapak bersikap kalau saya ini punya penyakit menular! Saya nyaris jatuh dan Bapak dengan jahatnya malah mendorong tubuh saya sampai membentur dinding lift, Pak! Bapak ini sadar tidak? Bapak ini punya hati nurani atau tidak?" kata Meta setengah membentak. Kedua tangan dan kakinya bahkan sudah melingkar ketat melilit tubuh Yoga. Yoga, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pelukan Meta. Hingga akhirnya tubuh wanita itu berhasil lepas dari tubuhnya. Namun demkian, Meta tak menyerah, kemudian dia berjalan semakin mendekat ke arah Yoga membuat Yoga sontak mundur ke belakang sampai menabrak tembok lift. "Atau jangan-jangan, Bapak ini homo?" selidik Meta lagi, sambil memicingkan matanya.

Dia tahu, tidak ada alasan bagi seorang cowok bersikap seaneh ini kalau dia adalah cowok normal. Dan dia yakin, jika apa yang dia pikirkan sama persis dengan gosip-gosip miring yang ada di luaran sana. Ya, bosnya bersikap dingin dan jahat bukan hanya kepadanya. Tapi kepada semua cewek, dan alasan terbesar dari bosnya melakukan itu tak lain adalah, karena bosnya bisa saja seorang homo! Seorang pecinta sesama jenis seperti yang ada di luaran sana.

Setelah dia mencemooh Yoga, Meta pun memalingkan wajahnya. Matanya kembali berkunang-kunang, dan badannya terasa semakin ringan. Ini benar-benar bahaya, bagaimana bisa tubuhnya mendadak selemah ini.

Dia tersentak, saat Yoga menarik lengannya. Meraih tengkuk kepalanya kemudian melumat bibirnya. Mata meta membulat, dia hendak menjauh tapi tubuhnya dikunci oleh Yoga. Untuk kemudian, pandangan Meta semakin kabur, dan ia pun terjatuh.

Yoga langsung menangkap tubuh Meta, dia bisa merasakan jika tubuh Meta sejak tak sengaja menyentuhnya tadi suhunya memang sudah panas. Setelah pintu lift terbuka, dia pun menggendong Meta. Kemudian, matanya memicing menatap Pak Cipto yang rupanya sudah ada di bawah.

"Wanita ini..." gumam Yoga, dia benar-benar tak menyangka, jika akan merasa susah payah hanya karena seorang perempuan. Perempuan yang benar-benar telah mengobrak-abrikkan kewarasannya.

"Kamu...."

"Maaf, Pak, ternyata lift sebelah tidak jadi rusak," ucap Pak Cipto, dengan senyum jahil yang membuat rahang Yoga mengeras. "Lho, Mbak Meta kenapa, Pak? Apa dia baik-baik saja?" tanya Pak Cipto lagi. Kali ini pertanyaannya benar-benar diacuhkan oleh Yoga.

Yoga berjalan sambil membopong tubuh Meta yang sudah tak sadarkan diri, langkahnya lebar-lebar kemudian menuju ke arah parkiran mobilnya. Dengan cepat Pak Cipto membukakan pintu, sehingga Yoga langsung memasukkan tubuh Meta dengan sedikit kasar. Lagi, Yoga menghela napas panjang, sembari melonggarkan dasi yang melilit ke lehernya itu pun kembali melirik ke arah Meta. Tanpa sadar, dia mengelus bibirnya, sebuah bayangan klise mulai terekam kembali ke otaknya.

Berengsek! Umpat Yoga dalam hati.

Pak Cipto yang mengetahui mimik wajah Yoga yang tampak lebih dingin dari biasanya pun agaknya mulai takut. Dia tahu, sangat tahu jika kejahilan yang ia lakukan tadi benar-benar berakibat buruk untuknya nanti. Hanya saja, melihat seorang Prayoga Mahardika dengan baik hati tak memecat sekertarisnya yang bahkan lebih dari sekali melakukan kesalahan, ditambah dengan melakukan tindakan di luar nalar seorang Pragoya Mahardika dengan membagi ruangan dengan sekertarisnya adalah hal yang membuat Pak Cipto agaknya penasaran. Baru kali ini, dalam hidupnya ia bekerja untuk bosnya itu. Ada sosok cewek yang telah melewati batasan-batasan yang telah dibuat sendiri oleh bosnya.

