App herunterladen
80.95% wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 17: RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Kapitel 17: RAHASIA LUKISAN TELANJANG

DI PUNCAK Gunung Merapi.

Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir

serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah

panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–

karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian

sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat

sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah

pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di

pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang

bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu

tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan

cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi,

calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ

rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan

beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang

disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa

naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan

dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang

pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon

besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila

upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu

makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–

tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan

di atas panggung besar kayu jati!

Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling.

Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan,

diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang

kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji

kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang

ada juga di antara para tamu yang merasa kurang

cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada

nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan

itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta?

Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu

tinggi?!

Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas

panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun

berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin

pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan

dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama

Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–

rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin

upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di

bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup

bahagia!

Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–

cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul

serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri

dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi

apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang

digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai

saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga

kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–

bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?!

Telah lewat sepeminum teh.

Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat

sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana

saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab

mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak

Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan

karena malu melainkan merasa terhina!

Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik

sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul

seorang berjubah biru.

Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah

pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah

manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik

batu karang itu?

Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini,

terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si

jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan

angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat,

maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang.

Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya

jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik

Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah

terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada

dan siapa pula manusia yang datang ini?!

Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah

liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan

robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di

tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut

runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–

tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat

di sekitar kawah gunung.

Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak

murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti

segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing

memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam

posisi mengurung si jubah biru.

Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini,

meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan

rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa

mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang

dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar

penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai

tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-

apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa?

Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar

212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil,

"Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!" Dan kedua

tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–

nya bergemeletukan persis macam orang kedinginan!

Di samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam

yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga

para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka

injak!

Semua orang heran campur terkejut!

Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana

manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?!

"Jubah biru!" bentak Manik Tunggul. "Manusia atau

setankah kau?!"

"Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak

merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan?

Uh.. uh...!"

Semua orang saling pandang.

"Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana

kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!" Kembali Manik

Tunggul buka suara keras.

Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-

pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri.

Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di

tangan kanan dia berkata, "Anak-anakku... kalian semua

dengarlah!"

"Persetan manusia edan!" hardik Bogananta beringas.

"Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-

anakmu?!"

Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan

tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan

Merapi itu.

"Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa

yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan

dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa

di khayangan!" Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil

kedinginan lagi! "Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar

kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main!

Uh...!"

"Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari

sini kutekuk batang lehermu!" ancam Manik Tunggul.

"Aku bukan manusia... bukan manusia!"

kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar

tergetar dadanya! "Aku adalah titisan dewa di khayangan!

Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada

dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian

tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang

kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa

di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua!

Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan

dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang

aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian..."

"Keparat pendusta!" bentak Manik Tunggul. "Kau kira

kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!"

Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara

mengekeh. Dalam hatinya dia memaki!

"Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?!

Kau akan lihat... akan lihat!" kata Wiro pula dengan suara

keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang

terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang

duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali

gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun!

Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati

dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di

tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–

han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian

terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke

dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas.

"Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah

menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku

ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu

yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri

bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai

pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila!

Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–

pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–

kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!"

Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara.

"Hukumlah mereka wahai dewa!"

seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan.

Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh.

Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu

yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh

berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka

yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar

tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin

semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba

di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak

ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang

dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan

kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang!

"Tahan!" teriak Manik Tunggul seraya melompat ke

muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si

jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak

dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat

kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya

berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang

keluar dari tangan sang Pendekar 212!

"Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara

padamu!" Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat

bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si

jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat!

Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga.

Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia

biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa!

"Tahan!" teriak Manik Tunggul sekali lagi.

"Aku mau

bicara!"

Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit.

"Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu."

Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu

mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan

Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah

kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa

mengekeh-ngekeh!

"Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni

kalian manusia-manusia sombong!" kata Wiro.

Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya.

Dan Wiro buka mulut kembali, "Itu baru sepersepuluh

dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti

kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana

daun kering dan mampus!"

Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke

muka.

"Sekarang kalian dengar semua!" serunya

menggeledek. "Dewa telah mengampuni kalian orang-

orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–

punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung

Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan

dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun

lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini

dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu

semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan

kepadaku!"

Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya

terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta men–

delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–

tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani.

Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang

menyamar itu.

"Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–

kan padaku...!" Wiro melangkah mendekati Permani.

Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah

memapasinya.

"Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau

tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau

maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku

ini!" Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti

melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C17
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen