Nadia bernapas lega melihat pria itu kembali. Wajahnya terlihat lebih segar. Senyumnya merekah sempurna.
"Kamu senang aku kembali?" Tanyanya.
Nadia mengangguk, "iya."
"Kamu merindukanku ketika aku pergi?"
Nadia mendesah, "Dika, kamu memilih berhenti."
Senyum pria itu pudar. Dia menarik napasnya pelan dan lama. Dia terlihat terluka.
"Hanya hari ini. Berpura-puralah kamu tidak membenciku. Hari ini saja."
Tatapan mata itu. Raut wajah itu... Nadia merasa telah terjadi sesuatu ketika pria itu pergi. Ini adalah tanda yang dia berikan agar Nadia bisa membantunya.
Nadia mengangguk lalu tersenyum, "baik. Tapi aku tidak jago berakting."
Pria itu tersenyum, "ikuti saja kata hatimu."
Itu lebih sulit bagi Nadia. Meski begitu, Nadia mengangguk.
Pria itu berjalan ke samping kiri tempat tidurnya lalu menaikkan sandaran tempat tidurnya sehingga posisi tubuhnya setengah duduk. Dia lalu mengangkat tubuh Nadia, menggesernya ke kanan sehingga ada ruang kosong di sampingnya.
"Kamu mau apa?"
"Katanya mau lihat foto Andres?" Jawab pria itu yang telah ikut bersandar di sampingnya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Aku tidak suka berdekatan dengan laki-laki, hanya berdua, di tempat sepi." Kata Nadia sambil menatap layar hitam TV di depannya. Aroma parfum pria itu terasa lembut dan sejuk.
"Oke. Aku minta maaf."
Pria itu turun dari tempat tidurnya. Nadia merasakan sebuah penyesalan. Dia melihatnya berjalan memutar dan berhenti di samping kanannya.
"Dika," panggilnya sambil menepuk-nepuk tangan kanannya ke atas tempat tidurnya lalu tersenyum sambil berkata, "aku suka ada orang di samping kananku."
Dia baru saja mengikuti saran pria itu untuk mengikuti kata hatinya dan berhasil membuat pria itu tersenyum lagi. Pria itu mengangkat tubuhnya lagi dan menggesernya ke samping kiri. Mereka berbagi bantal dan menyatukan lengan. Nadia melihat gambar kucing ketika handphonenya menyala. Ibu jari pria itu menggeser-geser layar dengan cepat, lalu memelan dan berhenti ketika menyentuh gambar seorang pria bule. Pria itu mendekatkan handphone ke wajahnya sambil berbalik tidur menyamping. Nadia menatap foto Andres namun pikirannya sedang memberitahu bahwa pria itu tidur sangat dekat dengannya. Dia tidur di atas helaian rambutnya. Wajahnya berada di samping telinganya.
"Nadia," bisiknya.
"Iya?"
"Kalau Andres yang menabrakmu, apa kamu akan membiarkannya lanjut?" Tanya pria itu lalu menarik handphonenya.
Nadia menoleh. Dia memandangi iris gelapnya.
"Dia punya mata yang indah." Nadia memilih tidak menjawab pertanyaannya.
"Iya," pria itu membenarkan.
"Jadi jawabannya iya?" Tanyanya lagi.
Nadia menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu."
"Karena dia bukan aku?"
Nadia menghela napas.
"Mungkin," jawabnya lalu menoleh ke depan.
"Aku ingin memelukmu."
Nadia menggeleng.
"Lihat aku."
Nadia menoleh ke jendela.
"Nadia,"
Nadia tidak bergeming.
"Kamu menyiksaku." Aku pria itu.
Nadia menoleh lalu pria itu berkata, "iya."
Sulit baginya membalas tatapannya dengan jarak sedekat ini. Ada gelombang dalam dirinya yang membuatnya kehilangan oksigen lebih cepat. Nadia menutup mata.
"Buka matamu."
Nadia menggeleng.
"Buka matamu," perintah pria itu lagi.
"Aku tidak akan menciummu asal kamu membuka mata dan memandangku."
Nadia membuka mata.
"Jangan marah," pinta pria itu dengan senyumnya.
"Lihat aku, biarkan aku melihatmu."
Nadia mengangguk dan mengikuti perintahnya.
"Hanya hari ini."
Nadia mengangguk lagi. Hanya hari ini, ucapnya pada dirinya sendiri. Nadia bertahan dengan posisinya dalam waktu yang lama. Pria ini memang tidak memiliki mata setajam dan seindah Andres, namun matanya memiliki pesona yang berbeda. Memandangi matanya yang berwarna coklat tua memberinya keteduhan dan kedamaian. Bunyi pintu yang terbuka memisahkan tautan mata mereka. Pria itu berbalik. Nadia melihat salah satu perawat yang biasa mengantarkan makanannya berdiri mematung di depan pintu.
"Masuk saja!" Suruh pria itu yang telah berdiri.
Perawat itu melangkah masuk.
"Taruh di sana. Aku yang akan mengurusnya." Tangan pria itu menunjuk ke atas meja di depan sofa.
"Baik, dokter," jawab perawat itu dan segera pergi setelah menaruh nampan berisi menu sarapan.
Pria itu membawakan sarapannya dan menaruhnya di pinggir tempat tidurnya.
"Kamu mau makan sendiri atau aku suapi?"
"Aku bisa makan sendiri."
"Kata hatimu?"
Nadia menjawab, "makan sendiri."
"Huft!" Desahnya lalu duduk di kursinya.
"Mengapa kamu tidak mau makan semalam?" Tanyanya lagi.
"Aku merasa tidak lapar."
"Bukan jawaban. Kamu memikirkanku?" Pria itu terus berusaha.
Nadia menggeleng. Semalam dia sudah berusaha untuk tidak memikirkan pria itu.
"Kata hatimu?" Tanyanya lagi.
Nadia menghela napas. Dia menolak menjawab. Tatapan pria itu menyapu wajahnya.
"Kalau aku tahu kamu tidak makan karena memikirkanku, aku akan merasa semakin buruk."
Nadia menatapnya lebih lekat, lalu memanggil namanya, "Dika,"
"Ya?"
"Semalam kamu makan?"
Pria itu menggeleng.
"Pagi ini?"
Pria itu menggeleng lagi.
"Mau sarapan bersama? Aku tidak bisa menghabisinya."
Pria itu menjawab setelah melirik ke atas nampan, "porsinya tidak cukup untukku."
"Kamu boleh makan yang lebih banyak." Nadia mengalah.
"Tidak. Makan secukupmu, aku sisanya saja."
Nadia tersenyum.
"Mau aku suapi?" Tanya Nadia. Dia hanya ingin mengikuti kata hatinya.
Pria itu menjawab dengan senyuman. Nadia mengambil sendok. Dia membelah ayam potongnya, memindahkan potongan kecil ke samping nasi di piring.
"Tahu?" Dia bertanya apakah pria itu mau makan tahu.
"Kamu dulu," jawabnya.
Nadia mengambil satu sendok dan memindahkannya ke atas piring nasi. Dia kemudian mengaku, "aku lebih suka mencampur semuanya dulu."
"Lakukan saja," jawab pria itu.
Nadia menuang ayam, tahu, dan tumis sayur sawi ke atas nasi, lalu memindahkan isi sayuran di dalam mangkok sop ke atasnya. Dia memandang pria itu dulu untuk melihat eskpresinya karena mungkin saja nafsu makannya jadi hilang, tapi sepertinya tatapan pria itu tidak pernah meninggalkannya. Nadia mengambil satu suapan untuk dirinya. Dia lalu mengisi satu sendok lagi untuk pria itu. Tatapan pria itu akhirnya teralih darinya.
"Aku tidak suka sayuran hijau," katanya sambil menatapnya lagi.
Nadia mengembalikan isi sendoknya, lalu menyingkirkan sawi.
Pria itu menggeleng ketika sendoknya berada di depan mulutnya lagi, "masih ada."
"Ini hanya daun bawang."
"Warnanya hijau."
Nadia tertawa. Dia lalu mengangkat dua irisan daun bawang itu dengan jarinya. Pria itu kemudian menerima suapannya.
"Jangan melihatku seperti melihat anak kecil. Aku lebih tua dua tahun darimu," kata pria itu setelah suapan ke tiganya ditelan.
"Aku tidak punya adik laki-laki," jawab Nadia.
"Jangan aku," tolaknya bahkan sebelum Nadia memintanya, bahkan sebelum dia punya pikiran itu.
Nadia mengambil satu suapan untuk dirinya sendiri.
"Habiskan. Aku akan sarapan lagi setelah ini."
Nadia menyodorkan satu suapan, tapi pria itu menarik kepalanya.
"Terakhir," katanya.
"Aku tidak mau yang terakhir."
Butuh tiga detik untuk memahami maksudnya. Nadia kemudian tertawa.
"Astaga. Aku tidak menyangka kamu suka disuapi."
"Hanya denganmu."
Nadia memanyunkan mulutnya.
"Jangan melakukan itu. Aku jadi ingin menciummu."
Giliran Nadia yang mendesah, "huft!"
"Kamu suka coklat?" Tanya pria itu.
"Tidak. Aku tidak suka makanan manis," jawabnya.
"Masuk akal kamu membenciku."
Nadia berkedip dua kali, mencerna ucapannya, lalu pukulan pertamanya mengarah ke lengan pria itu. Pria itu tertawa. Nadia mendengar denting bunyi dari handphonenya lagi. Tatapan pria itu tidak beralih dari wajahnya.
"Kamu tidak mau mengeceknya?" Tanyanya.
"Nanti saja."
"Bagaimana kalau pesan penting?"
"Sudah selesai?" Pria itu mengalihkan pembicaraan.
Nadia mengangguk. Nampan sarapannya dipindahkan. Pria itu kembali dengan segelas air. Nadia hanya meminum separuhnya, lalu pria itu menghabiskan sisanya. Pria itu pergi lagi menaruh gelasnya. Nadia merogoh handphonenya dan memberikan pada pria itu ketika kembali. Pria itu mendesah, lalu menarik handphonenya. Raut wajahnya terkejut.
"Ada apa?"
"Andres sekarat." Jawabnya lalu menatap wajahnya beberapa detik sebelum berjalan pergi.
"Dika!" Pria itu berbalik. "Kamu akan kembali?"
Pria itu mengangguk.
"Aku suka mawar merah!"
Pria itu tersenyum. "Akan aku bawakan nanti. Ada yang lain?"
Nadia menggeleng. "Hati-hati. Jangan ngebut!"
"Iya, aku janji." Tatapannya melekat selama tiga detik sebelum dia berbalik lagi dan ke luar.
Nadia menyentuh dadanya.
"Masih ada," ucapnya memberitahu dirinya sendiri karena dia hampir tidak merasakannya ketika pria itu bersamanya. Bersamanya?
Yang kesini untuk membaca cerita Andres & Zizi, tunggu bab selanjutnya ya ☺☺☺
Temanku bilang Bab 16-17 ini khayalan seorang jomblo bucin di hari kasih sayang hahahaa
Andres memandangi sambil mengelus dengan punggung jemarinya wajah gadisnya yang tertidur pulas. Bella yang biasanya akan terbangun dengan sedikit saja sentuhan, kini diam saja seperti putri tidur.
Andres menyentuh lembut kulit dahinya dengan bibirnya lalu berbisik, "te quiero. Te quiero. [Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.]"
Andres mengecup dahi gadisnya lagi, memandangi wajahnya, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia menyadari fakta ke sebelas bahwa dia tidak akan pernah merasa puas dengannya. Dia bisa menghabiskan waktunya hanya dengan memandangi gadisnya, hanya dengan menciuminya, hanya dengan memeluknya, hanya tenggelam dalam pelukannya. Waktu bersamanya mengalir begitu saja. Dia bisa lupa diri, bisa lupa waktu. Dia bisa lupa segalanya.
Andres mengambil handphone pribadinya dan membawanya ke kamar mandi. Dia bersandar di sofa sambil mengetik 'aku sekarat'. Senyum miringnya terukir setelah pesan itu terkirim. Dia tidak bisa berlama-lama memendam amarah pada Dika. Hidupnya terbiasa dengan kehadiran sahabatnya. Dia merasakan kemunculan ruang yang kosong dalam dirinya setelah memblokir nomornya. Pagi ini dia terbangun dengan kondisi tubuh yang jauh lebih sehat begitu pula dengan perasaan dan pikirannya.
Andres tahu bahwa dia selalu mengambil keputusan yang salah ketika marah dan tertekan. Selama beberapa tahun ini dia berangsur-angsur dapat mengontrol emosinya. Sejak Bella datang dalam hidupnya, dia kehilangan kontrolnya. Andres tidak mau menyalahkan gadis itu. Dia sendiri yang memutuskannya datang. Andres tidak menyesal. Itu bukan sebuah kesalahan. Itu adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, mungkin dia salah memilih caranya. Andres tidak sekalipun menyesalinya. Lagi-lagi dia yakin gara-gara itulah gadis itu akhirnya mencintainya begitu pula dengan dirinya.
Cinta memang sulit ditebak. Bella bukan tipenya. Tidak semua kriteria gadis impiannya ada di gadis itu. Dia memiliki rambut coklat lurus yang panjang. Andres memimpikan seorang gadis berambut hitam keriting yang pendek. Pipinya tirus. Andres menyukai gadis berpipi chubby. Namun mata gadis itu adalah mimpinya. Mata bulat dengan iris hitam yang gelap. Hitam, bukan coklat tua. Sudah saatnya Andres melupakan anak kecil itu. Dia sudah melupakannya, dia sudah sering melupakannya. Tapi, sejak melihat wajah Bella di foto yang diberikan ayahnya, mata Bella mengingatkannya lagi. Dia teringat pada cinta pertamanya.