"Saya akan mencari alamat Mbak Meta, Pak," kata Pak Cipto, dengan wajah panik, dan setengah gugup. Kalau dia tak benisiatis melakukannya, maka yang ada Yoga benar-benar akan membunuhnya.

"Bawa dia ke rumah," jawab Yoga yang berhasil membuat Pak Cipto kaget.

Lagi, sebuah jawaban yang membuat Pak Cipto kembali merasa jika ini berada di luar nalar. Apa Benar yang sekarang duduk di dalam mobil ada seorang Prayoga Mahardika? Bos yang bahkan tak ada sosok perempuan pun masuk ke dalam apartemennya dan sekarang malah menyuruhnya membawa Meta ke apartemennya?

"Iya, Pak?" tanya Pak Cipto. Namun diabaikan oleh Yoga. Salah satu hal yang dibenci oleh Yoga adalah, mengulang pertanyaan.

Dan untuk itu Pak Cipto langsung membawa mobilnya menuju ke apartemen Yoga. Sepanjang perjalanan Yoga hanya terdiam, bertopang dagu dia pun memandang ke arah jendela mobil. Pak Cipto yang sedari tadi curi-curi pandang lewat kaca spion pun agaknya menebak-nebak, tentang isi pikiran dari bosnya. Membawa seorang perempuan dalam keadaan tak sadarkan diri di apartemen, dan akan bermalam berdua, itu akan baik-baik saja, kan?

Pak Cipto lantas membuang jauh-jauh pikiran yang berkecamuk pada dirinya. Tentu saja akan baik-baik saja. Sebab bagaimanapun, dia tahu betul siapa Prayoga Mahardika. Dia tidak akan pernah menyentuh perempuan bahkan jika perempuan itu menggodanya.

"Sudah sampai, Pak," kata Pak Cipto. Dia hendak membopong tubuh Meta yang masih pingsan tapi ditahan oleh Yoga.

Kini, Yoga membopong tubuh Meta, kemudian dia menghentikan langkahnya, sembari memandang ke arah Pak Cipto dengan sinis.

"Pulanglah,"

"Apa?" tanya Pak Cipto lagi. Ini adalah kali ke tiga Pak Cipto mengulang pertanyaan kepada Yoga. Dan ini adalah kali pertama Pak Cipto melakukan kesalahan itu.

Sembari melirik dengan tatapan dingin, Yoga tak mengatakan apa pun lagi. Berjalan masuk ke apartemennya dalam diam kemudian masuk ke dalam lift.

Lagi, Yoga melihat wajah polos milik Meta. Rahangnya kembali mengeras ketika mengingat kejadian yang ada di lift tadi. Saat liftnya terbuka, dia pun berjalan menuju arah pintu apartemennya. Membukanya dengan sedikit kesulitan kemudian dia melangkah ke dalam kamarnya.

Awalnya dia tampak berpikir, namun kemudian dia langsung membaringkan Meta di atas ranjangnya. Melepas sepatu milik Meta, kemudian melepas jas yang dikenakan oleh Meta. Yoga kembali terdiam, melihat wajah cantik milik Meta. Tiba-tiba ada hal aneh yang merayapi hatinya, namun dia buru-buru bangkit dari duduknya.

"Dok, bisa ke tempat saya sebentar?" tanya Yoga, setelah ia menelepon seseorang yang ada di seberang sana. Untuk sesaat Yoga kembali duduk, lalu lama-lama matanya tanpa sadar terlelap begitu saja.

Tidur pertama Yoga tanpa obat penenang, tidur pertama Yoga sembari menggenggam tangan Meta tanpa sadar. Tanpa sadar, ada sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar Yoga. Yang tampaknya, pintu depan apartemen Yoga tak terkunci dengan benar. Sosok itu agaknya terkejut, untuk kemudian dia tersenyum. Menaruh sesuatu di nakas kamar Yoga, kemudian pelan-pelan sosok itu pergi agar tidak mengganggu istirahat kedua orang yang sudah terlelap di sana.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C9
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen