"Kurang ajar sekali kamu ini," geramnya yang sudah emosi. Aku lantas bersedekap, kubusungkan dadaku sembari memandangnya lekat-lekat seolah menantang, kemudian aku tersenyum, mengejek tingkah lucunya itu.
"Mau apa? Bahkan rektormu saja tidak akan berani menyentuhku," kubilang.
"Memangnya kamu ini siapa? Seorang pengangguran yang terus-terusan mengekori langkah istri sampai di kampus hanya karena takut istrimu digoda laki-laki lain? Dasar, laki-laki yang tidak pantas disebut suami."
Sabar, Arjuna... sabar. Menghadapi orang seperti kerbau ini harus dengan kepala dingin. Jika kamu emosi, kamu ndhak lebih rendah seperti kerbau birahi ini.
"Dasar kerbau birahi," kataku lagi. Dia hendak mendorongku, tapi tangannya langsung kupegang dengan erat. Dia langsung meringis kesakitan, membuatku ingin tertawa dibuatnya. "Kenapa? Sakit? Hanya satu tanganku saja kamu tidak bisa mengalahkannya? Ck! Ck! Ck! Ini yang kamu sebut laki-laki perkasa?"