Hari itu hari terakhirnya liburan di Surabaya, liburan terakhirnya di Indonesia sebelum pindah ke kampung halaman papanya di Spanyol seminggu kemudian dari rumahnya di Bali. Saat itu dia berumur delapan tahun. Pagi itu orang tuanya pergi ke pantai Kenjeran. Andres kecil dilarang ikut berenang karena semalaman badannya panas setelah kecapaian tiga hari berturut-turut mendatangi hampir semua tempat wisata di Surabaya dan mendengarkan cerita mamanya tentang perjuangan kemerdekaan. Andres kecil yang memakai topi dan ransel berjalan mengitari garis pantai. Sesekali dia berhenti untuk mengambil kerang, melihatnya lebih dekat, mengaguminya, lalu menaruhnya di tempat semula. Ayahnya, si pecinta pantai, melarangnya mengambil apapun di pantai.
Andres kecil melihat anak kecil perempuan yang berjalan sendirian. Dari jauh dia bisa melihat anak kecil itu menangis. Andres mendekatinya. Anak kecil itu terlihat mencari sesuatu. Andres menutup jalannya. Matanya membulat melihatnya.
Andres kecil tersenyum dan menyapanya, "hai, adik kecil. Siapa namamu?"
Anak kecil itu tidak menjawab. Air matanya terus mengalir. Andres berlutut agar anak kecil itu tidak perlu menengadah memandangnya.
Dia bertanya lagi, "kamu sama siapa ke sini?"
Anak kecil itu tidak menjawab, tidak menggeleng, tidak pula mengangguk. Anak kecil itu diam memandangnya, menatap matanya. Aliran air matanya tidak sederas tadi.
"Kamu bisa bicara?" Tanya Andres kecil pelan-pelan.
Anak kecil itu mengangguk.
"Kamu takut?" Tanyanya lagi dengan hati-hati.
Anak kecil itu mengangguk lagi. Air matanya kembali mengalir deras, tapi tidak terdengar suara tangisnya. Andres kecil membuka tas ransel kecilnya. Tangannya merogoh ke dalamnya. Setelah menemukan figure Doraemonnya, dia mengeluarkannya. Andres kecil menarik satu tangan anak kecil itu dan menaruh figure Doraemon di atas telapak tangan mungilnya. Itu adalah action figur favoritnya yang dibelikan pamannya, adik ayahnya, langsung di Jepang. Pamannya memberinya hadiah satu set action figur tokoh-tokoh dalam serial Doraeman sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 8. Andres kecil selalu membawanya kemanapun dia pergi. Dia takut seseorang akan mencurinya. Anak kecil itu terlihat takjub.
"Ayo kita minta tolong Doraemon agar mengeluarkan pintu kemana saja!" Andres kecil menyuarakan imaginasinya.
"Benelan?" Anak kecil itu bersuara.
Andres kecil tersenyum.
"Iya, tentu saja! Tapi ada syaratnya."
"Apa?" Anak kecil itu berbicara lagi.
"Kamu tidak boleh menangis."
Andres melihatnya mengusap air matanya dengan punggung lengannya yang bebas. Mata bulat berwarna hitam itu memandangnya dengan senyum mengembang. Bibir merah mudanya tertarik dan terbuka, menunjukkan gigi susunya yang masih berderet lengkap. Pipi tembemnya membulat dan rambut hitam keriting pendeknya melambai-lambai tertiup angin.
Andres menghela napas. Dia mencintai Bella, tapi di dasar hatinya dia belum bisa melupakan cinta pertamanya. Andres memejamkan matanya. Dia sudah mencari anak kecil itu. Dia pindah ke Indonesia dan memilih tinggal di kota Surabaya dengan harapan bisa bertemu dengan anak kecil itu lagi. Dia yakin dia akan langsung mengenalinya ketika mereka bertemu. Sudah delapan tahun dia di sini, tidak sekalipun dia bertemu dengannya. Andres sering kembali ke pantai itu, tapi tidak juga bertemu dengannya. Dia kadang melihat gadis berambut keriting yang sekiranya seumuran anak kecil itu sekarang. Andres akan mengejarnya, lalu kecewa setelah melihat mata, bibir, hidung, dan pipinya berbeda. Satu-satunya orang yang mengingatkannya pada anak kecil itu Bella. Itupun hanya mata bulat hitamnya.
Andres sudah berusaha melupakan cinta pertamanya agar bisa mencintai Bella dengan sepenuh hatinya. Di saat sendirian, dia tidak bisa. Hanya ketika bersama Bella, dia bisa. Dia bahkan bisa melupakan semuanya. Andres tersenyum. Bella memberinya dosis terlalu banyak. Sekarang dia merindukannya. Dia merindukan gadis yang hanya terpisah 20 meter darinya, yang baru 20 menit yang lalu diciumnya.
***
Dika sudah menghubungi Mustar berkali-kali sejak keluar dari kamar Nadia, tapi tidak satupun panggilannya diterima. Dika membuka kamarnya, berlari lagi ke dalam untuk mengambil tas medis dan kunci mobilnya, lalu berlari pergi. Dia tidak bisa berpikir. Dia bingung apakah harus membawa tim medis atau pergi sendiri. Dia tidak punya banyak waktu untuk mengumpulkan orang-orang yang bisa dibawa ke luar dan mempersiapkan semua alat dan obat yang dibutuhkan. Dia memberitahu dirinya bahwa ini mungkin akan menjadi program layanan terbaru di rumah sakit orang tuanya. Dika berharap Andres masih bisa diselamatkan. Dia akan langsung membawanya ke rumah sakit.
Dika menelpon staf keamanan lain di rumah Andres yang dikenalnya. Panggilannya diangkat, tapi laki-laki itu tidak tahu menahu keadaannya. Dia mengaku telah dipecat karena mengijinkan teman-temannya masuk semalam. Dika memukul kemudi mobilnya. Dia telah menstarter mobilnya ketika bunyi notifikasi chat WA di dengarnya.
'Lama sekali. Senang aku mati?'
Dika mengumpat. Dia mengeluarkan sumpah serapah sambil memukul-mukul kemudi mobilnya. Dia lalu menelpon pria itu.
"Halo, sudah sarapan? Aku sedang memasak sarapan favoritmu." Jawab pria itu panjang, tidak memberinya waktu menjawab salamnya.
"Andres," panggil Dika.
"Jangan minta maaf. Datang saja. Aku sudah melupakan yang semalam. Tidak perlu berterima kasih."
"Iya, aku sudah di mobil. Aku akan ke sana. Aku menyayangimu."
Dika mendengar tawa Andres.
"Aku juga menyayangimu."
Dika menghela napas panjang. Dia merasa lega. Sangat lega. Hidupnya tidak jadi ambruk. Masih berdiri kokoh. Meski beberapa bagian runtuh dan berlubang. Dika memegang kemudi berniat jalan, namun dia segera mematikan mesin mobilnya. Dia keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju lift. Dia sudah berada di depan pintu kamar Nadia dalam hitungan menit.
Gadis itu segera menoleh ke arahnya begitu pintu dibuka. Dia melihatnya dengan tatapan was-was. Dika tersenyum lebar sehingga gadis itu ikut tersenyum.
"Katakan," pinta gadis itu.
Dika meraih tangan gadis itu dan menaruhnya di dadanya.
"Andres memaafkanku. Dia baik-baik saja. Dia sedang memasak sekarang. Dia menyuruhku datang untuk sarapan bersamanya."
Dika mengambil jeda untuk menarik napas panjang.
"Mengapa kamu masih di sini?" Tanya gadis itu masih dengan senyumnya.
Dika menarik tangannya dari dadanya dan menciumnya. Gadis itu diam saja melihatnya.
"Aku tidak mau kamu mengkhawatirkanku."
Gadis itu tersenyum lagi. Ternyata benar dia mengkhawatirnya. Dika menatap wajahnya lebih lekat.
"Pergilah! Andres sudah menunggumu."
"Iya." Jawabnya.
"Dika!"
Gadis itu berteriak setelah beberapa lama. Dia tidak sadar masih memandanginya dan belum bergerak pergi. Dika mencium tangannya lagi lalu menaruhnya di sisinya lagi.
"Aku ingin menciummu." Katanya, memberi tahu gadis itu.
"Tidak!"
Dika tertawa lalu berbalik untuk berjalan ke luar. Dia berharap gadis itu akan memanggilnya dan mengabulkan permintaannya. Tidak ada suara yang didengarnya. Dia melihatnya masih memandang ke arahnya dengan seulas senyum di bibirnya sebelum pintunya ditutup. Mungkin lain waktu.
Aku patah hati begitu tahu Andres mencintai orang lain selain Zizi hikss
Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES